Sabtu, 03 Mei 2008

Di Sekolah Pendeta

Pada bulan Januari 1921, setelah persis sepuluh tahun menjadi guru-zending, secara resmi guru Albert dipanggil mengikuti sekolah pendeta di Seminari Sipoholon. Penunjukan mengikuti sekolah pendeta dengan masa kerja sependek itu, hanya sepuluh tahun, dapat dianggap cukup istimewa, ketimbang rekan-rekannya seangkatan yang punya masa kerja lebih panjang. Bahkan ketimbang ratusan guru-zending lainnya, yang tidak pernah dinominasi dan ditunjuk mengikuti sekolah pendeta. Ada sepuluh orang mereka, guru-guru zending pilihan pada angkatan ke-X, pada tahun 1921-1922. Nama-nama mereka berdasarkan urutan abjad nama baptis, menurut sistem administrasi zending kala itu, adalah: 1. Albert Lumbantoruan (dia sendiri); 2. Boas Simatupang; 3. Heinni Hutapea; 4. Henok Tampubolon; 5. Henok Hutasoit; 6. Kalvin Sihite; 7. Lucius Lumbantobing; 8, Peter Tambunan; 9. Tijrannus Hasibuan; dan 10. Willij Sinaga.
.
Tidak banyak yang dituliskan pendeta Albert dalam memoirs-nya tcntang pengalamannya semasa mengikuti sekolah pendeta itu. Bagian yang paling menyedihkan hatinya adalah kematian Bonar, putra ketiganya, yang beberapa bulan sebelumnya dikatakan oleh "roh moyang" Albert melalui perempuan "hasandaran," akan dicabut nyawanya. Namun, tentang kematian putra ketiganya itu Albert hanya pasrah berserah kepada Tuhan mengatakan, bahwa segala sesuatunya adalah terlctak di tangan-Nya. Ternyata penyakit disentri putranya pada usia balita itu memang sudah tcrlalu kronis dalam kelangkaan obat-obatan di kampung pelayanannya kala itu.
.
Hampir dikeluarkan dari sekolah pendeta
.
Kenangan Iain yang sangat mendebarkan hati Albert adalah, ketika dia baru setengah tahun menjalani sekolah pendeta dan merupakan siswa terbaik di antara mereka bersepuluh, dia diancam oleh Ephorus Wameck untuk dipecat dan harus dipulangkan ke kampungnya. Hukuman itu dijatuhkan karena Albert meng-hadiri pesta syukuran pelantikan iparnya, pendeta kepala-negeri Josua, yang menanggap gondang. Hanya karena kegigihan tuan Mindermann, kepala sekolah pendeta, mempertahankan Albert, yang membuat ancaman Ephorus Wameck jadi batal.
.
Tak urung, ketika tamat dan ditahbiskan pada bulan Oktober 1922, Albert lulus dengan predikat denggan situtu, yang berarti sangat mcmuaskan alias cum laude, dan yang terbaik pula di antara rekan seangkatannya, Pcnghargaan kepada peringkat pertama itu dimanifestasikan oleh petinggi zending dengan penunjukannya untuk menyampaikan "khotbah sulung" dalam kebaktian tahbisan, yang kala itu ditradisikan oleh zending. Konon, banyak pengikut kebaktian tahbisan di gereja Pearaja hari itu yang berkomentar begini: Eteng do nian pamatang ni pandita i ate, alai soarana marbabang. (Sebenarnya pendeta itu berpostur kecil saja, tapi suaranya membahana). Tidak dijelaskan, apakah peserta kebaktian itu hanya menilai suara pendeta itu yang "marbabang", atau juga mengomentari isi kotbahnya.
.
Hanya delapan orang di antara mereka seangkatan yang ditahbiskan pada hari itu di gereja Pearaja. Dua orang lagi ditahbiskan beberapa bulan kemudian di jemaat masing-masing. Penundaan tahbisan kepada kedua pendeta yang lain dilakukan sebagai hukuman, karena oleh dewan gurunya mereka dinyatakan bersikap kurang menyenangkan sebagai calon pendeta. Mereka dianggap bersikap angkuh, dan justru keduanya suka berseteru satu terhadap lainnya. Pendeta Tijrannus Hasibuan yang kelak amat tersohor sebagai "pendeta-evangelist" sempat berkomentar: "Sebaiknya saya pulang kampung saja, bila harus mclihat kelakuan rekan seperti kedua orang itu, yang tidak layak jadi pendeta." Agaknya karena alasan etis, dalam memoirs-nya, Albert tidak memberi identifikasi nama kedua rekannya yang mendapat tahbisan tunda itu.

Tidak ada komentar: