Sabtu, 03 Mei 2008

Pelayanan Guru Sekolah dan Guru Jemaat - Gotting, Bahalbatu

Pada tanggal 17 November 1910 Albert menemui tuan Wagner, "beheerder" Humbang di Huta Namora. Dia harus lebih dahulu menjalani tugas praktek mcngajar singkat di sekolah zending jemaat-induk itu. Huta Namora adalah pargodungan (kompleks gereja) yang kurang-lebih 30 tahun sebelumnya didirikan oleh zending, dengan evangelisnya yang pertama, keluarga Daniel Hutabarat, yang hanya sekitar satu tahun kemudian akan menjadi mertua guru Albert. Beheerder Wagner itupun adalah yang melanjutkan kepemimpinan pelayanan evangelis Daniel dan rekan-rekan pelayan pribumi-pendahulu lainnya, yang datang menyusul pada tahun 1898, di mana mereka hanya tinggal bersama-sama selama dua tahun lagi.
.
Seperti disinggung pada Bagian Pertama, evangelis Daniel sudah resmi menjalani masa pensiun penuh pada tahun 1900 dari Huta Namora. Pada tanggal 2 Januari 1911, Albert sudah memperoleh bisolot, yakni surat-keputusan pengangkatan yang dalam bahasa Belanda disebut "besluit", untuk menjadi kepala sekolah zending dan guru-jemaat di Getting, yang masuk resort Bahalbatu. Dan pada tanggal 14 Juni 1911, Albert menikah dengan Orem Boru Hutabarat, putri bungsu evangelis Daniel di Pagar Sinondi. Eporus Nommensen masih saja berperan menjodohkan "cucu bungsunya" itu dengan guru-zending muda-usia terpintar dalam angkatannya, seperti sudah dilakukan kepada ketiga orang kakaknya.
.
Salah satu peristiwa yang sangat menyenangkan hati guru Albert selama masa pelayanannya di Getting, adalah ketika akan menerima gajinya dari zendcling atasannya, tuan Wagner, di Huta Namora, dia menerima hadiah sebesar f 10. Tuan itu mengatakan, uang itu bukan tambahan gajinya, melainkan bonus karena prestasi Albert membangkitkan semangat zending warga jemaatnya, sehingga jumlah persembahan dan "guguan taon" (kontribusi tahunan) yang dikumpulkan untuk zending menjadi beberapa kali lipat dari masa pengelolaan guru-zending yang digantinya.
.
Tidak populer melayani di kampung sendiri
.
Namun tidak seberapa lama kemudian, Albert sudah merasa (tidak betah dan resah mengajar dan memimpin di kampung sendiri jemaatnya lebih lama di Getting. Dia sadar, menjadi "penghotbah di kampung halaman sendiri" ( daerah Bahalbatu), selalu dapat mengundang kemungkinan dilecehkan atau bahkan dibenci orang. Betul saja. Hanya selang 2 tahun dia melayani di Getting, berbagai cobaan sudah muncui. Sebenarnya, gangguan utama bukan datang dari warga jemaat atau para orangtua murid-muridnya. Tapi justru dari raja yang membawahi wilayah Getting. Karena jemaat-cabang Getting berada dalam jurisdiksi jemaat-induk dan raja di Bahalbatu.
.
Di masa lampau, ayah raja itu kebetulan mempunyai hubungan yang amat tidak mesra dengan raja-ihutan Lumban Holbung yang bertetangga, yang tidak lain adalah ompung (kakek) guru Albert sendiri. "Kedudukan guru Albert hams digoyang, supaya tidak betah dan minta pindah...," demikian berita santer yang didengar dari warga jemaat yang bersimpati kepadanya di Getting. Menurut mereka, bahkan hulubalang raja katanya sudah pernah diperintahkan untuk "memberi sedikit pelajaran" kepada guru Albert.
.
Ternyata tuan "beheerder" di Huta Namora sudah mengetahui insiden itu, juga karena telah lebih dahulu menerima pengaduan yang bersifat fitnah. Dan Albert memang sudah mengajukan permohonan pindah. Karena itu, pada bulan Mei 1915, dia dipanggil oleh tuan Wagner untuk mcmberitahu mutasi kepindahan-nya ke kota Siborong-borong, yang semakin berkembang kala itu. Pada mulanya amat berat hati guru Albert menerima kepindahan ke kota Siborong-borong itu. Saya tidak pintar bergaul dengan para "atnbtenaar" (pejabat pemerintah), katanya. Tapi beheerder Wagner berkomentar begini:
.
Yang mencemburui dan membenci kau, hams tahu bahwa aku justru menempatkanmu ke pos yang lebih baik dan lebih besar. Sebaiknya kau menempati pos itu, jangan tolak. Saya yakln kau pasti mampu bergaul dengan para pejabat pemerintah itu. Dan kalau mereka sudah mengenal kepribadianmu, pastilah mereka akan punya rasa sungkan untuk melakukan hal-hal yang tidak adil kepada rakyat...,
.
kata tuan Wagner menutup pembicaraan tentang instruksi mutasi itu.
.
Sesudah warga jemaatnya tahu bahwa guru Albert akan pindah kc kota Siborong-borong, banyak di antara mereka yang bersimpati kepadanya, mensyukuri dan berkata:
.

Memang lebih baiklah bapak guru pindah dari jemaat ini, supaya tidak sampai mengundang celaka fisik yang tak diharapkan.
.
Tak urung, serentak dengan kepindahan guru Albert dari jemaat Gotting, seorang sahabatnya, bernama raja Salomo (Ompu ni Halisung), kepala-kampung yang sangat dihonnati di kalangan warga jemaatnya, malah melakukan boyong jauh ke kawasan Panambean di Simalungun, dengan mengajak serta scluruh kawulanya. Raja Salomo adalah tetua yang bersimpati kepada guru Albert, yang sebenarnya masih merupakan kerabat atau sepupu dekat raja Bahalbatu yang membawahkan kawasan Gotting. Dalam sebuah "perkara perdata" yang sengaja dimunculkan raja itu kepada pihak keluarga-besar (kakek-sepupu) guru Albert, raja Salomo memberikan kesaksian yang membenarkan "ompung" guru itu, bukan memihak keluarga raja, yang sebenarnya sepupu dekatnya.
.
Hijrahnya raja Salomo dengan seluruh kawulanya ke Simalungun itu berkaitan dengan perasaan penghinaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kolonial Belanda setempat kepadanya, dalam hal soal pengangkatan raja. Pelecehan seperti itu sering diterima oleh raja-raja atau keluarga terkemuka pribumi, meru-pakan akibat pahit dari politik divide et impera (pecah-belah) sang kolonialis. Pelecehan itu ditujukan bagi orang yang tidak menunjukkan sikap mau dijajah.
.
Pengalihan jabatan atau status "raja" sekawasan atau sekampung oleh pemerintah kolonial kepada keluarga yang bersedia dan bahkan mau "mcnjilat" kepada Belanda, amat banyak menimbulkan keputusan melakukan "hijrah" di Tanah Batak kala itu, seperti yang dilakukan oleh raja Salomo dengan kawulanya. Annals pemerintah kolonial dan zending, banyak mencatat bahwa migrasi sekawula yang dilakukan oleh orang Batak Toba ke Simalungun, Dairi, Kutacane, dan kemudian Asahan, antara lain adalah karena akibat pahit dari permainan politik "adu-domba" itu. Kelak keturunan raja Salomo itu akan berkembang di Sumatra Tinrnr, dan banyak yang menjadi warga teras Gereja Methodist Indonesia di sana.
.
Murid buah-sulung
.
Sebelum guru Albert melayani di Getting, pada tahun 1907 jemaat itu sudah memberangkatkan putra sulungnya, Enos Sihombing, ke Seminari Sipoholon. Dan sebelum pindah dari jemaat itu, Albert sempat memberangkatkan setidak-tidaknya dua orang lagi murid seniornya, yakni Jakob Pasaribu dan Fridolin Sihombing. Kemudian kelak, disusul pula oleh bekas murid-muridnya yang lebih junior, seperti Liberty Sihombing dan sepupunya Wilmar Sihombing. Guru Fridolin kelak bahkan menjadi pendeta pribumi, masih dalam masa keperintisan, angkatan ke-XII pada tahun 1927-1929, yang hanya terpaut dua angkatan di belakang gurunya, Albert.
.
Tentang hubungan pendeta Albert dengan mantan muridnya, pendeta Fridolin ini, kelak akan menghasilkan kontak-kontak pribadi yang lucu, amat menyenangkan hati dan rnesra bagi keluarga mereka masing-masing. Kebetulan, kedua mereka kelak sama-sar>ia beristri perempuan yang bermarga boru Hutabarat, yang cukup dekat hubungan kekcrabatannya. Mereka bcrdua juga sama-sama suka margait (berkelakar) dalam batas-batas yang wajar sebagai sesama pendeta.
.
Guru muda-usia Albert berpose dengan para siswa dan seorang guru-bantunya di jemaat Gotting pada tahun 19! 1. Salah satu di antara siswa lertua di baris belakang adalah Fridolin Sihombing, kelak menjadi pendeta, hanya dua angkatan di belakang Albert; dan sejak tahun I940-an menjadi praeses Humbang, atasan Albert.
.
Dalam dasawarsa 1940-an, Ephorus Justin Sihombing membujuk Albert supaya mau menjadi praeses Humbang, karena kebetulan dialah pendeta paling senior kala itu di kalangan pendeta yang masih aktif dari marga Sihombing Lumbantoruan, bahkan di kalangan ketiga cabang marga Sihombing lainnya. Albert menolak, dan mengatakan: 'Siseanku' (muridku) Fridolin-lah yang cocok untuk itu. Dia orang yang cakap.
.
Fridolin adalah adik-angkatan Ephorus Dr. Justin Sihombing di sekolah pendeta, dan tentu amat mengenal kepribadiannya. Maka itulah yang terjadi. Kelak, ketika pendeta Albert tutup-usia pada tahun 1969 dalam umur sekitar 83 tahun, pendeta Kenan Lumbantoruan, memberitakan penolakan Albert yang santun untuk diangkat menjadi praeses itu dalam berita obituari-nya pada lmmanuel, berkala periodik HKBP. (Lihat lampiran).
.
Di antara kontak-kontak pribadi pendeta Albert dengan eks-muridnya itu yang sempat penulis saksikan, adalah kelakar Fridolin kepada Albert, begini:
Nah, sekarang hormatilah saya sedikit selaku tuan praesesmu. Dulu 'among' (harfiah: bapak) sudah selalu menempelengi aku ketika di sekolah dasar zending. (Sampai dengan saat itu, para praeses HKBP memang masih tetap disapa dengan kata "tuan").
.
Lalu ketawa kedua pendeta perintis dalam status bekas guru-murid ketika masih di sekolah'zending itu, pecah berderai. Terkadang mereka terlihat seperti hendak marsiranggut (bergulat). Namun respek dan rasa hormat Fridolin kepada Albert tidak pernah lekang, sepanjang hidup mereka mas ing-mas ing. Albert selalu disapa Fridolin dengan kata amang (bapak), padahal menurut hubungan kekerabatan, dia (Fridolin) itu adalah adik sepupu-jauhnya. Kelak, anak kesepuluh pendeta Fridolin yang bernama Puluner, juga menjadi pendeta, cukup lama menjadi Direktor Departemen Ama di Kantor Pusat HKBP.

Pelayanan Guru Sekolah dan Guru Jemaat - Jemaat Siborongborong

Pada awal tahun 1915 guru Albert tiba di posnya yang baru, jemaat Siborong-borong. Pelayanan memimpin jemaat dan kepala sekolah-zending di kota itu tidaklah menjadi masalah yang terlalu besar baginya. Pengalamannya selama empat tahun melayani di Huta Namora dan Getting, sudah dapat menuntun-nya untuk melakukan kegiatan rutin dalam kedua bidang itu. Siborong-borong kala itu bukan lagi merupakan kedudukan seorang zendeling, bahkan pendeta pribumi, setelah pemindahan pos zendeling dari Silait-lait ke Butar. Karena itu guru Albert-lah yang menjadi pemimpin atau penanggung-jawab semua kegiatan pelayanan zending di kota itu.
.
Atasan langsungnya iafah tuan zendeling Edward Wagner yang memimpin resort di Butar. Yang menjadi keresahan Albert hanyalah adanya ketegangan hubungan warga jemaat dan rakyat pribumi pada umumnya, dengan pemerintah kolonial Belanda. Inilah yang sudah dirisaukannya sebelum dia dipindahkan dari jemaat-desa Gotting ke kota itu. Dan memang segera terbukti, masalah hubungan dengan aparat pemerintah kota itu merupakan satu ganjalan yang menjadi pergumulan batin baginya, seperti dirisaukannya kepada tuan Wagner sebelumnya.
.
Keluarga Guru Albert dengan mertua tercinta, Maria Boru Siregar di jemaat Siborong-borong pada tahun 1916. Kedua pulri tertuanya ialah Tola Emmas dan Dorthia
.
Wajib kerja-rodi pembawa friksi
.
Mulai tahun 1914 pemerintah kolonial Belanda membebankan rodi (kerja paksa) yang berlipat-berat kepada rakyat. Jalan raya yang menghubungkan Medan dan Padang melalui Tapanuli, dipaksakan harus selesai pada tahun 1915. Seperti diketahui, tenaga kasar untuk pembangunan jalan-raya itu seluruhnya adalah dengan memanfaatkan penduduk secara paksa. Harus difahami pula, kala itu belum digunakan alat-alat berat pembangunan jalan, seperti pada zaman modern. Para pekerja rodi itu bahkan harus membawa bekalnya sendiri, bukan ditanggung oleh pemerintah kolonial. Mereka harus membangun sendiri gubuk-gubuk darurat yang tak tahan hujan di sepanjang pinggir jalan tempat mereka bekerja-paksa.
.
Sesuai dengan kejarangan populasi penduduk di beberapa ruas jalan yang dibangun, maka pekerja rodi yang dipekerjakan ke ruas jalan seperti itu harus didatangkan dari kawasan yang lebih jauh. Demikianlah misalnya penduduk sekitar Siborong-borong akhirnya harus menjalani kerja paksa di ruas jalan sekitar Balige bahkan Porsea. Karena yang dari Toba Holbung harus menjalaninya ke sekitar Parapat. Dan yang didatangkan dari Samosir dikerahkan ke kawasan hutan Harangan-Ganjang, yang menuju Pematang Siantar. Mereka harus membawa beras dan peralatan masak sendiri untuk bekal selama menjalankan giliran kerja rodi.
.
Karena itu, benturan-benturan antara rakyat dan warga jemaat dengan aparat pemerintah kolonial, tak mungkin dihindarkan lagi. Hal ini sangat meri-saukan hati guru muda-usia Albert sebagai pimpinan jemaat Siborong-borong. Kebetulan, pekerja rodi dari kawasan Humbang selalu dikonsentrasikan lebih dahulu di kota Siborong-borong, sebelum disalurkan ke ruas-ruas jalan tempat kerja-paksa mereka.
.
Benturan dengan kontroleur Muller
.
Sebagai orang yang tentunya berjiwa nasionalis, di satu sisi guru Albert pastilah berpihak kepada sikap "perlawanan dalam hati" warga jemaat dan kawulanya, orang Humbang itu. Namun di sisi lain, pemerintah kolonial selalu berupaya memanfaatkan institusi zending dan aparatnya, agar memotivasi warganya supaya bersedia dengan pasrah menjalani kerja paksa. Hal itu tentu tidak mudah dilakukan, dan menjadi bersifat dilematis bagi zending dan guru itu. Tak ayal lagi, Albert terpaksa langsung terlibat dalam "konfrontasi semu" dengan kontroleur Muller, penguasa pemerintah kolonial di kota Siborong-borong kala itu.
.
Salah satu efek kekerasan ekstra pemerintah kolonial pada kurun waktu 1915 itu, adalah munculnya agama Sigudamdam. Aliran keagamaan itu mulai berkembang dari kawasan Humbang Barat, yang menurut catatan harian guru Albert, dipimpin oleh seseorang yang bernama si Jaman. Konon, pengikut "agama baru" itu meng-klaim dirinya tidak tembus peluru, dan tak akan terluka oleh pedang dan tombak. Katanya, ilalang saja sudah cukup digunakan oleh pemeluk Sigudamdam sebagai tombaknya untuk bertempur, dan musuhnya akan mati terkapar. Disebut "parugamo" (pemeluk agama) Sigudamdam, karena konon mereka selalu menyebut-nyebutkan tabas (mantra)-nya dengan: Digi-digi-dam, besi dam-dam-dam... ,dst.
.
Catatan harian guru Albert menunjukkan nuansa hatinya yang seperti dalam situasi ambivalent (tnendua), dalam hal menilai munculnya perlawanan parugamo Sigudamdam, kepada pemerintah kolonial. Di satu sisi, tentu saja agama itu bertentangan dengan ajaran Kristen, yang dibawa oleh zending dan dilayani oleh guru itu. Umumnya para guru dan raja-raja kampung kala itu, dengan cepat berembuk untuk membendung "aliran sesat" tersebut kepada warga zending, yang diduga mungkin dengan mudah akan terpengaruh menerimanya. Apalagi karena penyebaran agama baru itu dibarengi ajakan perlawanan kepada penjajah Belanda. Namun di lain sisi, terlihat seperti ada semacam rasa simpati guru Albert kepada gerakan perlawanan rakyat, minus "kepercayaan" atau aliran keagamaannya.
.
Muller mati terbunuh
.
Pada kebaktian Tahun Baru tanggal 1 Januari 1916 di gereja Siborong-borong, diumumkan bahwa tuan kontroleur Muller bersama aparatnya dan pasukan Belanda yang datang dari Barus, akan mengadakan rendesvouz (pertemuanj di lokasi Napa Panra, dekat Dolok (gunung) Pinapan, untuk menumpas pembrontakan Sigudamdam. Setelah mcnerima ucapan selamat tahun baru dari kalangan pegawai pemerintah dan tua-tua warga kota Siborong-borong, sang kontroleur meminta doa restu mereka dan rakyat yang berkumpul di depan gereja, yang kebetulan bersebelahan dengan kantor kontroleur, agar manuver serangan yang dipimpin Muller berjalan dengan sukses.
.
Tak urung, ada beberapa pegawai rendahan di kantor kontroleur itu sendiri yang justru "mendoakan" lain: Sai mate disi ma ho nian ale Muller, (mudah-mudahan kau mati di sana, Muller}, begitu omelan sebagian mereka dengan sarkastis. Pegawai-pegawai seperti ini adalah yang sering disepak dan dipukul oleh Muller, yang terkenal suka mengamuk di kantornya. Guru Albert hanya senyum mesem mendengar "doa" yang aneh seperti itu.
.
Namun besok harinya, tanggal 2 Januari, tepat pukul 12 siang, ketika suasana merayakan tahun-baru masih terus berlangsung di dalam kota Siborong-borong, sudah datang berita yang mengejutkan dari Humbang Barat. Bunyinya:
.
Tuan kontroleur Muller sudah mati kena tombak oleh pembrontak Sigudamdam. Tuan demang luka di kepalanya; dan tuan asisten-demang Onan Ganjang luka di tangannya.
.
Agaknya pasukan pejuang Sigudamdam itu memang sengaja hanya melukai dan tidak sampai-hati membunuh kedua orang demang yang pribumi itu. Pukul 3 sore, jenazah kontroleur Muller sudah tiba di Siborong-borong. Pejabat pribumi bawahannya mengumumkan, mayat Muller akan dikuburkan pada pukul lima sore hari itu juga. Pejabat itu berbisik kepada guru Albert supaya siap-siap, siapa tahu akan diminta untuk memimpin acara penguburan. Masih sedini tahun 1916, guru Albert sangat risau, bagaimana harus memimpin liturgi penguburan orang Belanda yang Kristen, bila diminta. Buku liturgi apa yang harus digunakan? Jangankan dalam bahasa Belanda, buku liturgi Bahasa Melayu (kemudian menjadi bahasa Indonesia) saja tentu belum dimiliki zending kala itu.
.
Namun hati guru itu begitu tenang kemudian, karena walaupun dia sudah mencoba mempersiapkan diri seadanya, ternyata penguburan kontroleur Mullcr hanya dilakukan dengan singkat saja. Hanya pidato pendek saja disampaikan oleh salah seorang di antara tiga orang tuan kulit putih yang ikut hadir di kuburan. Setelah itu tutup kubur langsung dilakukan.
.
Friksi lebih keras dengan tuan "Obos"
.
Ternyata kontroleur pengganti Muller justru tak kurang sadisnya. Puluhan kasus benturan, bahkan perseteruan langsung sudah terjadi antara dia dengan guru AJbert dan warga jemaatnya di kota Siborong-borong, hanya dalam tahun pertama pemerintahannya. Kontroleur yang sudah cukup tua ini konon pensiunan militer yang masih memohon dipekerjakan dalam jabatan sipil, daripada langsung dipulangkan ke Holland yang dingin bersalju. Pangkat terakhirnya dalam kemiliteran adalah "overste," yang oleh penduduk setempat hanya bisa dieja dengan obos. Namun si kontroleur congkak ini menginginkan nama jabatan dan pangkat pensiun militernya juga harus digunakan menyapanya. Jadi kira-kira "tuan konteler-obos" yang terhormat. (Orang Batak biasanya mengeja kontroleur itu dengan kata "konteler").
.
Benturan pertama guru Albert dan sang "obos" terjadi soal penebangan kayu yang meranggas di lingkungan godung (kompleks gereja) Siborong-borong. Kayu besar yang meranggas itu dianggap berbahaya bagi warga, apalagi anak-anak sekolah yang setiap hari bermain-main di bawahnya. Karena itu diputuskan oleh majelis-jemaat kayu itu dijual. Seorang penduduk kota membelinya untuk dijadikan kayu bakar. Lima orang kawannya diajak untuk menebang. Suara tumbang kayu besar itu memang sangat gemuruh.
.
Tiba-tiba saja sang "obos" yang kontroleur itu mengamuk-amuk, dan menyuruh guru Albert datang menghadap ke kantornya. Pasalnya, istri kontroleur yang katanya sakit-jantung berat, sangat terkejut mendengar gemuruh pohon tumbang. Guru itu berkelit mengatakan, bahwa tanggung-jawab penebangan kayu bukan hanya pada dirinya seorang. Adalah dewan majelis-jemaat yang memutuskannya; dan kepala kampung juga termasuk di antara unsur dewan majelis jemaat. Tak urung, untuk mencari korban sasaran hukuman, keenam orang pcnebang kayu itu didenda sebesar f. 12 (masing-masing f.2), nilai yang sama dengan harga 200 kilogram beras. Begitulah kejamnya penjajahan! Orang menebang kayu milik sendiri saja harus menderita hukuman denda.
.
Tak puas dengan hukuman denda, sang kontroleur yang amat angkuh itu membuat "undang-undang lokal" dadakan. "Semua kejadian dalam radius satu kilometer dari rumah dan kantor saya, harus saya tahu. Tikus bergerak yang bisa membuat masalah sekalipun, saya harus tahu...," kira-kira begitu isi undang-undang lokalnya. Dan itu berarti sudah mencakup semua lingkup kota Siborong-borong, yang kala itu bahkan mungkin belum setuas lingkar atau radius satu kilometer.
.
Dapat difahami benturan lanjutan yang langsung menyusul. Sebelah mata seorang murid sekolah-zending di "godung," tertusuk dengan tidak sengaja oleh gerep (alat penulis untuk batu lei) seorang rekannya. Murid yang mengalami kecelakaan itu tiba-tiba membalikkan badan ke arah bangku di belakangnya, pada saat mana siswa pemilik "gerep" itu kebetulan sedang mengacungkan alat-tulisnya ke arah depannya. Begitulah kecelakaan tak disengaja itu terjadi.
.
Guru Albert segera mengundang kepala kampung untuk mengetahui dan menyaksikan peristiwa. Kepala kampung yang amat takut melanggar undang-undang lokal sang "obos," berkeras memberitahukan kecelakaan kepada atasannya itu. Sebenarnya, orangtua murid yang mendapat kecelakaan merasa tidak perlu menuntut, karena insiden itu adalah suatu kecelakaan murni yang tidak disengaja. "Sebaiknya kita bawa saja anak ini langsung ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan pertama, dan tidak perlu menunggu dilaporkan dulu kepada kontroleur....," demikian kata orangtua anak itu. Namun kepala kampung yang amat takut melanggar "titah" sang kontroleur, bersikeras membawa kasus kecelakaan lebih dahulu kepada sang petinggi kolonial.
.
Sekali ini maki-makian kontroleur itu kepada guru Albert tidak tertahankan lagi. "Kau ada di mana waktu kejadian? Jangan main-main dalam kerja, ya...," katanya dengan suara membahana. Dan guru itu mengatakan yang sebenarnya: "Saya sedang berada di ruangan lain, memeriksa pekerjaan murid-muridku; karena kebetulan saya merangkap mengajar pada dua kelas pada hari itu...," tangkis sang guru. "Nah sekarang sudah jadi bertambah-tambah masalah kau bikin. Kau tak boleh dipilih menjadi kepala-horja...... " kata kontroleur itu. Dimaksudkan dengan kepala-horja adalah jabatan baru yang direncanakan oleh pemerintah kolonial Belanda, untuk mengganti profesi atau jabatan para raja-ihutan yang meninggal dunia. Sudah sempat diadakan ujian-saringan untuk jabatan itu, tapi kemudian dibatalkan karena kalangan raja-ihutan menentangnya.
.
Memahami persis maksud ancaman sang obos, guru Albert malah menjawab dengan sinis. "Saya tidak minta dan tak berminat pada jabatan 'kerajaan kampung' itu. Saya adalah pelayan kerajaan Tuhan..." katanya. Jawaban guru itu semakin membuat sang kontroleur yang angkuh tambah gregetan. "Awas ya; hati-hati dalam pekerjaan....," begitulah akhir ancaman sang kontroleur, yang hanya disambut dengan senyum mesem oleh guru Albert. Dia sangat sadar bahwa atasan langsungnya adalah petinggi zending, bukan petinggi pemerintah kolonial Belanda.
.
Benturan sang obos dengan Raja-II Siborong-borong
.
Raja-II Siborong-borong menjadi amat resah dengan undang-undang sang kontroleur tentang kejadian dalam radius satu kilometer yang selalu harus dilaporkan kepadanya. Dia mengadukan peraturan yang ganjil itu kepada asisten-residen, atasan kontroleur, di Tarutung. Raja itu menyuruh putranya yang bernama Nahum menulis surat pengaduannya. Mungkin karena tulisan raja itu kurajig bagus, atau mungkin juga masih buta-huruf. Kebetulan Nahum adalah justru salah seorang jurutulis di kantor kontroleur itu.
.
Menerima tegoran kcras dari asisten-residen di Tarutung atas sikap-sikap kerasnya memerintah, sang kontroleur Siborong-borong mcnjadi uring-uringan dan mencak-mencak. Semua pegawai dikumpulkan. Tentu saja di antara mereka adalah Nahum. Si kontroleur menduga bahwa pengaduan Raja-II Siborong-borong tentulah ditulis olch putranya, Nahum sendiri.
.
Maka alamat pertanyaan pertama tak ayal lagi pasti ditujukan kepada Nahum. "Siapa kira-kira penulis surat pengaduan raja itu, Nahum..,,?" tanya kontroleur dengan beringas. Nahum yang pura-pura kaget, tapi cukup berpikir jernih dan sigap, secara spontan saja bereaksi begini: "Mungkin guru Albert tuan." Nahum tahu persis bahwa sahabatnya, guru itu, sudah beberapa kali terlibat perseteruan sengit dengan sang kontroleur. Sementara guru itu juga sangat bersahabat dengan ayah Nahum.
"Kalau begitu, panggil guru Albert menghadap...," titah sang kontroleur. Dalam perjalanan menghadap ke kantor, Nahum berembuk dengan sahabatnya itu. "Kakatanlah Albert, bahwa kaulah yang disuruh menulis surat itu oleh ayahku. Aku pasti akan 'mampus' dipecat si 'obos' yang angkuh itu kalau ketahuan...," katanya. Persahabatan yang tulus memang tidak bisa dihempang oleh bahaya apapun. Bukankah kalau guru Albert mengaku bahwa dialah penulis surat itu, takkan ada sanksi administratif apapun baginya, karena dia adalah bawahan zendeling Jerman, bukan bawahan kontroleur yang pejabatkolonial Belanda?
.
Dalam investigasi dadakan guru Albert dicecar dengan pertanyaan oleh kontroleur itu. "Betul kau, guru Albert, yang menulis surat raja-II ini...,?" katanya. "Betul tuan," kata Albert tanpa banyak pikir. "Ada salinannya kau pegang...,?" sambung kontroleur. "Ada tuan...," sergah Albert sigap. Rupanya Nahum yang cukup cerdik, memang sudah lebih dulu membuat salinan asli (belum ada alat sejenis foto-copy seperti di zaman modern) surat pengaduan untuk berjaga-jaga, yang terbukti memang diperlukan. "Kalau begitu berikan kepada saya...," kata kontroleur semakin geram.
.
"Hei jurutulis, coba periksa dulu, apakah ini benar tulisan guru Albert...," perintahnya kepada jurutulis/. Tampubolon yang turuthadir dalam proses investigasi. Berpura-pura memeriksa dengan teliti kesamaan surat itu dan contoh tulisan tangan guru Albert yang diminta, dengan tangkas Tampubolon berseru: "Benar tuan, memang itu adalah tulisan tangan guru Albert." Pada zaman itu memang banyak sekali tulisan tangan orang yang sangat mirip, tak dapat dibedakan, karena adanya aturan belajar marsurat-denggan atau menulis-indah, sehingga membuat huruf-huruf dan pola tulis mereka relatif sama.
.
Kontroleur tua yang matanya mungkin tak awas lagi, tak dapat menyadari adanya saling kedip segitiga antara ketiga orang muda, Nahum, jurutulis Tampubolon dan guru Albert dalam proses investigasi. Akhirnya kontroleur itu hanya bcrucap sinis kepada guru Albert: "Nah hati-hati ya; jangan campuri urusan pemerintahan." Dan guru Albert berlalu, sekali lagi dengan senyum mesem: Olo tuan (ya tuan), katanya.
.
Dalam memoirs-nya, pendeta Albert menorehkan komentarnya tentang insiden itu, begini;
Sebenarnya saya sadar bahwa apa yang saya lakukan dalam kasus Raja-II dan putranya, sahabatku, Nahum, adalah suatu dosa, karena merupakan saksi dusta, pelanggaran hukum taurat kesembilan. Tapi dalam Hal itu saya hanya bisa "marbeha binahen" (berucap apa boleh buat); agaknya terpaksa diperlukan demikian untuk melawan kontroleur si tinggi hati itu. Dan Albert melanjutkan pada bagian lain: Tentang mantri Nahum, sahabatku itu, selama hidupnya dia tidak pernah lupa "di panghophopon" (pada pengorbanan pembelaan) yang saya lakukan secara tulus baginya.
.
Kena batunya dengan sesama tuan kulit putih
.
Benturan lain masih menyusul. Guru Albert yang sangat kekurangan kayu bakar mengadukan kesulitannya kepada atasannya, zendelig Karl Lotz, (penggati Wagner) di Butar. Zendeling itu tahu betul bahwa para guru zending bawahannya tidak mungkin menyisihkan gaji mereka yang kecil untuk pembeli kayu bakar, yang seharusnya tersedia dengan melimpah di kampung-kampung pelayanan mereka, Tapi karena guru Albert ditugaskan di kota Siborong-borong, dia tidak mungkin melakukan kegiatan marsoban (mencari kayu bakar yang gratis) dalam kota. Namun Lotz tahu persis bahwa semua kompleks "godung" diperlengkapi dengan tanaman pohon-pohon keras, yang sebagian di antaranya dapat "ditebang-pilih." Atau setidak-tidaknya untuk memanfaatkan cabang-cabang besarnya. "Kenapa tidak kau potong pohon yang sudah layak tebang....," reaksi tuan Lotz kepada guru itu. "Saya orang kecil tuan; tak mungkin melanggar aturan kontroleur itu...," kata guru Albert.
.
Menjadi gemes mendengar undang-undang darurat kontroleur itu, tuan Lotz bergegas dengan dua orang tukang dari rumah-zendingnya di Butar ke Siborong-borong, yang jaraknya tidak sampai 4 kilometer. Dengan gergaji besar, mereka menebang kayu yang dipilih. Selesai penebangan dengan bunyi "booom" yang memang dahsyat, Lotz dan tukangnya segera kembali ke Butar. Si kontroleur terlambat sedikit, tak sempat menjumpainya lagi di sana. Tentu saja lagi-lagi guru Albert yang menjadi sasaran amukannya. Mengetahui bahwa yang menebang pohon adalah "tuan- zendeling berkulit putih" Lotz, kekesalannya naik sampai di ubun-ubun. Tak tahu harus menghukum siapa, kontroleur itu membuat sanksi lain. "Kau tidak boleh mengambil dan menggunakan pohon yang masih dalam perkara ini....," katanya. Guru Albert hanya diam saja. Tapi kelak, karena kayu itu akhirnya toh mengering, maka sedikit-demi sedikit akhirnya habis juga digunakan oleh keluarga guru itu.
.
Rupanya kedua tuan kulit putih, Lotz yang petinggi zending, dan sang konteler yang petinggi pemerintah kolonial, lalu saling mengadu kepada tuan asisten-residen di Tarutung. Dan konon, asisten residen mengatakan suatu kalimat apologi kepada tuan Lotz begini:
.
Kasihan dia itu (maksudnya sang kontroleur); "sianjuon do ibana" (dia itu perlu dimaafkan), karena sudah sangat uzur; lagi pula dia adalah orang angkuh yang sering mengalami stress.
.
Begitulah beberapa insiden dan pengalaman guru Albert selama menjadi pelayan penanggung-jawab jemaat dan sekol ah-zending di Siborong-borong dari tahun 1915 sampai dengan 1918. Di antara beberapa murid guru itu selama di Siborong-borong, antara lain adalah adik mantri Nahum^ Israel Hutasoit (kelak menjadi kepala-negeri Siborong-borong) dan Willy Hutasoit, kelak menjadi guru-jemaat.
.
Dalam masa tuanya di Siborong-borong (antara tahun 1953-1969) pendeta Albert yang sudah berpensiun di sana dalam usia lebih 80 tahun, akan selalu sama-sama duduk sebangku dalam gereja dengan para bekas muridnya dan tetua warga jemaat lainnya yang masih hidup. Cukup asyik menyaksikan mereka saling bersenda-gurau. Uniknya, dalam menjalani masa tua seperti itu, tampilan fisik mereka, bekas murid dan mantan gurunya itu, kelihatan seperti hampir sama saja, lengkap dengan peci hitam mereka masing-masing. Namun mereka amat menghormati pendeta Albert, bekas gurunya itu, dengan selalu menggunakan sapaan amang, yang berarti bapak.

Pelayanan Guru Sekolah dan Guru Jemaat - Huta Namora-Butar dan Bahal Batu

Agaknya, ketika tahun terakhir guru Albert melayani dijemaat Siborong-borong, rapat petinggi zending sudah menyetujui rekomendasi "beheerder" Humbang di Butar, untuk menominasinya mengikuti pendidikan sekolah pendeta pada periode angkatan yang mengikut. Tapi kelas itu bam akan dibuka pada bulan Januari tahun 1921 di Seminari Sipoholon. Zendeling Lotz memandang perseteruan Albert dengan kontroleur Siborong-borong sudah sangat tidak menyenangkan hati guru bawahannya itu. Diputuskannya menarik guru Albert sementara ke posnya, Huta Namora, mulai bulan September 1918. Namun barangkali ada maksud khusus zendeling itu, yaitu untuk membimbing dan memperkaya pengetahuan dan kemampuan guru Albert, bila kelak memang benar-benar dapat disetujui untuk diikutkan pada sekolah pendeta angkatan yang mengikut.
.
Namun secara kebetulan penulis memperoteh sebuah bericht tua jemaat Siborong-borong, periode 1901-1920, yang menguraikan serba sedikit masa pelayanan guru Albert di sana. Rupanya, sebagai ekses krisis sosial-politik karena kerja-rodi berat yang disebutkan di muka, kondisi warga jemaat juga menjadi sangat parah. Secara kebetulan pada tahun-tahun 1917-1918 keadaan iklim sangat buruk (kemarau yang membuat sawah jadi kering-kerontang), sehingga setoran iuran kepada jemaat dalam bentuk padi menurun sangat drastis. Sampai-sampai banyak warga yang mengeluh dan pasrah mengatakan: "Kami akan kembali menjadi siepelebegu saja." Beban kerja rodi dan masa haleon (kelaparan) itu membuat banyak sekali warga, termasuk para sintua, hijrah ke Dairi dan Kutacane. Menyimpulkan situasi jemaat Siborong-borong kala itu, inilah yang diberitakan dalam bericht tersebut:
.
Satu hal yang sangat menggundahkan hati pelayan jemaat kala itu ialah, kebengalan anak-anak muda. Mereka tidak sungkan-sungkan menghujat nama Yesus Kristus, dan menulisi dinding gereja dengan kala-kata kotor. Tapi orang-orang tua juga kurang berani menegor dan membimbing generasi muda itu. Agaknya pengaruh kemajuan umum, antara lain yang dibawa oleh terbukanya huhungan transportasi antara Medan dan Padang, yakni jalan-raya hasil kerja rodi itu, telah turut mempengaruhi perangai kaum muda.
.
Menyadari semua itu, agaknya guru Albert sudah merasa kurang "marrongkap" (jodoh) mengendalikan jemaat Siborong-borong ini, dia minta dimutasikan dari pos itu. Pada awal tahun 1918 dia dimutasikan ke pos zendeling di Huta Namora. Dia diganti oleh guru Nathan Nababan, yang datang dari Butar. Pada tanggal 24 Desember 1918, hanya ada 3 orang sintua saja yang mau datang membantu guru Nathan membentuk "gaba-gaba" (pohon natal), dan itupun hanya dengan sikap acuh-tak acuh.
.
Tidak banyak catatan guru Albert dalam pelayanan singkatnya di Huta Namora. Dia hanya ingat 14 tahun sebelumnya di Huta Namora ini dia ditolak oleh zendeling Wagner untuk mengikuti ujian masuk "sikola tinggi" karena dianggap masih terlalu kecil, padahal umurnya kala itu sudah 18 tahun. Namun enam tahun kemudian (1910) dia sudah menjalani guru-praktek di setasi-induk itu, masih di bawah supervisi Wagner sendiri.
.
Orem, istri guru itu, tentu mempunyai kenangan sentimental dengan jemaat Huta Namora dan Butar secara umum. Di situlah dia lahir pada tahun 1895, ketika ayahnya, Daniel Hutabarat, menjadi evangel is-gum yang mendirikan jemaat Butar dari awal dasawarsa I880-an sampai dengan berpensiun pada tahun 1900. Kunjungan singkatnya mengikuti pelayanan singkat suaminya sangat mendekatkan hubungan dan pergaulannya kembali dengan para warga jemaat Butar dan keturunannya yang menjadi warga binaan ayah-bundanya di sana sepanjang kuarter terakhir abad 19 itu.
.
Pada bulan Oktober 1919 guru Albert dimutasikan lagi oleh zendeling Lotz ke jemaat Bahalbatu, kampung kelahirannya sendiri. Dia ditugaskan untuk sementara mengisi pos guru-kepala sekolah yang sedang lowong. Mengingat pengalamannya di Getting (yang masuk ke dalam kawasan Bahalbatu), sebenarnya hatinya sangat sungkan menerima mutasi itu, sekalipun bersifat sementara. Tapi karena zendeling Lotz mengatakan hanya sampai menunggu benar-benar dipanggil masuk sekolah pendeta, maka Albert menerima saja mutasi itu.
.
Kembali menghadapi praktek "sipelebegu"
.
Memang tidak terlalu besar lagi masalah yang dihadapi guru Albert berupa pelecehan atau kebencian pihak keluarga tertentu kepadanya, yang bermuasal dari persoalan kekeluargaan-besar kakeknya, seperti disinggung di muka. Justru masalah yang muncul adalah perlawanan guru Albert menghadapi saudara-saudara sepupu dekat dan jauhnya, yakni perihal merebaknya lagi praktek hasipelebeguon (animisme atau agama-suku).
Pada suatu saat, guru Albert diundang untuk "menangani" persoalan siar-siaran (kesurupan) seorang janda, yang kebetulan akan dikawinkan dcngan seorang laki-laki kerabat almarhum suaminya. Adat Batak kala itu memang membolehkan (bahkan seringkali menganjurkan) seorang perempuan yang men-janda dinikahi oleh adik kandung atau sepupu almarhum suaminya. Menurut dugaan guru Albert, sebelum dilakukan pemberkatan nikah (biasanya perkawinan-ulang seperti itu hanya boleh dilakukan di rumah dan cukup ditangani langsung oleh guru-jemaat), rupanya sudah terjadi hubungan "serong" terlebih dahulu antara keduanya.
Kepala kampung setempat memberi isyarat bahwa dalam kesurupan itu ada kemarahan "roh" almarhum suami sang janda. Guru Albert yang relatif masih muda (sekitar 32 tahun kala itu) lalu berbisik kepada kepala-kampung, apa saja kira-kira yang terjadi. Dan bersikap seperti sambil menyindir, sang kepala kampung justru seperti ingin menantang guru itu supaya meperlihatkan kemam-puannya, berkata: "Nah sekarang lawanlah; sudah muncul tantangan yang seimbang dari musuhmu."
.
Mau-tidak-mau guru Albert harus bertanya dengan lantang kepada "roh" yang merasuki janda yang sudah "siar-siaran" (Inggeris: trance) itu. Maka pertarunganpun dimulai dengan menggunakan istilah dan hubungan kekerabatan. Menurut hubungan kekerabatan Batak, guru Albert seharusnya menyapa perempuan itu dengan nantulang (makcik). Dan si "roh" segera menjawab: Ahu do on here (ini aku, hai ponakanku).
.
Pertarungan itu berlangsung cukup lama dan alot, dengan segala macam dialog, dari tawar-menawar sampai perdebatan yang sengit. Pada suatu momen, janda yang kesurupan itu bahkan bisa dengan enteng saja naik ke bagian atas kusen pintu, dan anehnya dia punya kekuatan gaib bertengger di sana, pada bagian yang lebarnya hanya beberapa sentimeter saja. Namun guru Albert tidak mau kalah kepada "roh" yang merasuki sang janda. Akhirnya perempuan itu menjadi letih lunglai sendiri setelah sadarkan diri. Guru Albert meninggalkan saja dulu situasi di rumah itu. Namun permintaan pemberkatan nikah-ulang itu mcmang tak pernah diteruskan lagi olch kerabatnya.
.
Bertarung bahkan dengan saudara sepupu-kandung
.
Pertarungan kedua justru dimunculkan oleh abang sepupu-kandung guru itu sendiri, yang bernama Julius. Guru Albert sudah sermg mendengar bahwa abang scpupunya itu suka "mengundang-undang" roh, melalui seorang perempuan hasandaran (orang kesurupan) dari kerabat dekat mereka juga. Pada suatu malam, guru itu mendapat laporan bahwa Julius sedang "nanggap roh" lagi di kampung mereka, Lumban Holbung. Dia segera bergcgas dari "godung" menuju kampung bapaknya itu. Dipanggilnya Luther, kepala kampung yang adalah adik-sepupu kandungnya yang lain. Mereka menuju rumah Julius, abang-sepupu mereka. Menyadari bahwa adik-adik sepupunya, yang sekarang adalah "musuhnya," memanggil-manggil dari luar rumah, Julius akhirnya terpaksa juga membuka pintu rumahnya.
.
Mau tidak-mau guru Albert terpaksa segera bertarung dengan "roh" yang hinggap kepada perempuan "hasandaran" itu. Segala sumpah-serapah dimuntahkan sang roh. Suatu momen roh itu mcrajuk melalui perempuan "hasandaran," menga-takan bahwa mereka semua, "keturunan" si roh, sudah tidak mau lagi menghormati dan memperhatikannya, melalui pelean (sesembahan atau sesajen).
.
Guru Albert segera menangkis: "Bohong, kau bukan ompung kami; kau adalah iblis yang mau merusak kami." Tak urung si "roh" kembali menyumpah: "Kau jangan kurangajar kepada ompungmu ya. Kau tahu aku adalah si Ural Bahalbatul Nama itu adalah salah satu gelar kakek-moyang mereka yang bernama asli Ompu Tarduhir alias Pamulpul). Lihat nanti, anakmu yang sedang sakit itu tak akan hidup; akan kucabut nyawanya.....," kata sang roh memper-tajam ancamannya. Kebetulan putra ketiga guru itu sedang menderita sakit disentri yang sangat kronis kala itu. Guru itu menangkis lagi: "Tidak ada kuasamu atas nyawa putraku; hanya Tuhan yang punya hak atas dia....," katanya. Ima da, malona i molo angka pinomparhi manghatai...," (Begitulah ya, pintar sekali para turunanku itu bersilat-lidah., " kata roh itu lagi.
.
Begitulah pertarungan berakhir, setelah berjam-jam perempuan itu kesurupan dan bertarung-dialog dengan guru Albert. Ketika "hasandaran" sadar, dia seperti merasa sangat malu dan takut kepada guru Albert yang adalah cucu-sepupu dekatnya. Guru itu memesankan supaya adik-sepupunya, si kepala-kampung, mengikat roh dengan rantai, maksudnya perempuan "hasandaran" sendiri, kalau masih terus saja mengganggu iman orang sekampung.
.
Kepala kampung itu kemudian menyela: "Itulah abang, dulu dia bilang anakku yang sakit akan sembuh, tapi mati juga. Dia bilang saya akan bisa memenangkan pertarungan merebut 'harajaon' (kerajaan) itu, tapi hasilnya nihil." Begitulah guru Albert menyadarkan semua abang dan adik sepupunya yang masih suka "main undang roh," itu, yang disebutnya sebagai pekerjaan iblis.

Di Sekolah Pendeta

Pada bulan Januari 1921, setelah persis sepuluh tahun menjadi guru-zending, secara resmi guru Albert dipanggil mengikuti sekolah pendeta di Seminari Sipoholon. Penunjukan mengikuti sekolah pendeta dengan masa kerja sependek itu, hanya sepuluh tahun, dapat dianggap cukup istimewa, ketimbang rekan-rekannya seangkatan yang punya masa kerja lebih panjang. Bahkan ketimbang ratusan guru-zending lainnya, yang tidak pernah dinominasi dan ditunjuk mengikuti sekolah pendeta. Ada sepuluh orang mereka, guru-guru zending pilihan pada angkatan ke-X, pada tahun 1921-1922. Nama-nama mereka berdasarkan urutan abjad nama baptis, menurut sistem administrasi zending kala itu, adalah: 1. Albert Lumbantoruan (dia sendiri); 2. Boas Simatupang; 3. Heinni Hutapea; 4. Henok Tampubolon; 5. Henok Hutasoit; 6. Kalvin Sihite; 7. Lucius Lumbantobing; 8, Peter Tambunan; 9. Tijrannus Hasibuan; dan 10. Willij Sinaga.
.
Tidak banyak yang dituliskan pendeta Albert dalam memoirs-nya tcntang pengalamannya semasa mengikuti sekolah pendeta itu. Bagian yang paling menyedihkan hatinya adalah kematian Bonar, putra ketiganya, yang beberapa bulan sebelumnya dikatakan oleh "roh moyang" Albert melalui perempuan "hasandaran," akan dicabut nyawanya. Namun, tentang kematian putra ketiganya itu Albert hanya pasrah berserah kepada Tuhan mengatakan, bahwa segala sesuatunya adalah terlctak di tangan-Nya. Ternyata penyakit disentri putranya pada usia balita itu memang sudah tcrlalu kronis dalam kelangkaan obat-obatan di kampung pelayanannya kala itu.
.
Hampir dikeluarkan dari sekolah pendeta
.
Kenangan Iain yang sangat mendebarkan hati Albert adalah, ketika dia baru setengah tahun menjalani sekolah pendeta dan merupakan siswa terbaik di antara mereka bersepuluh, dia diancam oleh Ephorus Wameck untuk dipecat dan harus dipulangkan ke kampungnya. Hukuman itu dijatuhkan karena Albert meng-hadiri pesta syukuran pelantikan iparnya, pendeta kepala-negeri Josua, yang menanggap gondang. Hanya karena kegigihan tuan Mindermann, kepala sekolah pendeta, mempertahankan Albert, yang membuat ancaman Ephorus Wameck jadi batal.
.
Tak urung, ketika tamat dan ditahbiskan pada bulan Oktober 1922, Albert lulus dengan predikat denggan situtu, yang berarti sangat mcmuaskan alias cum laude, dan yang terbaik pula di antara rekan seangkatannya, Pcnghargaan kepada peringkat pertama itu dimanifestasikan oleh petinggi zending dengan penunjukannya untuk menyampaikan "khotbah sulung" dalam kebaktian tahbisan, yang kala itu ditradisikan oleh zending. Konon, banyak pengikut kebaktian tahbisan di gereja Pearaja hari itu yang berkomentar begini: Eteng do nian pamatang ni pandita i ate, alai soarana marbabang. (Sebenarnya pendeta itu berpostur kecil saja, tapi suaranya membahana). Tidak dijelaskan, apakah peserta kebaktian itu hanya menilai suara pendeta itu yang "marbabang", atau juga mengomentari isi kotbahnya.
.
Hanya delapan orang di antara mereka seangkatan yang ditahbiskan pada hari itu di gereja Pearaja. Dua orang lagi ditahbiskan beberapa bulan kemudian di jemaat masing-masing. Penundaan tahbisan kepada kedua pendeta yang lain dilakukan sebagai hukuman, karena oleh dewan gurunya mereka dinyatakan bersikap kurang menyenangkan sebagai calon pendeta. Mereka dianggap bersikap angkuh, dan justru keduanya suka berseteru satu terhadap lainnya. Pendeta Tijrannus Hasibuan yang kelak amat tersohor sebagai "pendeta-evangelist" sempat berkomentar: "Sebaiknya saya pulang kampung saja, bila harus mclihat kelakuan rekan seperti kedua orang itu, yang tidak layak jadi pendeta." Agaknya karena alasan etis, dalam memoirs-nya, Albert tidak memberi identifikasi nama kedua rekannya yang mendapat tahbisan tunda itu.

Pelayanan Kependetaan - Jemaat Sihorbo-Barus

Pada bulan Desember 1922, keluarga pendeta Albert berangkat ke Barus, melalui Sibolga. Mereka melakukan perjalanan darat, karena istri pendeta itu sangat alergi dan takut naik perahu. Dalam perjalanan, mereka mampir bennalam di huria pagaran (jemaat-cabang) Ribidang. Di situ melayani-guru Fridolin Hutasoit, rekannya warga Humbang yang berasal dari Butar. Guru Fridolin adalah ayahanda Prof. Dr. Jannes Hutasoit yang kelak menjadi menteri-muda pertanian di zaman Orde Baru. Jannes justru lahir di jemaat Ribidang.
.
Jemaat Sihorbo-Barus mempunyai status yang agak unik di lingkungan pelayanan zending. Seperti diKetahui melalui sejarah Batakmission, di sanalah zendeling Nommensen untuk pertama kali mencoba membuka pelayanannya, setelah tiba di Sibolga pada tahun 1861. Tapi karena menyadari kenyataan tidak mungkin berkembang, dia lalu menyusul rekan-rekannya ke Sipirok. Persis sama seperti 60 tahun sebeiumnya, pada akhir tahun 1922 itu, hampir seluruh penduduk berdarah Batak dan gcncrasi pendatang pendahulu sudah beragama Islam, terutama penduduk kota Barus dan sepanjang pesisir pantai barat. Sehubungan dengan kenyataan itu, pendeta Albert yang relatif masih muda-usia, harus pintar-pintar menyesuaikan diri di kalangan masyarakat yang majemuk di Barus.
.
Melayani Batak-Toba pendatang lanjutan
.
Karena situasi yang dihadapi pendeta Albert, sasaran warga yang akan dilayaninya bersama para guru pelayan-zending lam di kawasan itu, umumnya adalah orang Batak "pendatang kemudian." Mereka itu adalah yang meneruskan jalur panombangan (pencarian lahan baru pertanian) melalui jalur Samosir-Humbang Barat-Dolok Sanggul-Onanganjang-Parlilitan-Pakkat dan akhirnya Barus. Bahkan ada yang meneruskan garapannya sampai ke Singkil.
.
Mereka itu mungkin ada yang sudah memeluk iman Kristen sebelumnya di Humbang Timur, Toba Holbung atau Samosir, sebelum "manombang" ke kawasan Barus. Namun cukup banyak juga di antara mereka yang masih pemeluk agama suku. Mereka itu adalah yang tidak bersedia mcmeluk Islam, yang hanya dianut oleh pendatang Batak sebelum mereka, dan umumnya lebih banyak bermukim di bilangan pesisir, bukan pedalaman.
.
Menurut catatan-pelayanan pendeta Albert, membentuk dan membina iman kristiani penduduk seperti itulah yang justru lebih sulit. Karena kebanyakan masih harus dimulai dari "evangelisasi" tahap pertama. Orem, istri pendeta itu sering menceritakan bahwa taraf hidup sosial penduduk, khususnya yang akan mereka layani, masih sangat rendah ketika mereka tiba di resort Sihorbo. Konon, anak-anak remaja yang berumur sekitar 10 sampai 15 tahun kala itu, masih lari-lari berkeliaran atau bermain dengan bertelanjang bulat. "Membudayakan" penduduk dan warga jemaat seperti itu bukanlah hal yang langsung mudah pada kurun waktu 1920-an itu. Di samping tingkat "intelektualitas" yang masih kurang, tentu harus diperhitungkan soal kemampuan ekonomi yang lemah dalam hal pengadaan pakaian yang sederhana sekalipun.
.
Jemaat-jemaat cabang resort Sihorbo kala itu cukup jauh, yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Salah satu jemaatnya yang terjauh adalah Singkil. Pendeta Albert yang biasanya ditemani oleh satu-dua orang sintua ke jemaat-jemaat cabang jauh, sering harus berpapasan dengan harimau. Tentang teknik menghadapi harimau di Barus, pendeta Albert punya resep yang diper-olehnya dari para sintua rekan seperjalanannya. Bila sudah kepergok langsung berhadapan dan bertemu muka dengan nagogo (harfiah: yang kuat; maksudnya harimau), disarankan untuk tidak bergerak; harus membuka mata lebar-lebar seraya menantang matanya. Syukur-syukur sang harimau akan mc-nyingkir sendiri, karena merasa kalah gertak.
.
Di malam hari, nyalakan rokok terus-menerus atau obor, karena harimau sangat takut pada api. Metode ini perlu dilakukan, termasuk ketika sama-sama menunggu jatuhnya durian dari pohon, dengan sang harimau yang juga me-nunggu dalam semak-semak. Dalam perjalanan pelayanan, sesekali rombongan pendeta itu bertemu langsung dengan rombongan gajah yang turun dari Aceh Barat dan Tenggara.
.
Terus selalu mendampingi "tuan pandita" Jerman
.
Barangkali dapat dikatakan merupakan suatu keistimewaan, bahwa sejak dari penempatan pertamanya di Barus, pendeta Albert sudah ditugaskan melayani dalam satu lingkungan jemaat, mendampingi seorang zendeling yang berfungsi scbagai pendeta resort. Atasannya yang pertama adalah zendeling William Heibach, yang kemudian diganti oleh zendeling Bersenschmidt. Umumnya, zendeling yang ditempatkan langsung daiam satu pos dengan pendeta-pribumi seperti itu, adalah yang relatif lebih muda atau yang baru tiba ke Tanah Batak dari Eropa.
.
Dalam pola penugasan seperti itu, biasanya pendeta pribumi yang ditempatkan mendampingi para zendeling dipilih di antara yang dianggap "terbaik'' oleh pimpinan zending. Kriteria terbaik itu antara lain adalah: karena paling penyabar, paling bersahaja, atau paling sedikit protes. Singkat kata, tidak suka neko-neko seperti kata orang Jawa. Bagi beberapa pendeta pribumi, penempatan dengan modus seperti itu mungkin ada hikmahnya. Namun mungkin lebih banyak beban mentalnya, karena sangat sering menimbulkan kejengkelan umum, sebagai akibat benturan yang sangat bersifat pribadi.
.
Dalam memoirs-nya, pendeta Albert menyesali "kebodohannya" sebagai seorang pendeta-pribumi muda-usia, karena langsung turut tergiur mengikuti arus ekonomi pada zaman itu, menanam hapea (karet) yang sangat laku di pasar dunia. Kepala-kampung Natan Matondang, seorang warganya di jemaat-cabang Pagaranlambung, menawarkan sebidang tanah seharga f.90 untuk ditanami karet. Rupanya sang zendeling, tetangga di sebelah rumah, yang secara organisatoris merupakan atasannya , langsung mengadukan hal itu kepada pimpinan zending. Padahal uang pembelian tanah kebunnya adalah scpenuhnya dari tabungan pribadi pendeta itu. Nafsu "berekonomi pasar" dalam usia sedini itu (sekitar 35 tahun) bagi seorang pendeta-pribumi agaknya sudah langsung dicap sebagai suatu "dosa," setidak-tidaknya pelanggaran kepada sikap-iman pietisme yang dituntut oleh zendeling atasannya.
.
Konon, kemudian diberitakan bahwa pendeta itu wajib disalahkan karena terlalu cepat tergoda oleh upaya mencari harta-duniavvi. Karena itu, pada tahun 1926, pendeta Albert sudah dimutasikan ke Toba Habinsaran. Dan kebun karet itu akhirnya hilang tak tentu rimbanya, tak pernah lagi dijenguk atau diurus olehnya. Kelak pendeta itu selalu menasehatkan dengan penekanan-penuh (punktuatif) kepada semua anak-anaknya, supaya tetap mengejar profesi sebagai pegawai pemakan gaji (while collar) seperti dirinya saja, dan tidak perlu mcnjadi wiraswastawan.

Pelayanan Kependetaan - Jemaat Parsambilan - Toba Habinsaran

Dilihat dari segi pelayanan, resort yang baru ditempati pendeta Albert ini dapat dikatakan sangat luas. Sebagian besar medannya sangat sulit dijelajah kala itu. Di sinipun, pendeta Albert dapat dikatakan bertugas "mengawal" tuan Weissenbruch, zendeling muda yang berkedudukan sebagai pendeta resort di jemaat-induk Sitorang. Secara praktis, jemaat Sitorang dan Parsambilan, tempat kedudukannya yang dekat, disatukan dalam satu resort pelayanan yang dipimpin oleh sang zendeling, dengan pendampingan pendeta-pribumi, Albert.
.
Proses historis jemaat induk parsabilan
.
Sebenarnya, pada mulanya jemaat Parsambilan den£an kedudukan induk resort di godung Losung Batu, adalah tempat kedudukan seorang zendeling Jerman, sama seperti jemaat tetangganya, Sitorang. Pada dasawarsa 1890-an, untuk pertama kali Ephorus Nommensen sudah menempatkan seorang zendeling ke Parsambilan, yakni George Yung, yang lebih tersqhor dikenal warganya dengan sapaan tuan Jung. Zendeling inilah yang menerima tanah-hibah yang cukup luas dari raja-raja kawasan Parsambilan, yakni Raja Punsaha Langit dan kedua adiknya Raja Puniahi dan Raja Patugaram bermarga Sitorus. Ketiga mcreka adalah keturunan langsung dari Raja Sigodangtua, cucu Raja Matasopiak, melalui putranya Raja Manjunjung.
.
Konon, sebelum tanah pertapakan godung Parsambilan dihibahkan oleh kakak-beradik Raja Punsaha Langit kepada tuan Jung, terlebih dahulu dilakukan semacam dialog-tarung "adu ilmu" antara kcdua belah fihak. "Kasus" Parsambilan atau Losungbatu ini tidaklah perlu mengherankan bagi pembaca, karena hampir semua raja Batak zaman keperintisan melakukannya kepada Nommensen atau rekan-rekan zendelingnya.
.
Kasus seperti itu juga cukup dikenal misalnya dalam sejarah pengembangan pemberitaan Injil di kawasan Asahan Hulu (baca: Batak Pardembanan). Bahwa debat "adu ilmu" yang sama, bukan tak dilakukan oleh Tuan Nagori Manurung kepada para evangelis Batakmission yang mencoba menginjili kawasan itu sebelum kedatangan misi Methodist ke sana kemudian.
.
Konon, dalam "encounter" (persinggungan) pertamanya, Nagori menantang, apakah para evangelis dapat menyebutkan dengan tepat jumlah daun yang berguguran dari pohon-pohon sekitar tempat mereka sedang melakukan dialog. Dipimpin oleh hikmat-kebijakan dari Allah Bapa, para evangelis itu menjawab: "Akh itu bisa saja rajanami (bapak raja); tolonglah raja menyuruh berhenti angin yang sedang bcrtiup, supaya kami dapat memberitahukan dengan tepat jumlah semua daun yang sudah gugur itu."
.
Tidak diberitakan lebih lanjut bagaimana dialog-tarung itu berakhir. Tapi yang pasti, ketujuh kampung Batak Pardembanan kemudian menjadi warga protestan-Methodist generasi pertama di kawasan itu, sejak dari awal dasawarsa 1920-an. (Tentang lika-liku proses pcnginjilan oleh misi Methodist Episcopal Church kepada warga Batak Pardembanan, dapat pembaca simak lebih rinci pada kedua buku, Tahbssan Istimewa dan Arga Do Bona Ni Pinasa, yang merupakan seri-trilogi dengan buku ini).
.
Lahan pertaman gereja yang mencukupkan nafkah hidup
.
Tanah pertapakan godung yang dihibahkan oleh kakak-beradik Raja Punsaha Langit Sitorus di Losungbatu, ternyata cukup luas. Lahan itu terdiri dari tanah darat untuk bangunan-bangunan milik zending dan kebun, serta tanah sawah untuk digarap pendeta dan guru-guru zending yang kemudian ditugas-kan melayani di sana. Kelak sejarah zending mencatat bahwa pargodungan (komplek gereja yang juga mengandung tanah-sawah) Losungbatu adalah salah satu di antara milik zending yang paling luas di Tanah Batak.
.
Notasi dalam memoirs pendeta Albert menyebutkan bahwa begitu luasnya kebun dan tanah-sawah zending yang digarap oleh keluarganya, sampai-sampai mereka dapat memelihara 500 ekor itik. Ratusan itik itu cukup dilepas begitu saja seusai panen pada areal sawah zending dan sawah tetangga yang amat luas sekitar godung, dan sore hari akan kembali sendiri ke kandang untuk bertelur. Sekali ini, agaknya zendeling atasannya, Weissenbruch di Sitorang, tidak merasa perlu mela-porkan keluarga pendeta bawahannya itu sebagai "terlalu gesit melakukan usaha sampingan untuk mencari uang tambahan," sepcrti kasus Bams yang diberitakan di muka. Karena justru para zendeling itulah yang sangat mendorong pengerja-pribuminya bertani, tapi bukan berkebun komersial.
.
Karena itu, ratusan telor bebek dipasok istri pendeta itu setiap hari ke asrama-asrama polisi dan sekolah HIS di Narumonda dan pekan Porsea. Tak urung, penghasilan sampingan itu cukup berarti menambah jumlah gajinya yang tak seberapa (hanya f.40 per-bulan), untuk membiaya sekolah putra sulungnya, yang mulai tahun 1930-an sudah diutus ke HIK Kristen, Solo, dengan biaya bulanan tak kurang dari f.25.
.
Lahan bekas markas Pidari?
.
Kembali kepada soal penghibahan lahan yang luas kepada zending di Losung Batu. Tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada Raja Punsaha Langit dan adik-adiknya atas kemurahan hati mereka, perlu dicatat bahwa ternyata tradisi temurun keluarga-besarnya sendiri menyatakan bahwa sebelumnya lahan itu adalah kompleks parsombaonan. Maksudnya, lahan itu sangat angker, karena berupa tempat pemujaan dan bersemayam para roh nenek-moyang danbegu, yakni segala macam jin, hantu dan yang sejenisnya. Pendeta Albert sendiri juga menyinggung sedikit mcngenai hal ankernya "parsombaonan" itu dalam memoirs-nya, yang dikaitkan dengan caranya membimbing putra sulungnya dan warga setempat untuk tidak percaya, atau tidak takut lagi kepada segala macam hantu, seperti akan diberitakan pada bagian lanjutan.
.
Lebih jauh tentang tanah hibah "pargodungan" itu, penulis sendiri mempunyai satu analisa khusus perihal kemungkinan kaitan latar-belakangnya yang lain. Ada kemungkinan, lahan itu memang telah ditelantarkan oleh keluarga-besar pemiliknya, karena sudah menjadi angker sebagai akibat bekas lokasi "pembantaian" tawanan oleh pasukan kaum Pidari yang menginvasi dan menduduki Tanah Batak di sekitar dasawarsa 1820-an.
.
Status lokasi tanah hibah seperti ini di Bungabondar (Angkola), Pearaja ian Sigompulon (Silindung), serta Butar di Humbang, sudah menunjukkan fakta sebagai tempat "parsombaonan," seperti diberitakan pada Bagian Pertama. Telah Jisinggung pula pada Bagian Pertama, bahwa kawasan Toba Habinsaran, termasuk Parsambilan, adalah jalur lintasan serbuan pasukan Pidari yang dipimpin oleh para komandannya, Tuanku Asahan (Mansyur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang) dan Zulkarnain Aritonang, yang naik menyerang dari Bandar Pulau, dan tembus ke Porsea melalui Parsambilan. Telah diberitakan pula, bahwa tukang-bantai yang paling keji di antara semua komandan pasukan Pidari bergelar "tuanku" itu, adalah Tuanku Lelo (Nasution), yang memang bermarkas di Toba Holbung dan malang-melintang melakukan perampokan, perkosaan dan pembunuhan yang amat mengerikan.
.
Setelah menerima hibah tanah Parsambilan itu, zendeling Yung mulai membangun kompleks "godung" Losungbatu yang sangat luas dan asri. Keindahannya masih terlihat hingga sekarang. Apalagi karena di sampingnya kini berdiri dengan megah jabu parsantian (rumah gadang) milik pengusaha tenar R.D.L. Sitorus, Kemudian, para zendeling yang pernah melayani Parsambilan secara berturut-turut adalah tuan Gerike, yang dipindahkan dari Nainggolan, Samosir; Beisenherz (1910) yang melayani hanya sebentar saja, karena dipindahkan lagi ke Pansur Napitu. Pos Losungbatu kemudian kcmbali ditempati oleh tuan Jung; dan akhirnya, menjelang dihapuskan sebagai tempat kedudukan zendeling, ditempati oleh zendeling William Heibach yang kemudian dipindahkan ke Barus.
.
Status unik resort Parsambilanan akibat Program
.
Melalui sebuah peraturan reorganisasi zending atas prakarsa petinggi RMG di Barmen pada tahun 1910, beberapa jemaat pelayanan zendeling dalam jarak yang dianggap "terlalu berdekatan," cukup digabung-gabungkan menjadi satu. Sejalan dengan kebijakan itu pula, sistem "distrik" diperkenalkan dan diberlakukan. Sejak tahun 1911 Distrik Toba dibentuk, dan dipimpin oleh praeses Meerwaldt. Tempat kedudukan zendeling di kawasan Toba Habinsaran yang digabungkan itu, ditetapkan di Sitorang yang amat dekat dengan godung Losungbatu.
.
Karena itu, untuk pertama kali pada tahun 1911, jemaat Losungbatu itu ditetapkan bukan lagi berstatus resort, dalam pengertian yang dipimpin oleh seorang zendeling. Meskipun demikian, jemaat Losungbatu masih tetap membawahi atau mengkoordinasi banyak huria pagaran (jemaat cabang) lainnya, di luar yang masuk ke jemaat-induk Sitorang. Yang ditetapkan akan memimpin jemaat-induk Losungbatu sejak reorganisasi itu adalah seorang "hulp-zendeling" alias pembantu-zendeling atau pendeta-pribumi.
.
Pendeta pribumi pertama menduduki pos yang ditinggalkan oleh zendeling Yung itu adalah Josua Hutabarat, alumnus angkatan ke-III, tahun 1889-1891. Sehubungan dengan kepedihan hati keluarga pendeta itu karena pembakaran rumah-dinasnya pada tahun 1916 (lihat Bab I Bagian Kedua di muka), kemudian tugas-pelayanannya digantikan oleh pendeta Benoni Simanjuntak, dari tahbisan angkatan ke VII, 1915-1917. Dan pendeta Benoni inilah yang digantikan oleh pendeta Albert, yang lebih junior tiga angkatan, di godung Losungbatu mulai bulan Januari 1926.
.
Karena tidak diadakan pembagian garis wilayah yang resmi antara zendeling Weissenbruch di "godung" Sitorang dan pendeta Albert di "godung" Parsambilan, maka praktis pendeta-pribumi itu juga melakukan sebagian pelayanan dalam jurisdiksi tanggungjawab zendeling "atasannya." Berarti, jemaat-jemaat yang ikut dilayaninya adalah semua jemaat-cabang di kawasan Sitorang, Parsam¬bilan, Parsoburan. sampai ke Borbor. Kala itu, semua jemaat di Parsoburan sampai ke Borbor masih menyatu dalam satu jemaat-induk besar Losungbatu, tapi disupervisi oleh seorang hulp-zendeling saja. Menurut notasi-pelayanan pendeta itu, di antara jemaat-jemaat cabang yang pernah turut dilayani olehnya dalam resort maha-luas itu, antara lain adalah:
.
Sitorang, Silaen, Lumban Lintong, Batugaja, Natolutali, Sibide, Losungbatu, Pintubatu, Sitnanobak, Parsoburan, Lumban Pinasa, Lintong, Lumban Balik, Batu Manumpak, Dolok Nauli, Lobu Dapdap, Lumban Ran, Natumingka, Tor Ganjang, Lobu Hole, Pangururan (bukan Samosir), Pintubatu, Siringkiron, Hite Tano, Tangga, Borbor dan beberapa lainnya.
.
Jemaat Parsoburan yang kini sudah menjadi jemaat-induk, begitu juga jemaat Borbor, masih cukup lama, atau sekitar 5 tahun lagi terus dilayani oleh pendeta Albert dari godung Losungbatu. Barulah pada awal tahun 1930, Parsoburan mulai memperoleh pendeta-pelayannya sendiri, yakni Jason Simatupang, yang memperoleh tahbisan pada angkatan ke-XII, akhir tahun 1929. Nama semua jemaat-cabang yang disebutkan di muka, diberitakan dengan rinci oleh pendeta Albert dalam buku memoirs-nya.
.
Pengalaman pendahuluan
.
Cukup banyak pengalaman pelayanan-berkem-bang yang dicatat oleh pendeta Albert selama lebih dclapan tahun pelayanannya di Parsambilan, yakni dan tahun 1926-1934. Sebelum tiba di sana, eksistensi jemaat ini sudah pernah didengarnya melalui kakak-iparnya yang tertua, pendeta Josua Hutabarat, yang rumah dinasnya dibakar oleh orang yang membenci zending sepuluh tahun sebelumnya, yakni 1916. Menurut catatan harian kedua pendeta yang berkakak-ipar itu, pada masa pelayanan masing-masing, masih cukup banyak warga jemaat yang praktis hanya mengikuti "mode" tercacat sebagai orang Kristen, tapi sangat jarang berkebaktian ke gereja. Bahkan yang sudah menjadi sintua juga banyak yang malas ke gereja. Praktek hasipelebeguon (animisme) masih sangat kuat dan merata di setiap kampung.
.
Kebetulan agama-agama suku seperti Parbaringin, dan agama-khusus yang dikembangkan oleh Guru Somalaing Pardede (entah apa nama agama itu dia sebut), dan lain-Iain yang sejenis, masih sangat, kuat tumbuh di kawasan itu. Banyak sekali "datu" (dukun) "melayani" di setiap kampung. Di antara para dukun banyak yang memelihara "black magic" (ilmu hitam), ilmu tenung, pengadaan racun dan gadam, yakni ramuan pembuat sekujur tubuh orang yang digadam menjadi gatal-gatal bernanah, terkadang sampai meleleh.
.
Para datu itu bahkan sering datang "berkunjung" ke godung, untuk menantang-nantangkan ilmunya kepada pak kanjita penghuninya. Dalam memoirs-nya, pendeta Albert menerangkan dengan lucu, bahwa istilah "kanjita" itu digunakan oleh sebagian penduduk Toba Habinsaran setempat, yang maksudnya adalah pandita atau pendeta, agak berkonotasi pelecehan. Tentang segala sesuatu yang berbau mistik dan kekuatan supra-natural di zaman bahari, kawasan Toba Habinsaran inilah yang sering diberita-beritakan orang sebagai negeri^/1 pahabang losung (yang mampu menerbangkan lesung sebagai alat untuk menyerang musuh di kampungnya).
.
Buklet Pillit ma Hangoluan i, yang disajikan oleh panitianya dalam rangka Pesta Jubiluem 100 Tahun HKBP Losungbatu pada tahun 1992, menyajikan Bagian ke-III dengan judul Parheheon, Hahihinsat, Lam Magodang (1911-1939). Tahun 1911 yang dimaksud oleh tim-penulisnya adalah persis tahun penghapusan kedudukan zendeling di Losungbatu, dan menjadi dilayani oleh pendeta-pribumi pertama, Josua Hutabarat, yang kebetulan adalah abang-ipar tertua pendeta Albert. Dan tahun 1926 sampai dengan 1934 dalam periode yang menjadi sub-judul bagian tersebut di atas, adalah periode yang dilayani oleh pendeta Albert sendiri. Karena itu, kesaksian Panitia Sejarah dalam buklet tersebut, sudah cukup menunjukkan bakti pelayanan kedua pendeta yang beripar itu, terutama pendeta Albert yang melayani cukup lama, yakni 8 tahun 3 bulan di jemaat induk Losung Batu.
.
Metode yang sangat berani
.
Pendeta Albert mempunyai satu metode yang amat berani untuk menaklukkan para datu yang berkarya "negatif' (black magic). Dalam rapat majelis yang dipimpinnya, diambil sebuah keputuskan bersama dengan para guru-jemaat dan sintua, untuk menghancurkan uti-utian (segala perangkat milik datu) yang negatif di kampung-kampung sekitar, secara bertahap. Setiap selesai kebaktian minggu, pendeta Albert menanyakan kepada guru-jemaat, giliran ke kampung mana mcrcka pad a minggu-siang itu untuk membujuk datu setempat agar mau menghancurkan uti-utian hadatuon miliknya. Begitu sampai di kampung yang dituju, rombongan pendeta itu mengucapkan kata-kata kulo nuwun (Jawa: permisi dengan sopan santun), dan mengajak sang datu berdialog, yang berakhir dengan bujukan supaya bersedia membuang "uti-utian" penghancur bersifat negatif yang dipeliharanya.
.
Cukup banyak datu yang akhirnya mau "tunduk" kepada bujuk-rayu itu secara suka-rela. Sebagai imbalan, dua-tiga minggu kemudian rombongan pendeta itu menawarkan, kalau-kalau ada di antara putra atau kerabat dekat sang datu yang layak diajak untuk menjadi calon "sintua." Umumnya metode ini sangat efektif meredam pengulangan praktek "hadatuon" (kedatuan) oleh dukun yang bersangkutan. Salah satu guru jemaat-induk Parsambilan yang terkenal amat gesit dan berdedikasi pelayanan yang cukup tinggi dalam kurun waktu itu adalah Luther Simanjuntak. Seorang guru lainnya adalah Philemon Napitupulu. Seorang putra guru Philemon kelak tamat dari sekolah dokter hewan di Bogor di penghujung dasawarsa 1930-an.
.
Yang cukup dramatis adalah ajakan, atau lebih tepat instruksi, pendeta Albert kepada para "sintua" dan guru yang datang bersamanya, supaya memanjat para-para (bagian ruang atas-depan) sopo atau rumah sang datu yang tidak bersedia membuang aji-ajiannya. Para "sintua" yang muda-muda naik ke para-para, mencari dan menemukan perangkat milik datu, menjatuhkan ke bawah dan mengumpulkannya di tengah halaman kampung yang luas. Lalu mereka memba-karnya secara dramatis.
.
Sebenaraya mereka menyadari bahwa tindakan seperti itu adalah merusak, dan melanggar hak azazi orang lain menurut kriteria yang dikenal di zaman modem. Tapi dengan keyakinan bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh datu pemegang aji-aji penghancur mungkin lebih dahsyat, maka rombongan pendeta itu bcrani melakukannya. Lagi pula, kala itu pemerintah kolonial juga sudah melarang praktek "hadatuon yang bersifat penghancur" alias "black magic". Dengan kehadiran polisi yang dekat di Porsea dan Silaen, mereka cukup berani melakukan penghancuran perangkat datu yang punya daya penghancur, dan tetap "membangkang."
.
Kelak, St. Titnbul Sitorus, seorang putra jemaat-induk Losungbatu yang cukup terkemuka di rantau, pernah menjelaskan secara lisan kepada penulis, begini:
.
Sejak sekitar tahun 1936, yang bernama rasun (racun), dorma (pelet) dan homitan (jimat-jimat simpanan) boleh dikatakan sudah hapus dari kalangan warga Sitorus Parsambilan.
.
Bila catatan kurun-waktu dalam pernyataan itu cukup akurat, tidak dapat disangkal lagi bahwa tahun 1936 itu adalah kurang dari dua tahun setelah pendeta Albert meninggalkan jemat itu, setelah dilayaninya selama 8 tahun 3 bulan. Dengan kata lain, bagian terbesar dari upaya memerangi "praktek animisme" di kawasan
Parsambilan itu adalah karya pelayanan pendeta Albert bersama jajaran pelayan yang dipimpinnya.
.
Mendidik para sintua supaya menjalankan tugas pelayanan
.
Ada sebuah cacatan yang unik dan lucu dalam memoirs pendeta mi, yakni mengenai caranya membuat para sintua-nya jera atau malas datang mengikuti sermon mingguan. (Sermon adalah pembahasan Firman Tuhan yang akan dikhotbahkan pada hari Minggu yang berikut, dan sekaligus menjadi rapat-kecil rutin, membicarakan berbagai pelayanan pada Minggu yang akan berjalan). Pada mulanya, secara demoktratis pendeta itu, menanyakan pendapat para sintuanya, tcntang hukuman apa yang terbaik dijatuhkan oleh "devvan majelis jemaat" kepada sintua yang sering mangkir mengikuti sermon. Suatu cara cepat mereka temukan. Memberlakukan denda satu benggol (dua-setengah sen) untuk sekali mangkir. Akumulasi uang denda itu mereka sepakati akan digunakan untuk konsumsi dewan majelis sendiri.
.
Ternyata cara ini tidak efektif. Banyak sintua yang dengan senang hati dan enteng saja membayar dendanya, yang mungkin dirasakannya tidak terlalu berat. Mengenakan jumlah denda lebih besar, dirasakan oleh pendeta itu kurang etis, dan bukan jalan penyelesaian terbaik. Pendeta itu lalu menemukan satu cara baru, dan melemparkan gagasannya itu kepada dewan.
.
Aturan mainnya: Sermon minggu berikutnya akan dilakukan di kampung dan nun ah sintua pe-mangkir pada minggu sebelumnya. Setelah dilaksanakan beberapa kali, para sintua itu merasa jera menjadi tuan rumah sermon majelis yang harus dilakukan di rumahnya. Apalagi karena orang sekampungnya juga tahu bahwa itu merupakan hukuman baginya. Sintua lain, yang rajin, juga amat keberatan kalau harus mengikuti sermon di kampung sintua "terhukum," yang mungkin justru membuat perjalanannya lebih jauh dan sukar dicapai. Bukankah mereka harus menyusuri pematang sawah untuk sampai ke kampung beberapa rekan sintua? Dalam catatan hariannya Albert berkomentar lucu: Para sintua pemalas itu akhirnya jera dan minta ampun ke hadapan sermon majelis.
.
Metode pelayanan untuk jemaat cabang
.
Berbagai cara dilakukan oleh pendeta Albert untuk mengembangkan pelayanannya pada jemaat-induk yang sangat luas dan masih "tertidur" kala itu (istilah yang digunakan pendeta Albert: huria na tarpedem}. Bila pada suatu hari Minggu pelayanan akan diadakan di jemaat X yang amat jauh, dan harus melewati tiga atau empat jemaat dari "godung" Parsambilan, maka hari keberangkatan pendeta itu dimulai pada hari Selasan. Pada malam hari Selasa dia singgah di jemaat A, dan men gad akan evangelisasi pada malam harinya di salah satu kampung di sana (dilakukan secara bergiliran dalam proses bertahun-tahun). Demikian pula diteruskan pada hari Rabu, Kamis dan Jumat di jemaat B, C dan D. Tepat hari Sabtu malam, evange-lisasi diadakan di jemaat X yang dituju, karena besoknya, di jemaat itu, akan diadakan kebaktian sakramen, baptisan atau perjamuan kudus.
.
Mangara Santun (83 tahun pada 2000), putra sulung pendeta Albert, pernah menceritakan bahwa ayahnya itu bahkan sering langsung berminggu-minggu tinggal untuk melayani secara berkesinambungan dan berpindah-pindah pada jemaat-jemaat cabang yang cukup jauh dari godung Parsambilan. Begitulah pendeta zaman keperintisan dulu mengatur waktu pelayanannya secara seimbang untuk jemaat-induk dan jemaat-jemaat cabang yang jumlahnya bisa sampai puluhan.
.
Pendeta itu akan sengaja memilih sorang (bertamu untuk bermalam) di rumah salah satu keluarga di kampung jemaat cabang itu seusai kebaktian evangelisasi pada malam hari. Dengan amat santun biasanya nyonyzsoranganna (tuan rumah yang menjamunya) akan menyajikan ulos Batak (kain tenunan Batak) beberapa lembar untuk dilapis-lapiskan menyelimuti pendeta itu dalam tidurnya, pada dingin malam yang amat menggigit di kawasan Toba Habinsaran bagian hulu. Jadi itulah antara-lain fungsi "ulos" sejak zaman bahari, yang di zaman modern diributkan oleh segelintir orang Batak sendiri sebagai "benda yang diberhalakan." Suatu sikap iman yang amat keliru! Dia lupa bahwa kakek-moyangnya dulu bahkan sangat susah untuk memiliki satu-dua lembar ulospun.
.
Hampir dimangsa harimau
.
Tantangan kesulitan fisik bukan tak banyak dialami oleh pendeta Albert selama melayani di Toba Habinsaran ini. Pada suatu hari minggu sore, kuda tunggangannya lari terbirit-bint melalui kampung-kampung yang masih berjarak kurang-lebih 15 kilometer dari godung Parsambilan. Orang-orang di kedai pinggir jalan itu yakin bahwa pendeta mereka sudah dimangsa harimau. Pendeta itu kebetulan pulang dari pelayanannya di jemaat Tangga (kawasan Sampuran Siarimo) yang amat terjal dan terpencil. Di kawasan itu harimau masih amat banyak berkeliaran.
.
Rupanya sang harimau sebenarnya mengincar kuda pak pendeta. Tapi karena lompatan harimau dilakukan dari tempat yang lebih tinggi dan cukup curam, sementara kuda pendeta itu memang sudah punya firasat dan berancang-ancang untuk lari menghindar, terkamannya meleset. Konon, hampir semua hewan besar punya firasat dan penciuman tajam tentang datangnya bahaya terkaman harimau. Ternyata pak pendeta hanya terpelanting dan atas kudanya di jalan setapak itu. Sang kuda lari tunggang-langgang. Dan harimau yang terkamannya meleset malah tergelincir ke jurang di bawah jalan setapak. Dari tempat yang tinggi pak pendeta malah masih sempat mengamati sang harimau yang bernasib apes itu melenggang berlalu di bawah sana.
.
Ketika pendeta Albert kemudian berjalan kaki dengan tenang melalui kedai yang sudah dilewati oleh kudanya yang lari terbirit-birit, semua orang sangat bersyukur dan bersorak-sorak, karena pendeta mereka selamat dari terkaman harimau. Beberapa orang di antara mereka pada sore dan malam itu langsung mengawal pendeta itu berjalan kaki sampai ke godung Parsambilan. Di tengah jalan pendeta itu sudah disongsong oleh rombongan penatua dan tua-tua jemaat yang berobor dari godung. Tadinya rombongan itu bermaksud mencari tahu apa yang telah terjadi dengan pendeta mereka, karena kudanya sudah tiba di kandang dalam ketakutan yang amat-sangat. Yang amat dikenang oleh istri pendeta Albert mengenai peristiwa itu, adalah sikap tenang sang pendeta menegornya karena histeris merangkul suaminya di hadapan para sintua dan tua-tua jemaatnya. Suatu cara yang tak lazim dilakukan orang di zaman keperintisan.
.
Catalan penghargaan bagi rekan pelayan-informal
.
Cukup banyak pelayanan berkembang pendeta Albert di Toba Habmsaran yang luas selama delapan tahun dan tiga bulan, antara tahun 1926 dan 1934 itu. Dalam memoirs-nya pendeta itu mencatat bahwa pelayanannya itu tidak mungkin berhasil tanpa bantuan pelayanan Pak Galemo Sitorus, yang adalah perawat kuda dan sahabat setia seperjalanannya setiap berkunjung ke jemaat jauh. Setiap akan melayani ke jemaat-jemaat di atas bukit (cukup banyak jumlahnya), konon Pak Galemo-lah yang berjalan kaki menuntun kuda yang ditunggangi pak pendeta. Pada kawasan dataran yang sudah cukup rata, Galemo pulang berjalan-kaki ke godung Parsambilan, dan pendeta itu meneruskan perjalanannya, yang kadang-kadang sampai tiga-empat hari penuh.
.
Dalam catatan-pelayanan pada memoirs-nya, selain kepada Pak Galemo, pendeta itu juga menghaturkan rasa terimakasihnya yang tulus kepada seorang here (putra saudara perempuan)-nya, bernama Bonifacius Pasaribu. Sewaktu masih lajang, Bonifacius sengaja dibawanya beberapa tahun melayani di jemaat Parsambilan yang luas itu, khusus sebagai sais sadonya. Begitulah cara pelayan di masa keperintisan mengenang dan menghormati jasa-pelayanan dari rekan dan pembantunya dalam pelayanan-informal di jemaat Tuhan.
.
Contoh bimbingan menepis rasa takut pada hantu
.
Pendeta Alljert mempunyai satu cara untuk mengikis sikap ketakutan yang berlebihan dan kepercayaan masyarakat kepada begu dan sombaon, yakni segala jenis hantu, khususnya bagi keluarga para pelayan lain (guru-guru zending) di godung, maupun bagi penduduk di sekitar gereja Losungbatu. Beberapa puluh meter menjelang kompleks godung, bila datang dari arah Simpang-emat Silaen, ada satu kompleks pohon beringin yang "angker," agaknya masih merupakan bagian peninggalan dari hibah lahan "parsombaonan" yang disebutkan di muka. Hampir tidak ada orang yang berani mclintas di tempat itu pada malam hari, kalau hanya seorang diri.
.
Ketika masih berusia sekitar 10 tahun, Mangara, putra sulung pendeta itu yang sudah disebutkan di muka, pada suatu malam sengaja diajaknya melintas dari bona ni hariara (kelompok pohon beringin) yang angker itu. Tak ayal lagi, Mangara memeluk ayahnya amat erat. Namun dengan sangat tegas pendeta itu menyuruh putranya berjalan sekitar 20 meter di depan, dalam gelap gulita itu.
.
Persis menjelang godung, pendeta itu menegaskan kepada putra kesayangannya, bahwa berjalan seorang diri di manapun pada malam hari, hanya ada dua jenis mahluk yang perlu ditakuti oleh manusia. Yang pertama adalah ular berbisa, yang sering melintas begitu saja di malam hari. Dan yang kedua adalah orang tidak waras, yang juga sering berkeliaran di malam hari pada zaman itu. Selebihnya tak ada yang perlu ditakutkan, kata pendeta. Dan dalam waktu-waktu tertentu kemudian, pendeta Albert menyuruh anaknya itu menjemput atau mengantarkan sesuatu melintasi jalan itu, harus sendirian saja. Pengajaran seperti ini akhirnya "menginsyafkan" keluarga guru zending dan juga penduduk sekitar Losungbatu.
.
Motivasi merenovasi gereja
.
Satu hal yang paling menyenangkan hati pendeta Albert dalam pelayanannya, adalah karena dia dapat memotivasi. warga jemaat Parsambilan menyelesaikan bangunan gereja mereka, yang katanya bahkan sudah lebih sepuluh tahun sebelum kedatangannya terbengkalai begitu saja. Berarti ketertundaan pembangunan gereja itu sudah hampir dari masa sejak ditinggalkan oleh kakak-iparnya, pendeta Josua Hutabarat, yang dipindahkan oleh Ephorus Nommensen karena rumah dinasnya ludes terbakar pada tahun 1916; dan kemudian disambung masa pelayanan pendeta Benoni.
.
Dalam memoirs-nya, pendeta Albert mengatakan, bahkan banyak parhau (bagian kayu) bangunan lama yang sudah membusuk. Maka selain meneruskan bagian yang belum selesai, hams dilakukan pula reparasi pada bagian-bagian yang membusuk, suatu pekerjaan yang tidak mudah. Penyelesaian bangunan gereja Parsambilan yang cantik, tuntas sebelum pendeta Albert pindah dari sana pada tahun 1934. Tapi menurut beberapa putra keturunan kakak-beradik Raja Punsaha Langit, rehabilitasi gereja itu bam benar-benar tuntas pada tahun 1938. Mungkin ada rehabilitasi tambahan setelah ditinggalkan oleh pendeta Albert.
.
Sekarang gereja tua itu, yang bahkan sudah direnovasi pada tahun 1950, hanya dipakai untuk tujuan sermon-sermon dan kegiatan sejenis lainnya. Sebuah gereja baru dari bahan beton-konkrit sudah dibangun di kompleks godung itu pada tahun 1992. Pembangunan gereja baru itu adalah atas prakarsa pengusaha/?.£>.£. Sitorus dan anak-anak rantau lainnya serta tetua jemaat Losungbatu. Pengusaha sukses Sitorus adalah seorang keturunan dari sepupu Raja Punsaha Langit, penghibah tanah "pargodungan" Losungbatu. Di samping gereja baru itu berdiri jabu parsantian (wisma utama keluarga) yang indah milik pengusaha itu, seperti disinggung di muka.
.
Metode memotivasi warga yang terkena siasat gereja
.
Yang paling dinsaukan oleh pendeta Albert ketika baru tiba pada tahun 1926 di jemaat Losungbatu dan resort Parsambilan, pada umumnya ialah hanya ada beberapa gelintir warga jemaat yang mengikuti kebaktian minggu. Apa pasal? Selain karena malas (warga jemaat malah terbiasa bekerja di'sawah dan ladang pada hari Minggu), rupanya banyak sekali keluarga yang sedang dalam status honct uhum ni huria, atau kena hukum siasat gereja. Mula-mula amat sulit bagi pendeta itu memotivasi keluarga-keluarga yang terkena hukum siasat gereja supaya mau manopoti, yakni berguru lagi untuk dapat diterima kembali menjadi anggota-penuh jemaat. Baru setelah hampir satu tahun program persuasi itu diberlakukan, mulai ada dua keluarga yang bersedia "manopoti." Namun, dalam kurun waktu tiga-empat tahun kemudian, hampir tak ada lagi keluarga yang masih dalam status kena hukum siasat gereja itu.
.
Tentang hamaolon (pergumulan karena kesulitan) pada permulaan masa pelayanannya di seluruh jemaat Parsambilan, baik memoirs pendeta itu yang berpanjang-lebar, begitu pula buklet Pillit ma Hangoluan i yang disebut di muka, memberitakan rincian yang persis sama. Dalam salah satu bagian, penulis buklet itu misalnya mengatakan begini:
.
Selalu ada saja warga jemaat ini yang "dipabali" (dikenakan ekskomunikasi gereja) karena kembali ke "hasipelebeguon" (animisme), dan umumnya sangat sulit untuk diajak kembali ke jemaat; sampai-sampai pendeta Albert mengatakan: Tung na jogal do roha ni hurian on (jemaat ini berhati bebal).
.
Meskipun demikian, penulis buklet-sejarah itu juga membuat kesaksian tentang kerja keras pendeta Albert dan guru-jemaatnya, yang meneniskan uraiannya sebagai berikut:
.
Cukup lelah guru Luther Simanjuntak dan pendeta Albert Lumbantoruan melayani di jemaat ini, tetapi para sintua pada kurun waktu itu kurang hidup pelayanannya. Mereka itu masih harus terus diingatkan melakukan pelayanannya. Namun tetap berlangsung pembangunan rumah guru jemaat, meskipun amat sedikit guru yang datang (mungkin maksud penulisnya adalah murid; bukan guru], sampai-sampai kepala-negeri setempat hampir putus-asa.
.
Dan tentang pelayanan untuk mengupayakan anggota jemaat yang di-ekskomunikasi agar bersedia "manopoti", yang berikut adalah kesaksian lanjutan penulis buklet-sejarah itu:
.
Jumlah yang dibaptis pada tahun 1929 ialah 665 orang. Pada tahun 1930 amat banyak yang terpaksa di-ekskomunikasi lagi, sebagai akibat dari musibah dan penderitaan, hingga keanggotaan jemaa menjadi tambah kecil. Tapi pendeta Albert terus berusaha "manogu-nogtt" (membimbing) mereka untuk belajar supaya ditehma kembali dalam keanggotaan-penuh jemaat.
.
Kebutuhan mutasi demi pendidikan anak-anak
.
Setelah melayani hampir tujuh tahun lamanya di jemaat-induk Parsambilan, sebenarnya pendeta itu sudah mengajukan permohonan pmdah ke jemaat yang lebih dckat ke kota, agar anak-anaknya dapat mengikuti pendidikan yang lebih baik. Ternyata warga jemaat Toba Habinsaran yang mengetahui permohonan pendeta itu, mengajukan petisi mclalui tuan Weissenbruch, zendeling atasannya yang bcrdomisili di Sitorang. Tuan itu berkata:
.
Saya tidak diberitahu oleh pendeta Albert tentang permohonan pindahnya; dart sekarang, karena surat keputusan ephorus sudah keluar, sebaiknya kita hormati saja keputusan itu. Namun demikian, silahkan kalian langsung berdialog dengan pendeta itu... ,"kata Weissenbruch.
.
Dalam "memoirs" pendeta Albert, inilah dialog bujukan penundaan rencana kepindahannya dari Toba Habinsaran oleh utusan jemaat induk dan semua jemaat cabangnya:
.
Beha ma i panditanami; apala ipe dope martumbur songon hau partabaan, ulaonmuna di huria on; tinggalhononmuna ma i? Nda sega ma tumbur i, molo pintor laho hamu? (Bagaimana ini pak pendeta; baru saja bertunas hasil karya-pelayanan bapak di jemaat ini, seperti tunas kayu tebangan, kalau bapak langsung meninggalkannya? Bukankah tunas itu bisa rusak kalau bapak langsung berangkat?)
.
Menanggapi permohonan utusan jemaatnya, dalam memoirs-nya, pendeta Albert mengaku hatinya berdebar-debar mendengar argumentasi mereka. Akhirnya, sementara dia bersedia menunda kepindahannya dari Toba Habinsaran. Menyadari bahwa dia adalah "pelayan Tuhan," pendeta Albert menyetujui usul utusan untuk mengirim surat permohonan penangguhan kepada ephorus. Demikianlah rencana kepindahan pendeta itu ke jemaat Simorangkir pada tahun 1933, yang sebenarnya sudah mendapat surat-keputusan, ditangguhkan dulu oleh ephorus.
.
Namun secara pelan-pelan dalam tigabelas bulan berikutnya, pendeta Albert menerangkan kepada warga jemaat dan para penatuanya, bahwa anak-anaknya yang sudah besa perlu masuk sekolah HIS. Dan itu hanya bisa digapai di Tarutung atau paling-paling di Pahae, tanpa mengeluarkan banyak biaya ekstra. Di antara warga jemaatnya kala itu bahkan ada yang sangat baik hati, pernah meminjami pendeta itu uang sebesar f.25 (tanpa bunga) untuk kiriman biaya pendidikan putra sulungnya yang bersekolah di HIK Kristen, Solo. Peminjaman itu dilakukan secara darurat, karena putra pendeta itu diancam untuk dikeluarkan, karena sudah menunggak dua bulan.
.
Pinjaman dari warga jemaatnya yang baik hati itu sangat dikenang oleh pendeta Albert jauh hari kemudian, tanpa menyebut identitas orang yang bersang-kutan. Mungkin untuk alasan yang bersifat etis dan menghindarkan rasa ber-hutang-budi bagi keturunannya. Upaya meminjam uang kepada warga jemaatnya itu terpaksa dilakukan oleh pendeta itu, setelah tidak berhasil membujuk-bujuk zendeling atasannya untuk mendapat satu pinjaman dari Kas-zending, yang sebenarnya justru berfungsi "simpan-pinjam."
.
Mencatat respons zendeling atasannya tentang syarat angsuran yang diajukan dan janjinya untuk pembayaran pinjaman'itu bila diluluskan, pendeta Albert mencatatnya begini: Akh ..., manuk-manuk ni begu do amang janji sisongon i. (kira-kira artinya: Ah, janji untuk cara pembayaran pinjaman seperti itu pak, hanya hantu saja yang dapat mempercayainya). Dalam catatan banyak pengerja-pribumi zending, kekecewaan karena tidak berhasil meminjam uang dalam keadan darurat seperti itu kepada organisasi zending yang diabdinya, melalui zendeling atasannya, amat sering diberitakan orang. (Lihat banyak kasus sejcnis itu dalam buku Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, dan banyak dokumen keluarga para pengerja-zending lainnya).
.
“Celaka” karena upaya mengejar kemajuan
.
Mengenai soal beban dan bahkan pergumulan batin dalam upaya menyekolahkan anak-anak, pendeta Albert bahkan sering mengeluhkan kepada para tetua warga jemaatnya begini: On ma jea bolon hinorhon ni hamajuon (Inilah "celaka besar," sebagai akibat dorongan motivasi mengejar kemajuan). Dimaksudkannya dengan "celaka besar" itu ialah soal keharusan menyekolahkan anak-anaknya, besarnya biaya yang dibutuhkan, dan tidak selalu tersedianya uang kas yang diperlukan anak-anak yang bersekolah.
.
Itulah sebabnya kenapa pendeta Albert mutlak memerlukan pos pelayanan yang iebih dekat dengan sekolah yang diinginkan agar biayanya bisa lebih ringan. Warga jemaatnya akhirnya memang dapat memahami kerisauan hati pendeta itu dalam soal kelanjutan pendidikan putra-putranya. Karena itu, dengan tulus mereka bersedia "melepaskan" pendeta yang sangat mereka cintai itu pada awal tahun 1934, setelah genap 8 tahun dan 3 bulan melayani jemaat-besar Parsambilan.
.
Para sintuanya sendiri, ada yang sudah berhasil dengan susah-payah menyekolahkan putranya ke sekolah HIS kala itu. Di antara mereka misalnya ialah St. Herman Panjaitan dari jemaat Natolutali. Sintua Herman adalah ayahanda almarhum Mayjen. Donald Izaak Panjaitan, Pahlawan Revolusi kita. Izaak adalah rekan sebaya dan sekelas Obrien Daulat Paul, putra kedua pendeta Albert, dan sama-sama bersekolah dan masuk "internaat" (asrama) pada HIS Narumonda yang milik zending. Cukup lama kelak, Obrien menjadi seorang pegawai tinggi pada Departemen Penerangan R.I., dan terakhir menjadi seorang diplomat, Atase Penerangan dan Kebudayaan, pada KBRI-Manila.
.
Dengan kerisauan pendeta Albert tentang "celaka-besar" karena harus mengikuti semangat marhamajuon (menggapai kemajuan) melalui persekolahan anak-anaknya itu, pernyataan berikut adalah yang pernah diungkapkan dengan tulus kepada penulis oleh St. Drs. Timbul Sitorus, yang identitasnya sudah disebutkan di muka :
.
Di samping berbagai manfaat yang diberikan oleh Bapak Pendeta Albert Lumbantoruan selama melayani di Sitorang dan Parsambilan, adalah keberhasilan beliau memotivasi tetua penduduk setempat untuk mengikuti kemajuan zaman, dengan menyekolahkan putra-putra mereka menggapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Demikianlah misalnya ayah saya, R. Songing Pumbunan, anak kedua R. Patugaram yang adik kandung R. Punsaha Langit, yang biarpun butahuruf, tidak terlena oleh kekayaan banyaknya kerbau, sapi, padi dan sawah yang luas. Dengan dengar-dengaran pada khotbah-khotbah pendeta Albert, ayah saya mengutus abangku yang tertua ke sekolah HIS Narumonda, dan kemudian saya sendiri ke Batavia (Jakarta). Kemudian menyusul pula Dahanus Sitorus, salah seorang keturunan R. Sigodangtua ke HIS Narumonda
.
Kemajuan dini para putra Parsambilan itu
.
Kelak, sekitar dasawarsa 1950-an dan 1960-an di pulau Jawa, Orem, istri pendeta Albert, dalam usia menjelang tujuhpuluhan, sering bertemu dengan pemuda-pemuda yang berasal dari kawasan Toba Habinsaran, yang kebetulan adalah keturunan atau kerabat para datu yang pernah "ditaklukkan" oleh pendeta Albert dan "geng" anggota majelis jemaatnya. Dalam keadaan scperti inilah kita menjadi yakin dan sadar tentang kebenaran pernyataan Yesus Kristus yang mengatakan: Yang belakangan bisa jadi duluan; dan yang duluan bisa jadi belakangan.
.
Siapa nyana dan bisa menduga sebelumnya, bahwa keturunan dan kerabat para datu yang sangat "sakti" dan ganas pada era 1920-an, akan menjadi para wiraswastawan yang berhasil, pegawai negeri dan swasta pada tingkat menengah dan tinggi, yang sudah dapat diidentifikasi mulai era 1970-an itu. Sementara para turunan guru dan pcndcta-zending dari kurun 1920-an yang sama, mungkin saja tidak sampai "ke manapun" pada era 1970-an, bahkan mungkin sampai sekarang, terutama karena sebagian mereka telah menyimpang dan meninggalkan "garis-iman" yang ditapaki dan dipeluk kokoh oleh para kakek-moyangnya di masa keperintisan silam.
.
Jauh kemudian hari, putra-putra keturunan warga Parsambilan dan Toba Habinsaran pada umumnya banyak yang "menjadi orang" berkat pelayanan umum zending, di antaranya termasuk sebagai hasil pelayanan-berkembang pendeta Albert di sana selama detapan tahun lebih beberapa bulan. Kelak, pada tahun 1970-an di Jakarta, ibunda pengusaha R.D.L. Sitorus yang bertemu dalam suatu kesempatan dengan salah satu putra pendeta itu bercerita, bawa dia masih gadis remaja dan adalah rekan sebaya dengan putri kedua pendeta itu ketika melayani di godung Losungbatu yang amat dekat dengan rumahnya.
.
Untuk hanya menyebut beberapa orang saja di antara putra-putra kawasan Parsambilan di zaman modern yang dapat dilacak oleh penulis, yakni keturunan dari orang-orangtua mereka hasil binaan masa keperintisan, dari buklet-sejarah Pesta Jubiluem HKBP Losungbatu itu misalnya dicatat antara lain Kolonel M. Sitorus, Mangatas Sitorus, St. Drs. Timbul Sitorus, Dr. Bistok Sitorus, dan tentu saja banyak lainnya. Dari sumber luar buklet itu yang dapat dilacak oleh penulis, antara lain adalah Drs. Rudolf Sitorus, Pdt. O.P. Sitorus dan Pdt. Armada Sitorus.
.
Beberapa guru-jemaat yang pernah melayani di kawasan Parsambilan dan kemudian menjadi pendeta dan menjadi menantu tua-tua marga Sitorus di sana, antara lain adalah para praeses Hendrik Rajagukguk dan Benoni Napitupulu. Kolonel M. Sitorus yang disebutkan di atas adalah seorang perwira Angkatan Darat dari kurun Perang Kemerdekaan, yang kemudian cukup dikenal sebagai komandan Resort Militer yang berprestasi di Yogyakarta, sewaktu terjadi pergolakan para mahasiswa di era 1970-an. Sementara Dr. Bistok Sitorus adalah seorang pensiunan pejabat-tinggi Bank Indonesia dan Asian Development Bank (ADB). Sementara dari kawasan Parsoburan, antara lain penulis dapat mcnyebutkan John Bidel Pasaribu, yang sebagai warga awam HKBP banyak memberikan sumbangsih dan pikirannya mulai pada pertengahan dasawarsa 1990-an, antara lain dalam melanjutkan penerbitan berkala HKBP, Immanuel, di Jakarta.
.
Akhirnya mendapat restu mutasi
.
Demikianlah pendeta Albert akhirnya mendapat mutasi pada bulan Maret 1934 dari jemaat_induk Parsambilan sumuasi yang sangat luas, yang dewasa ini telah berkembang menjadi 4 resort. Kepindahannya ialah ke jemaat induk Pangaloan, Pahae. Di Sarulla, salah satu jemaat-cabang Pangaloan kala itu, ada sebuah HIS partikelir milik Pahae Fonds. Kelak (1938), Mangara, putra tertua pendeta Albert yang sudah disinggung di muka, bahkan menjadi kepala HIS Pahae Fonds itu. Dalam memoirs-nya pendeta Albert mencatat bahwa dengan amat senang hati dia raeninggalkan pembukuan kas jemaat-induk Parsambilan yang "cukup bersih," dengan saldo uang pembangunan gereja masih tersisa sebesar f.225, yang diren-canakan untuk meneruskan penggantian pintu-pintu, jendela dan kunci-kuncinya yang lebih bagus.
.
Ketika dilangsungkan kebaktian syukuran peresmian wisma milik pengusaha R.D.L. Sitorus yang disebutkan di muka pada awal dasawarsa 1990-an, St. Rosulla Gugun Boru Sihombing, putri ke-7 dan anak ke-12 pendeta itu, turut dalam rombongan paduan-suara Anugerah dari Jakarta, yang khusus diundang untuk melayani pada acara syukuran. Beberapa warga jemaat pada usia 80-tahunan yang masih hidup kala itu menceritakan kepada putri pendeta Albert tentang "sepak- terjang" pelayanan keluarga ayahnya, pendeta Albert, selama di Toba Habinsaran.
.
Para saksi-mata itu kebanyakan yang sudah sempat menerima "lepas sidi," bahkan ada beberapa yang masih sempat menerima pelayanan pemberkatan pernikahan dari pendeta Albert. Mereka memberitahukan, bahwa di belakang kompleks gereja mereka ada kuburan para pengerja zending dari zaman lampau, yang meninggal selama melayani di Losungbatu. Dan salah satu putra pendeta itu terkubur di sana. Kuburan itu masih bertanda, kata mereka. Memoirs pendeta itu memang ada memberitakan bahwa putra keempatnya yang bernamaReinhard Tumpal Namulak, lahir, meninggal dan terkubur di godung Losungbatu pada awal tahun 1930-an.

Pelayanan Kependetaan - Jemaat Pahae

Tidak terlalu banyak kenangan pelayanan yang dicatat oleh pendeta Albert ketika melayani di jemaat induk Pangaloan-Pahae, yang dimulai pada bulan Maret 1934. Dari segi tingkat "keimanan," penduduk lembah Pahae dapat dikatakan sudah jauh lebih maju dibandingkan dengan jemaat-jemaat lain di Tanah Batak. Bukankah jemaat-induk Pahae lebih dahulu dibuka oleh zcndeling Van Asselt dan Heine sekitar tahun 1861, ketimbang Huta Dame sendiri, yang baru dibuka oleh zendeling Nommensen sekitar tahun 1864? Pendeta Albert sendiri bahkan sudah turut mempersiapkan dan menyelenggarakan pesta jubilum 75 tahun jemaat Pahae pada tahun 1936, dalam masa pelayanannya di sana.
.
Salah satu pengalaman yang dicatat pendeta Albert selama pelayanannya di Pahae adalah, sekali lagi dia bertugas "mendampingi" tuan-pendeta Jerman muda-usia di jemaat-induk Pangaloan. Pendeta Jerman itu bernama J. Steinhard, menggantikan pendeta Kaiser yang kembali ke Eropa. Mengingat senioritas pendeta Albert, sebenarnya pendeta Jerman atasannya itu sudah layak disebut sebagai anaknya, karena memang masih lebih muda dari putra sulungnya.
.
Pendeta Steinhard bahkan baru melangsungkan perkawinannya di jemaat Pangaloan kemudian. Karena itu, dari segi kematangan pelayanan, pendeta Albert dapat dikatakan justru harus memberikan "pembimbingan" kepada pendeta Jerman muda-usia, atasannya yang baru datang dari Eropa. Situasi ini mungkin dapat disejajarkan dengan "pembimbingan" yang diberikan oleh seorang sergeant major (dengan standar pengalaman yang sangat tinggi) kepada para komandan peleton baru yang lulusan akademi militer muda-usia, dalam tatanan organisasi Angkatan Darat Amerika Serikat, terutama dalam suasana pertempuran.
.
Sejalan dengan fakta di atas, meskipun secara organisatoris pendeta Jerman bernama Steinhard itu tentu saja berperan sebagai atasan pendeta-pribumi Albert di Pahae, namun dialah (Albert) yang secara teknis memimpin pelayanan resort itu, sama seperti di Parsambilan. Yang lebih unik lagi, di Pahae pendeta itu sudah semakin bertambah matang, dan mungkin karena itulah pendcta Jerman atasannya yang ditempatkan justru yang semakin lebih muda-usia dibandingkan dengan yang di Parsambilan, dengan maksud untuk menerima "pembimbingan."
.
Ternyata pendeta Albert sering menjadi terjepit dan "makan hati" oleh ulah rekannya pendeta Jerman yang satu ini. Ternak babi penduduk sekitar godung sering dapat menembus lobang-lobang parik (tembok) keliling komplek. Dan bila sudah sampai ke kebun tuan Steinhard, dia tidak akan segan-segan menghunjamkan tombaknya pada babi peliharaan orang kampung. Hal seperti itu tentu akan mengundang masalah. Terkadang harus diselesaikan juga oleh pendeta Albert dalam suasana yang sangat dilemmatis.
.
Medan pelayanan yang melelahkan
.
Meskipun merupakan jemaat-induk yang sudah cukup tua ketimbang jemaat-jemaat di Silindung, bukanlah berarti pelayanan pendeta Albert di lembah Pahae dapat dianggap ringan-ringan saja. Jumlah jemaat layanannya cukup banyak, mulai dari batas Onan Hasang sampai ke Simangumban, yang berbatasan dengan kawasan Sipirok. Dari Sarulla sampai ke Janji Angkola dan Sigompulon. Jumlah keseluruhannya sekitar duapuluhan. Di zaman modem ini kawasan lama Pahae itu sudah berkembang menjadi sekitar empat resort.
.
Sebagian jemaat harus dicapai dengan menyeberangi sungai yang arusnya cukup deras dan mengerikan pada musim penghujan. Beberapa sungai harus diseberangi dengan menggunakan jembatan gantung model "bailly," terbuat dari rotan besar yang disebut mallo. Jembatan gantung dari bahan mallo itu disebut rambing. Istri pendeta itu sering bercerita bahwa menggunakan rambing memerlukan ketrampilan dan keberanian tersendiri. Rentang rambing di atas sungai kadang-kadang sampai puluhan meter, padahal pijakannya sangat goyang. Uniknya para perempuan Pahae enak saja seperti setengah-berlari di atas rambing yang sangat goyang. Padahal mereka sedang tnanghunti (menjunjung di atas kepala) beban yang dibawa dari pekan atau kayu bakar misalnya.
.
Lain lagi dengan kunjungan pendeta itu ke jemaat-cabang Muara Tolang. Setengah perjalanan ditempuh dalam hutan yang mendaki. Sebagian dakian itu ditempuh melintasi pohon-pohon besar. Justru akar-akar besar pohon itulah yang harus digenggam, terkadang seperti dipeluk untuk bisa sampai ke bagian atas yang akan dicapai. Istri pendeta itu mengaku, selama pelayanan di jemaat-induk Pahae, suaminya tidak pernah sampai-hati mengajaknya mengunjungji jemaat-cabang Muara Tolang itu. Kasihan istri pendeta zaman keperintisan.
.
Pdt. Albert melayani di jemaat-induk Pangalaoan, Pahae persis ketika diadakan pesta jubileum - 75 tahun jemaat itu pada tahun 1936. Tamu kehormatan dalam folo adalah Ephorus Landgrebe.
.
"Encounter" dengan dongan sabutuha yang amat dingin
.
Di antara catatan-pelayanan unik yang dibuat khusus oleh pendeta Albert ketika meiayani di lembah Pahae, adalah hubungan perjumpaan-nya (encounter) yang kurang harmonis dengan kawulanya bermarga Sihombing-Lumbantoruan. Populasi dongan sabutuha (harfiah: teman seperut, artinya: semarga) pendeta itu cukup besar di sana, khususnya yang bermukim di kawasan jemaat-cabang Janfi Angkola, Setelah pendeta itu meneliti sebab-musabab sikap "mema-sang kuda-kuda" oleh kawula semarganya itu, rupanya mayoritas marga Sihombing di sana kala itu sudah meninggalkan HKBP untuk menjadi anggota Punguan Kristen Batak (PKB). Gereja itu lahir dan memisahkan diri dari HKBP di Batavia (Jakarta) sekitar tujuh tahun sebelumnya (1927).
.
Konon, ada beberapa orang Pahae, antara lain bermarga Sitompul, yang langsung membawa dari perantauan dan mengkampanyekan pendirian jemaat-jemaat PKB itu ke Pahae. Dan warga Sitompul ini mempunyai hubungan periparan (in-laws) yang kental dengan pihak warga Sihombing di kawasan Janji Angkola. Menurut tata pergaulan adat Batak, keluarga pendeta Albert yang baru pindah pelayanan ke kawasan itu pada tahun 1934, selayaknyalah disongsong mesra oleh kawulanya Sihombing-Lumbantoruan itu, karena hubungan kekerab atan semarga. Umumnya, kala itu keluarga "pejabat-tinggi jemaat" yang baru pindah ke suatu kawasan di manapun di Tanah Batak, bisa sampai berbulan-bulan dijamu makan secara bergiliran oleh kawula semarganya atau pihak hula-hula-nya. Tapi karena adanya perbedaan keanggotaan organisasi gereja yang menjadi cukup tajam kala itu, hubungan mesra dalam pertemuan warga semarga yang wajar diharapkan, ternyata tidak tercipta. Ada-ada saja orang Batak ini!
.
Dalam memoirsnya, pendeta Albert juga mencatat bahwa pada waktu pelayanannya di Pahae itulah berdiri cabang HChB di sana; dan kemudian juga sekte Adventist. (lihat proses lahirnya denominasi gereja baru HChB, PKB dan masuknya sekte Adventist pada buku Tahbisan Istimewa, yang merupakan bagian seri-trilogi dengan buku ini).