Agaknya, ketika tahun terakhir guru Albert melayani dijemaat Siborong-borong, rapat petinggi zending sudah menyetujui rekomendasi "beheerder" Humbang di Butar, untuk menominasinya mengikuti pendidikan sekolah pendeta pada periode angkatan yang mengikut. Tapi kelas itu bam akan dibuka pada bulan Januari tahun 1921 di Seminari Sipoholon. Zendeling Lotz memandang perseteruan Albert dengan kontroleur Siborong-borong sudah sangat tidak menyenangkan hati guru bawahannya itu. Diputuskannya menarik guru Albert sementara ke posnya, Huta Namora, mulai bulan September 1918. Namun barangkali ada maksud khusus zendeling itu, yaitu untuk membimbing dan memperkaya pengetahuan dan kemampuan guru Albert, bila kelak memang benar-benar dapat disetujui untuk diikutkan pada sekolah pendeta angkatan yang mengikut.
.
Namun secara kebetulan penulis memperoteh sebuah bericht tua jemaat Siborong-borong, periode 1901-1920, yang menguraikan serba sedikit masa pelayanan guru Albert di sana. Rupanya, sebagai ekses krisis sosial-politik karena kerja-rodi berat yang disebutkan di muka, kondisi warga jemaat juga menjadi sangat parah. Secara kebetulan pada tahun-tahun 1917-1918 keadaan iklim sangat buruk (kemarau yang membuat sawah jadi kering-kerontang), sehingga setoran iuran kepada jemaat dalam bentuk padi menurun sangat drastis. Sampai-sampai banyak warga yang mengeluh dan pasrah mengatakan: "Kami akan kembali menjadi siepelebegu saja." Beban kerja rodi dan masa haleon (kelaparan) itu membuat banyak sekali warga, termasuk para sintua, hijrah ke Dairi dan Kutacane. Menyimpulkan situasi jemaat Siborong-borong kala itu, inilah yang diberitakan dalam bericht tersebut:
.
Namun secara kebetulan penulis memperoteh sebuah bericht tua jemaat Siborong-borong, periode 1901-1920, yang menguraikan serba sedikit masa pelayanan guru Albert di sana. Rupanya, sebagai ekses krisis sosial-politik karena kerja-rodi berat yang disebutkan di muka, kondisi warga jemaat juga menjadi sangat parah. Secara kebetulan pada tahun-tahun 1917-1918 keadaan iklim sangat buruk (kemarau yang membuat sawah jadi kering-kerontang), sehingga setoran iuran kepada jemaat dalam bentuk padi menurun sangat drastis. Sampai-sampai banyak warga yang mengeluh dan pasrah mengatakan: "Kami akan kembali menjadi siepelebegu saja." Beban kerja rodi dan masa haleon (kelaparan) itu membuat banyak sekali warga, termasuk para sintua, hijrah ke Dairi dan Kutacane. Menyimpulkan situasi jemaat Siborong-borong kala itu, inilah yang diberitakan dalam bericht tersebut:
.
Satu hal yang sangat menggundahkan hati pelayan jemaat kala itu ialah, kebengalan anak-anak muda. Mereka tidak sungkan-sungkan menghujat nama Yesus Kristus, dan menulisi dinding gereja dengan kala-kata kotor. Tapi orang-orang tua juga kurang berani menegor dan membimbing generasi muda itu. Agaknya pengaruh kemajuan umum, antara lain yang dibawa oleh terbukanya huhungan transportasi antara Medan dan Padang, yakni jalan-raya hasil kerja rodi itu, telah turut mempengaruhi perangai kaum muda.
.
.
Menyadari semua itu, agaknya guru Albert sudah merasa kurang "marrongkap" (jodoh) mengendalikan jemaat Siborong-borong ini, dia minta dimutasikan dari pos itu. Pada awal tahun 1918 dia dimutasikan ke pos zendeling di Huta Namora. Dia diganti oleh guru Nathan Nababan, yang datang dari Butar. Pada tanggal 24 Desember 1918, hanya ada 3 orang sintua saja yang mau datang membantu guru Nathan membentuk "gaba-gaba" (pohon natal), dan itupun hanya dengan sikap acuh-tak acuh.
.
Tidak banyak catatan guru Albert dalam pelayanan singkatnya di Huta Namora. Dia hanya ingat 14 tahun sebelumnya di Huta Namora ini dia ditolak oleh zendeling Wagner untuk mengikuti ujian masuk "sikola tinggi" karena dianggap masih terlalu kecil, padahal umurnya kala itu sudah 18 tahun. Namun enam tahun kemudian (1910) dia sudah menjalani guru-praktek di setasi-induk itu, masih di bawah supervisi Wagner sendiri.
.
.
Tidak banyak catatan guru Albert dalam pelayanan singkatnya di Huta Namora. Dia hanya ingat 14 tahun sebelumnya di Huta Namora ini dia ditolak oleh zendeling Wagner untuk mengikuti ujian masuk "sikola tinggi" karena dianggap masih terlalu kecil, padahal umurnya kala itu sudah 18 tahun. Namun enam tahun kemudian (1910) dia sudah menjalani guru-praktek di setasi-induk itu, masih di bawah supervisi Wagner sendiri.
.
Orem, istri guru itu, tentu mempunyai kenangan sentimental dengan jemaat Huta Namora dan Butar secara umum. Di situlah dia lahir pada tahun 1895, ketika ayahnya, Daniel Hutabarat, menjadi evangel is-gum yang mendirikan jemaat Butar dari awal dasawarsa I880-an sampai dengan berpensiun pada tahun 1900. Kunjungan singkatnya mengikuti pelayanan singkat suaminya sangat mendekatkan hubungan dan pergaulannya kembali dengan para warga jemaat Butar dan keturunannya yang menjadi warga binaan ayah-bundanya di sana sepanjang kuarter terakhir abad 19 itu.
.
.
Pada bulan Oktober 1919 guru Albert dimutasikan lagi oleh zendeling Lotz ke jemaat Bahalbatu, kampung kelahirannya sendiri. Dia ditugaskan untuk sementara mengisi pos guru-kepala sekolah yang sedang lowong. Mengingat pengalamannya di Getting (yang masuk ke dalam kawasan Bahalbatu), sebenarnya hatinya sangat sungkan menerima mutasi itu, sekalipun bersifat sementara. Tapi karena zendeling Lotz mengatakan hanya sampai menunggu benar-benar dipanggil masuk sekolah pendeta, maka Albert menerima saja mutasi itu.
.
Kembali menghadapi praktek "sipelebegu"
.
Memang tidak terlalu besar lagi masalah yang dihadapi guru Albert berupa pelecehan atau kebencian pihak keluarga tertentu kepadanya, yang bermuasal dari persoalan kekeluargaan-besar kakeknya, seperti disinggung di muka. Justru masalah yang muncul adalah perlawanan guru Albert menghadapi saudara-saudara sepupu dekat dan jauhnya, yakni perihal merebaknya lagi praktek hasipelebeguon (animisme atau agama-suku).
Pada suatu saat, guru Albert diundang untuk "menangani" persoalan siar-siaran (kesurupan) seorang janda, yang kebetulan akan dikawinkan dcngan seorang laki-laki kerabat almarhum suaminya. Adat Batak kala itu memang membolehkan (bahkan seringkali menganjurkan) seorang perempuan yang men-janda dinikahi oleh adik kandung atau sepupu almarhum suaminya. Menurut dugaan guru Albert, sebelum dilakukan pemberkatan nikah (biasanya perkawinan-ulang seperti itu hanya boleh dilakukan di rumah dan cukup ditangani langsung oleh guru-jemaat), rupanya sudah terjadi hubungan "serong" terlebih dahulu antara keduanya.
Kepala kampung setempat memberi isyarat bahwa dalam kesurupan itu ada kemarahan "roh" almarhum suami sang janda. Guru Albert yang relatif masih muda (sekitar 32 tahun kala itu) lalu berbisik kepada kepala-kampung, apa saja kira-kira yang terjadi. Dan bersikap seperti sambil menyindir, sang kepala kampung justru seperti ingin menantang guru itu supaya meperlihatkan kemam-puannya, berkata: "Nah sekarang lawanlah; sudah muncul tantangan yang seimbang dari musuhmu."
.
.
Kembali menghadapi praktek "sipelebegu"
.
Memang tidak terlalu besar lagi masalah yang dihadapi guru Albert berupa pelecehan atau kebencian pihak keluarga tertentu kepadanya, yang bermuasal dari persoalan kekeluargaan-besar kakeknya, seperti disinggung di muka. Justru masalah yang muncul adalah perlawanan guru Albert menghadapi saudara-saudara sepupu dekat dan jauhnya, yakni perihal merebaknya lagi praktek hasipelebeguon (animisme atau agama-suku).
Pada suatu saat, guru Albert diundang untuk "menangani" persoalan siar-siaran (kesurupan) seorang janda, yang kebetulan akan dikawinkan dcngan seorang laki-laki kerabat almarhum suaminya. Adat Batak kala itu memang membolehkan (bahkan seringkali menganjurkan) seorang perempuan yang men-janda dinikahi oleh adik kandung atau sepupu almarhum suaminya. Menurut dugaan guru Albert, sebelum dilakukan pemberkatan nikah (biasanya perkawinan-ulang seperti itu hanya boleh dilakukan di rumah dan cukup ditangani langsung oleh guru-jemaat), rupanya sudah terjadi hubungan "serong" terlebih dahulu antara keduanya.
Kepala kampung setempat memberi isyarat bahwa dalam kesurupan itu ada kemarahan "roh" almarhum suami sang janda. Guru Albert yang relatif masih muda (sekitar 32 tahun kala itu) lalu berbisik kepada kepala-kampung, apa saja kira-kira yang terjadi. Dan bersikap seperti sambil menyindir, sang kepala kampung justru seperti ingin menantang guru itu supaya meperlihatkan kemam-puannya, berkata: "Nah sekarang lawanlah; sudah muncul tantangan yang seimbang dari musuhmu."
.
Mau-tidak-mau guru Albert harus bertanya dengan lantang kepada "roh" yang merasuki janda yang sudah "siar-siaran" (Inggeris: trance) itu. Maka pertarunganpun dimulai dengan menggunakan istilah dan hubungan kekerabatan. Menurut hubungan kekerabatan Batak, guru Albert seharusnya menyapa perempuan itu dengan nantulang (makcik). Dan si "roh" segera menjawab: Ahu do on here (ini aku, hai ponakanku).
.
.
Pertarungan itu berlangsung cukup lama dan alot, dengan segala macam dialog, dari tawar-menawar sampai perdebatan yang sengit. Pada suatu momen, janda yang kesurupan itu bahkan bisa dengan enteng saja naik ke bagian atas kusen pintu, dan anehnya dia punya kekuatan gaib bertengger di sana, pada bagian yang lebarnya hanya beberapa sentimeter saja. Namun guru Albert tidak mau kalah kepada "roh" yang merasuki sang janda. Akhirnya perempuan itu menjadi letih lunglai sendiri setelah sadarkan diri. Guru Albert meninggalkan saja dulu situasi di rumah itu. Namun permintaan pemberkatan nikah-ulang itu mcmang tak pernah diteruskan lagi olch kerabatnya.
.
Bertarung bahkan dengan saudara sepupu-kandung
.
Pertarungan kedua justru dimunculkan oleh abang sepupu-kandung guru itu sendiri, yang bernama Julius. Guru Albert sudah sermg mendengar bahwa abang scpupunya itu suka "mengundang-undang" roh, melalui seorang perempuan hasandaran (orang kesurupan) dari kerabat dekat mereka juga. Pada suatu malam, guru itu mendapat laporan bahwa Julius sedang "nanggap roh" lagi di kampung mereka, Lumban Holbung. Dia segera bergcgas dari "godung" menuju kampung bapaknya itu. Dipanggilnya Luther, kepala kampung yang adalah adik-sepupu kandungnya yang lain. Mereka menuju rumah Julius, abang-sepupu mereka. Menyadari bahwa adik-adik sepupunya, yang sekarang adalah "musuhnya," memanggil-manggil dari luar rumah, Julius akhirnya terpaksa juga membuka pintu rumahnya.
.
.
Bertarung bahkan dengan saudara sepupu-kandung
.
Pertarungan kedua justru dimunculkan oleh abang sepupu-kandung guru itu sendiri, yang bernama Julius. Guru Albert sudah sermg mendengar bahwa abang scpupunya itu suka "mengundang-undang" roh, melalui seorang perempuan hasandaran (orang kesurupan) dari kerabat dekat mereka juga. Pada suatu malam, guru itu mendapat laporan bahwa Julius sedang "nanggap roh" lagi di kampung mereka, Lumban Holbung. Dia segera bergcgas dari "godung" menuju kampung bapaknya itu. Dipanggilnya Luther, kepala kampung yang adalah adik-sepupu kandungnya yang lain. Mereka menuju rumah Julius, abang-sepupu mereka. Menyadari bahwa adik-adik sepupunya, yang sekarang adalah "musuhnya," memanggil-manggil dari luar rumah, Julius akhirnya terpaksa juga membuka pintu rumahnya.
.
Mau tidak-mau guru Albert terpaksa segera bertarung dengan "roh" yang hinggap kepada perempuan "hasandaran" itu. Segala sumpah-serapah dimuntahkan sang roh. Suatu momen roh itu mcrajuk melalui perempuan "hasandaran," menga-takan bahwa mereka semua, "keturunan" si roh, sudah tidak mau lagi menghormati dan memperhatikannya, melalui pelean (sesembahan atau sesajen).
.
.
Guru Albert segera menangkis: "Bohong, kau bukan ompung kami; kau adalah iblis yang mau merusak kami." Tak urung si "roh" kembali menyumpah: "Kau jangan kurangajar kepada ompungmu ya. Kau tahu aku adalah si Ural Bahalbatul Nama itu adalah salah satu gelar kakek-moyang mereka yang bernama asli Ompu Tarduhir alias Pamulpul). Lihat nanti, anakmu yang sedang sakit itu tak akan hidup; akan kucabut nyawanya.....," kata sang roh memper-tajam ancamannya. Kebetulan putra ketiga guru itu sedang menderita sakit disentri yang sangat kronis kala itu. Guru itu menangkis lagi: "Tidak ada kuasamu atas nyawa putraku; hanya Tuhan yang punya hak atas dia....," katanya. Ima da, malona i molo angka pinomparhi manghatai...," (Begitulah ya, pintar sekali para turunanku itu bersilat-lidah., " kata roh itu lagi.
.
.
Begitulah pertarungan berakhir, setelah berjam-jam perempuan itu kesurupan dan bertarung-dialog dengan guru Albert. Ketika "hasandaran" sadar, dia seperti merasa sangat malu dan takut kepada guru Albert yang adalah cucu-sepupu dekatnya. Guru itu memesankan supaya adik-sepupunya, si kepala-kampung, mengikat roh dengan rantai, maksudnya perempuan "hasandaran" sendiri, kalau masih terus saja mengganggu iman orang sekampung.
.
.
Kepala kampung itu kemudian menyela: "Itulah abang, dulu dia bilang anakku yang sakit akan sembuh, tapi mati juga. Dia bilang saya akan bisa memenangkan pertarungan merebut 'harajaon' (kerajaan) itu, tapi hasilnya nihil." Begitulah guru Albert menyadarkan semua abang dan adik sepupunya yang masih suka "main undang roh," itu, yang disebutnya sebagai pekerjaan iblis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar