Pada awal tahun 1915 guru Albert tiba di posnya yang baru, jemaat Siborong-borong. Pelayanan memimpin jemaat dan kepala sekolah-zending di kota itu tidaklah menjadi masalah yang terlalu besar baginya. Pengalamannya selama empat tahun melayani di Huta Namora dan Getting, sudah dapat menuntun-nya untuk melakukan kegiatan rutin dalam kedua bidang itu. Siborong-borong kala itu bukan lagi merupakan kedudukan seorang zendeling, bahkan pendeta pribumi, setelah pemindahan pos zendeling dari Silait-lait ke Butar. Karena itu guru Albert-lah yang menjadi pemimpin atau penanggung-jawab semua kegiatan pelayanan zending di kota itu.
.
Atasan langsungnya iafah tuan zendeling Edward Wagner yang memimpin resort di Butar. Yang menjadi keresahan Albert hanyalah adanya ketegangan hubungan warga jemaat dan rakyat pribumi pada umumnya, dengan pemerintah kolonial Belanda. Inilah yang sudah dirisaukannya sebelum dia dipindahkan dari jemaat-desa Gotting ke kota itu. Dan memang segera terbukti, masalah hubungan dengan aparat pemerintah kota itu merupakan satu ganjalan yang menjadi pergumulan batin baginya, seperti dirisaukannya kepada tuan Wagner sebelumnya.
.
Keluarga Guru Albert dengan mertua tercinta, Maria Boru Siregar di jemaat Siborong-borong pada tahun 1916. Kedua pulri tertuanya ialah Tola Emmas dan Dorthia
.
Atasan langsungnya iafah tuan zendeling Edward Wagner yang memimpin resort di Butar. Yang menjadi keresahan Albert hanyalah adanya ketegangan hubungan warga jemaat dan rakyat pribumi pada umumnya, dengan pemerintah kolonial Belanda. Inilah yang sudah dirisaukannya sebelum dia dipindahkan dari jemaat-desa Gotting ke kota itu. Dan memang segera terbukti, masalah hubungan dengan aparat pemerintah kota itu merupakan satu ganjalan yang menjadi pergumulan batin baginya, seperti dirisaukannya kepada tuan Wagner sebelumnya.
.
Keluarga Guru Albert dengan mertua tercinta, Maria Boru Siregar di jemaat Siborong-borong pada tahun 1916. Kedua pulri tertuanya ialah Tola Emmas dan Dorthia
.
Wajib kerja-rodi pembawa friksi
.
Mulai tahun 1914 pemerintah kolonial Belanda membebankan rodi (kerja paksa) yang berlipat-berat kepada rakyat. Jalan raya yang menghubungkan Medan dan Padang melalui Tapanuli, dipaksakan harus selesai pada tahun 1915. Seperti diketahui, tenaga kasar untuk pembangunan jalan-raya itu seluruhnya adalah dengan memanfaatkan penduduk secara paksa. Harus difahami pula, kala itu belum digunakan alat-alat berat pembangunan jalan, seperti pada zaman modern. Para pekerja rodi itu bahkan harus membawa bekalnya sendiri, bukan ditanggung oleh pemerintah kolonial. Mereka harus membangun sendiri gubuk-gubuk darurat yang tak tahan hujan di sepanjang pinggir jalan tempat mereka bekerja-paksa.
.
Mulai tahun 1914 pemerintah kolonial Belanda membebankan rodi (kerja paksa) yang berlipat-berat kepada rakyat. Jalan raya yang menghubungkan Medan dan Padang melalui Tapanuli, dipaksakan harus selesai pada tahun 1915. Seperti diketahui, tenaga kasar untuk pembangunan jalan-raya itu seluruhnya adalah dengan memanfaatkan penduduk secara paksa. Harus difahami pula, kala itu belum digunakan alat-alat berat pembangunan jalan, seperti pada zaman modern. Para pekerja rodi itu bahkan harus membawa bekalnya sendiri, bukan ditanggung oleh pemerintah kolonial. Mereka harus membangun sendiri gubuk-gubuk darurat yang tak tahan hujan di sepanjang pinggir jalan tempat mereka bekerja-paksa.
.
Sesuai dengan kejarangan populasi penduduk di beberapa ruas jalan yang dibangun, maka pekerja rodi yang dipekerjakan ke ruas jalan seperti itu harus didatangkan dari kawasan yang lebih jauh. Demikianlah misalnya penduduk sekitar Siborong-borong akhirnya harus menjalani kerja paksa di ruas jalan sekitar Balige bahkan Porsea. Karena yang dari Toba Holbung harus menjalaninya ke sekitar Parapat. Dan yang didatangkan dari Samosir dikerahkan ke kawasan hutan Harangan-Ganjang, yang menuju Pematang Siantar. Mereka harus membawa beras dan peralatan masak sendiri untuk bekal selama menjalankan giliran kerja rodi.
Sesuai dengan kejarangan populasi penduduk di beberapa ruas jalan yang dibangun, maka pekerja rodi yang dipekerjakan ke ruas jalan seperti itu harus didatangkan dari kawasan yang lebih jauh. Demikianlah misalnya penduduk sekitar Siborong-borong akhirnya harus menjalani kerja paksa di ruas jalan sekitar Balige bahkan Porsea. Karena yang dari Toba Holbung harus menjalaninya ke sekitar Parapat. Dan yang didatangkan dari Samosir dikerahkan ke kawasan hutan Harangan-Ganjang, yang menuju Pematang Siantar. Mereka harus membawa beras dan peralatan masak sendiri untuk bekal selama menjalankan giliran kerja rodi.
.
Karena itu, benturan-benturan antara rakyat dan warga jemaat dengan aparat pemerintah kolonial, tak mungkin dihindarkan lagi. Hal ini sangat meri-saukan hati guru muda-usia Albert sebagai pimpinan jemaat Siborong-borong. Kebetulan, pekerja rodi dari kawasan Humbang selalu dikonsentrasikan lebih dahulu di kota Siborong-borong, sebelum disalurkan ke ruas-ruas jalan tempat kerja-paksa mereka.
.
Benturan dengan kontroleur Muller
.
Sebagai orang yang tentunya berjiwa nasionalis, di satu sisi guru Albert pastilah berpihak kepada sikap "perlawanan dalam hati" warga jemaat dan kawulanya, orang Humbang itu. Namun di sisi lain, pemerintah kolonial selalu berupaya memanfaatkan institusi zending dan aparatnya, agar memotivasi warganya supaya bersedia dengan pasrah menjalani kerja paksa. Hal itu tentu tidak mudah dilakukan, dan menjadi bersifat dilematis bagi zending dan guru itu. Tak ayal lagi, Albert terpaksa langsung terlibat dalam "konfrontasi semu" dengan kontroleur Muller, penguasa pemerintah kolonial di kota Siborong-borong kala itu.
.
.
Benturan dengan kontroleur Muller
.
Sebagai orang yang tentunya berjiwa nasionalis, di satu sisi guru Albert pastilah berpihak kepada sikap "perlawanan dalam hati" warga jemaat dan kawulanya, orang Humbang itu. Namun di sisi lain, pemerintah kolonial selalu berupaya memanfaatkan institusi zending dan aparatnya, agar memotivasi warganya supaya bersedia dengan pasrah menjalani kerja paksa. Hal itu tentu tidak mudah dilakukan, dan menjadi bersifat dilematis bagi zending dan guru itu. Tak ayal lagi, Albert terpaksa langsung terlibat dalam "konfrontasi semu" dengan kontroleur Muller, penguasa pemerintah kolonial di kota Siborong-borong kala itu.
.
Salah satu efek kekerasan ekstra pemerintah kolonial pada kurun waktu 1915 itu, adalah munculnya agama Sigudamdam. Aliran keagamaan itu mulai berkembang dari kawasan Humbang Barat, yang menurut catatan harian guru Albert, dipimpin oleh seseorang yang bernama si Jaman. Konon, pengikut "agama baru" itu meng-klaim dirinya tidak tembus peluru, dan tak akan terluka oleh pedang dan tombak. Katanya, ilalang saja sudah cukup digunakan oleh pemeluk Sigudamdam sebagai tombaknya untuk bertempur, dan musuhnya akan mati terkapar. Disebut "parugamo" (pemeluk agama) Sigudamdam, karena konon mereka selalu menyebut-nyebutkan tabas (mantra)-nya dengan: Digi-digi-dam, besi dam-dam-dam... ,dst.
.
.
Catatan harian guru Albert menunjukkan nuansa hatinya yang seperti dalam situasi ambivalent (tnendua), dalam hal menilai munculnya perlawanan parugamo Sigudamdam, kepada pemerintah kolonial. Di satu sisi, tentu saja agama itu bertentangan dengan ajaran Kristen, yang dibawa oleh zending dan dilayani oleh guru itu. Umumnya para guru dan raja-raja kampung kala itu, dengan cepat berembuk untuk membendung "aliran sesat" tersebut kepada warga zending, yang diduga mungkin dengan mudah akan terpengaruh menerimanya. Apalagi karena penyebaran agama baru itu dibarengi ajakan perlawanan kepada penjajah Belanda. Namun di lain sisi, terlihat seperti ada semacam rasa simpati guru Albert kepada gerakan perlawanan rakyat, minus "kepercayaan" atau aliran keagamaannya.
.
Muller mati terbunuh
.
Pada kebaktian Tahun Baru tanggal 1 Januari 1916 di gereja Siborong-borong, diumumkan bahwa tuan kontroleur Muller bersama aparatnya dan pasukan Belanda yang datang dari Barus, akan mengadakan rendesvouz (pertemuanj di lokasi Napa Panra, dekat Dolok (gunung) Pinapan, untuk menumpas pembrontakan Sigudamdam. Setelah mcnerima ucapan selamat tahun baru dari kalangan pegawai pemerintah dan tua-tua warga kota Siborong-borong, sang kontroleur meminta doa restu mereka dan rakyat yang berkumpul di depan gereja, yang kebetulan bersebelahan dengan kantor kontroleur, agar manuver serangan yang dipimpin Muller berjalan dengan sukses.
.
.
Muller mati terbunuh
.
Pada kebaktian Tahun Baru tanggal 1 Januari 1916 di gereja Siborong-borong, diumumkan bahwa tuan kontroleur Muller bersama aparatnya dan pasukan Belanda yang datang dari Barus, akan mengadakan rendesvouz (pertemuanj di lokasi Napa Panra, dekat Dolok (gunung) Pinapan, untuk menumpas pembrontakan Sigudamdam. Setelah mcnerima ucapan selamat tahun baru dari kalangan pegawai pemerintah dan tua-tua warga kota Siborong-borong, sang kontroleur meminta doa restu mereka dan rakyat yang berkumpul di depan gereja, yang kebetulan bersebelahan dengan kantor kontroleur, agar manuver serangan yang dipimpin Muller berjalan dengan sukses.
.
Tak urung, ada beberapa pegawai rendahan di kantor kontroleur itu sendiri yang justru "mendoakan" lain: Sai mate disi ma ho nian ale Muller, (mudah-mudahan kau mati di sana, Muller}, begitu omelan sebagian mereka dengan sarkastis. Pegawai-pegawai seperti ini adalah yang sering disepak dan dipukul oleh Muller, yang terkenal suka mengamuk di kantornya. Guru Albert hanya senyum mesem mendengar "doa" yang aneh seperti itu.
.
.
Namun besok harinya, tanggal 2 Januari, tepat pukul 12 siang, ketika suasana merayakan tahun-baru masih terus berlangsung di dalam kota Siborong-borong, sudah datang berita yang mengejutkan dari Humbang Barat. Bunyinya:
.
.
Tuan kontroleur Muller sudah mati kena tombak oleh pembrontak Sigudamdam. Tuan demang luka di kepalanya; dan tuan asisten-demang Onan Ganjang luka di tangannya.
.
Agaknya pasukan pejuang Sigudamdam itu memang sengaja hanya melukai dan tidak sampai-hati membunuh kedua orang demang yang pribumi itu. Pukul 3 sore, jenazah kontroleur Muller sudah tiba di Siborong-borong. Pejabat pribumi bawahannya mengumumkan, mayat Muller akan dikuburkan pada pukul lima sore hari itu juga. Pejabat itu berbisik kepada guru Albert supaya siap-siap, siapa tahu akan diminta untuk memimpin acara penguburan. Masih sedini tahun 1916, guru Albert sangat risau, bagaimana harus memimpin liturgi penguburan orang Belanda yang Kristen, bila diminta. Buku liturgi apa yang harus digunakan? Jangankan dalam bahasa Belanda, buku liturgi Bahasa Melayu (kemudian menjadi bahasa Indonesia) saja tentu belum dimiliki zending kala itu.
.
.
Agaknya pasukan pejuang Sigudamdam itu memang sengaja hanya melukai dan tidak sampai-hati membunuh kedua orang demang yang pribumi itu. Pukul 3 sore, jenazah kontroleur Muller sudah tiba di Siborong-borong. Pejabat pribumi bawahannya mengumumkan, mayat Muller akan dikuburkan pada pukul lima sore hari itu juga. Pejabat itu berbisik kepada guru Albert supaya siap-siap, siapa tahu akan diminta untuk memimpin acara penguburan. Masih sedini tahun 1916, guru Albert sangat risau, bagaimana harus memimpin liturgi penguburan orang Belanda yang Kristen, bila diminta. Buku liturgi apa yang harus digunakan? Jangankan dalam bahasa Belanda, buku liturgi Bahasa Melayu (kemudian menjadi bahasa Indonesia) saja tentu belum dimiliki zending kala itu.
.
Namun hati guru itu begitu tenang kemudian, karena walaupun dia sudah mencoba mempersiapkan diri seadanya, ternyata penguburan kontroleur Mullcr hanya dilakukan dengan singkat saja. Hanya pidato pendek saja disampaikan oleh salah seorang di antara tiga orang tuan kulit putih yang ikut hadir di kuburan. Setelah itu tutup kubur langsung dilakukan.
.
Friksi lebih keras dengan tuan "Obos"
.
Ternyata kontroleur pengganti Muller justru tak kurang sadisnya. Puluhan kasus benturan, bahkan perseteruan langsung sudah terjadi antara dia dengan guru AJbert dan warga jemaatnya di kota Siborong-borong, hanya dalam tahun pertama pemerintahannya. Kontroleur yang sudah cukup tua ini konon pensiunan militer yang masih memohon dipekerjakan dalam jabatan sipil, daripada langsung dipulangkan ke Holland yang dingin bersalju. Pangkat terakhirnya dalam kemiliteran adalah "overste," yang oleh penduduk setempat hanya bisa dieja dengan obos. Namun si kontroleur congkak ini menginginkan nama jabatan dan pangkat pensiun militernya juga harus digunakan menyapanya. Jadi kira-kira "tuan konteler-obos" yang terhormat. (Orang Batak biasanya mengeja kontroleur itu dengan kata "konteler").
.
.
Friksi lebih keras dengan tuan "Obos"
.
Ternyata kontroleur pengganti Muller justru tak kurang sadisnya. Puluhan kasus benturan, bahkan perseteruan langsung sudah terjadi antara dia dengan guru AJbert dan warga jemaatnya di kota Siborong-borong, hanya dalam tahun pertama pemerintahannya. Kontroleur yang sudah cukup tua ini konon pensiunan militer yang masih memohon dipekerjakan dalam jabatan sipil, daripada langsung dipulangkan ke Holland yang dingin bersalju. Pangkat terakhirnya dalam kemiliteran adalah "overste," yang oleh penduduk setempat hanya bisa dieja dengan obos. Namun si kontroleur congkak ini menginginkan nama jabatan dan pangkat pensiun militernya juga harus digunakan menyapanya. Jadi kira-kira "tuan konteler-obos" yang terhormat. (Orang Batak biasanya mengeja kontroleur itu dengan kata "konteler").
.
Benturan pertama guru Albert dan sang "obos" terjadi soal penebangan kayu yang meranggas di lingkungan godung (kompleks gereja) Siborong-borong. Kayu besar yang meranggas itu dianggap berbahaya bagi warga, apalagi anak-anak sekolah yang setiap hari bermain-main di bawahnya. Karena itu diputuskan oleh majelis-jemaat kayu itu dijual. Seorang penduduk kota membelinya untuk dijadikan kayu bakar. Lima orang kawannya diajak untuk menebang. Suara tumbang kayu besar itu memang sangat gemuruh.
.
.
Tiba-tiba saja sang "obos" yang kontroleur itu mengamuk-amuk, dan menyuruh guru Albert datang menghadap ke kantornya. Pasalnya, istri kontroleur yang katanya sakit-jantung berat, sangat terkejut mendengar gemuruh pohon tumbang. Guru itu berkelit mengatakan, bahwa tanggung-jawab penebangan kayu bukan hanya pada dirinya seorang. Adalah dewan majelis-jemaat yang memutuskannya; dan kepala kampung juga termasuk di antara unsur dewan majelis jemaat. Tak urung, untuk mencari korban sasaran hukuman, keenam orang pcnebang kayu itu didenda sebesar f. 12 (masing-masing f.2), nilai yang sama dengan harga 200 kilogram beras. Begitulah kejamnya penjajahan! Orang menebang kayu milik sendiri saja harus menderita hukuman denda.
.
Tak puas dengan hukuman denda, sang kontroleur yang amat angkuh itu membuat "undang-undang lokal" dadakan. "Semua kejadian dalam radius satu kilometer dari rumah dan kantor saya, harus saya tahu. Tikus bergerak yang bisa membuat masalah sekalipun, saya harus tahu...," kira-kira begitu isi undang-undang lokalnya. Dan itu berarti sudah mencakup semua lingkup kota Siborong-borong, yang kala itu bahkan mungkin belum setuas lingkar atau radius satu kilometer.
.
Tak puas dengan hukuman denda, sang kontroleur yang amat angkuh itu membuat "undang-undang lokal" dadakan. "Semua kejadian dalam radius satu kilometer dari rumah dan kantor saya, harus saya tahu. Tikus bergerak yang bisa membuat masalah sekalipun, saya harus tahu...," kira-kira begitu isi undang-undang lokalnya. Dan itu berarti sudah mencakup semua lingkup kota Siborong-borong, yang kala itu bahkan mungkin belum setuas lingkar atau radius satu kilometer.
.
Dapat difahami benturan lanjutan yang langsung menyusul. Sebelah mata seorang murid sekolah-zending di "godung," tertusuk dengan tidak sengaja oleh gerep (alat penulis untuk batu lei) seorang rekannya. Murid yang mengalami kecelakaan itu tiba-tiba membalikkan badan ke arah bangku di belakangnya, pada saat mana siswa pemilik "gerep" itu kebetulan sedang mengacungkan alat-tulisnya ke arah depannya. Begitulah kecelakaan tak disengaja itu terjadi.
.
.
Guru Albert segera mengundang kepala kampung untuk mengetahui dan menyaksikan peristiwa. Kepala kampung yang amat takut melanggar undang-undang lokal sang "obos," berkeras memberitahukan kecelakaan kepada atasannya itu. Sebenarnya, orangtua murid yang mendapat kecelakaan merasa tidak perlu menuntut, karena insiden itu adalah suatu kecelakaan murni yang tidak disengaja. "Sebaiknya kita bawa saja anak ini langsung ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan pertama, dan tidak perlu menunggu dilaporkan dulu kepada kontroleur....," demikian kata orangtua anak itu. Namun kepala kampung yang amat takut melanggar "titah" sang kontroleur, bersikeras membawa kasus kecelakaan lebih dahulu kepada sang petinggi kolonial.
.
.
Sekali ini maki-makian kontroleur itu kepada guru Albert tidak tertahankan lagi. "Kau ada di mana waktu kejadian? Jangan main-main dalam kerja, ya...," katanya dengan suara membahana. Dan guru itu mengatakan yang sebenarnya: "Saya sedang berada di ruangan lain, memeriksa pekerjaan murid-muridku; karena kebetulan saya merangkap mengajar pada dua kelas pada hari itu...," tangkis sang guru. "Nah sekarang sudah jadi bertambah-tambah masalah kau bikin. Kau tak boleh dipilih menjadi kepala-horja...... " kata kontroleur itu. Dimaksudkan dengan kepala-horja adalah jabatan baru yang direncanakan oleh pemerintah kolonial Belanda, untuk mengganti profesi atau jabatan para raja-ihutan yang meninggal dunia. Sudah sempat diadakan ujian-saringan untuk jabatan itu, tapi kemudian dibatalkan karena kalangan raja-ihutan menentangnya.
.
.
Memahami persis maksud ancaman sang obos, guru Albert malah menjawab dengan sinis. "Saya tidak minta dan tak berminat pada jabatan 'kerajaan kampung' itu. Saya adalah pelayan kerajaan Tuhan..." katanya. Jawaban guru itu semakin membuat sang kontroleur yang angkuh tambah gregetan. "Awas ya; hati-hati dalam pekerjaan....," begitulah akhir ancaman sang kontroleur, yang hanya disambut dengan senyum mesem oleh guru Albert. Dia sangat sadar bahwa atasan langsungnya adalah petinggi zending, bukan petinggi pemerintah kolonial Belanda.
.
Benturan sang obos dengan Raja-II Siborong-borong
.
Raja-II Siborong-borong menjadi amat resah dengan undang-undang sang kontroleur tentang kejadian dalam radius satu kilometer yang selalu harus dilaporkan kepadanya. Dia mengadukan peraturan yang ganjil itu kepada asisten-residen, atasan kontroleur, di Tarutung. Raja itu menyuruh putranya yang bernama Nahum menulis surat pengaduannya. Mungkin karena tulisan raja itu kurajig bagus, atau mungkin juga masih buta-huruf. Kebetulan Nahum adalah justru salah seorang jurutulis di kantor kontroleur itu.
.
Benturan sang obos dengan Raja-II Siborong-borong
.
Raja-II Siborong-borong menjadi amat resah dengan undang-undang sang kontroleur tentang kejadian dalam radius satu kilometer yang selalu harus dilaporkan kepadanya. Dia mengadukan peraturan yang ganjil itu kepada asisten-residen, atasan kontroleur, di Tarutung. Raja itu menyuruh putranya yang bernama Nahum menulis surat pengaduannya. Mungkin karena tulisan raja itu kurajig bagus, atau mungkin juga masih buta-huruf. Kebetulan Nahum adalah justru salah seorang jurutulis di kantor kontroleur itu.
.
Menerima tegoran kcras dari asisten-residen di Tarutung atas sikap-sikap kerasnya memerintah, sang kontroleur Siborong-borong mcnjadi uring-uringan dan mencak-mencak. Semua pegawai dikumpulkan. Tentu saja di antara mereka adalah Nahum. Si kontroleur menduga bahwa pengaduan Raja-II Siborong-borong tentulah ditulis olch putranya, Nahum sendiri.
Menerima tegoran kcras dari asisten-residen di Tarutung atas sikap-sikap kerasnya memerintah, sang kontroleur Siborong-borong mcnjadi uring-uringan dan mencak-mencak. Semua pegawai dikumpulkan. Tentu saja di antara mereka adalah Nahum. Si kontroleur menduga bahwa pengaduan Raja-II Siborong-borong tentulah ditulis olch putranya, Nahum sendiri.
.
Maka alamat pertanyaan pertama tak ayal lagi pasti ditujukan kepada Nahum. "Siapa kira-kira penulis surat pengaduan raja itu, Nahum..,,?" tanya kontroleur dengan beringas. Nahum yang pura-pura kaget, tapi cukup berpikir jernih dan sigap, secara spontan saja bereaksi begini: "Mungkin guru Albert tuan." Nahum tahu persis bahwa sahabatnya, guru itu, sudah beberapa kali terlibat perseteruan sengit dengan sang kontroleur. Sementara guru itu juga sangat bersahabat dengan ayah Nahum.
"Kalau begitu, panggil guru Albert menghadap...," titah sang kontroleur. Dalam perjalanan menghadap ke kantor, Nahum berembuk dengan sahabatnya itu. "Kakatanlah Albert, bahwa kaulah yang disuruh menulis surat itu oleh ayahku. Aku pasti akan 'mampus' dipecat si 'obos' yang angkuh itu kalau ketahuan...," katanya. Persahabatan yang tulus memang tidak bisa dihempang oleh bahaya apapun. Bukankah kalau guru Albert mengaku bahwa dialah penulis surat itu, takkan ada sanksi administratif apapun baginya, karena dia adalah bawahan zendeling Jerman, bukan bawahan kontroleur yang pejabatkolonial Belanda?
.
Maka alamat pertanyaan pertama tak ayal lagi pasti ditujukan kepada Nahum. "Siapa kira-kira penulis surat pengaduan raja itu, Nahum..,,?" tanya kontroleur dengan beringas. Nahum yang pura-pura kaget, tapi cukup berpikir jernih dan sigap, secara spontan saja bereaksi begini: "Mungkin guru Albert tuan." Nahum tahu persis bahwa sahabatnya, guru itu, sudah beberapa kali terlibat perseteruan sengit dengan sang kontroleur. Sementara guru itu juga sangat bersahabat dengan ayah Nahum.
"Kalau begitu, panggil guru Albert menghadap...," titah sang kontroleur. Dalam perjalanan menghadap ke kantor, Nahum berembuk dengan sahabatnya itu. "Kakatanlah Albert, bahwa kaulah yang disuruh menulis surat itu oleh ayahku. Aku pasti akan 'mampus' dipecat si 'obos' yang angkuh itu kalau ketahuan...," katanya. Persahabatan yang tulus memang tidak bisa dihempang oleh bahaya apapun. Bukankah kalau guru Albert mengaku bahwa dialah penulis surat itu, takkan ada sanksi administratif apapun baginya, karena dia adalah bawahan zendeling Jerman, bukan bawahan kontroleur yang pejabatkolonial Belanda?
.
Dalam investigasi dadakan guru Albert dicecar dengan pertanyaan oleh kontroleur itu. "Betul kau, guru Albert, yang menulis surat raja-II ini...,?" katanya. "Betul tuan," kata Albert tanpa banyak pikir. "Ada salinannya kau pegang...,?" sambung kontroleur. "Ada tuan...," sergah Albert sigap. Rupanya Nahum yang cukup cerdik, memang sudah lebih dulu membuat salinan asli (belum ada alat sejenis foto-copy seperti di zaman modern) surat pengaduan untuk berjaga-jaga, yang terbukti memang diperlukan. "Kalau begitu berikan kepada saya...," kata kontroleur semakin geram.
.
.
"Hei jurutulis, coba periksa dulu, apakah ini benar tulisan guru Albert...," perintahnya kepada jurutulis/. Tampubolon yang turuthadir dalam proses investigasi. Berpura-pura memeriksa dengan teliti kesamaan surat itu dan contoh tulisan tangan guru Albert yang diminta, dengan tangkas Tampubolon berseru: "Benar tuan, memang itu adalah tulisan tangan guru Albert." Pada zaman itu memang banyak sekali tulisan tangan orang yang sangat mirip, tak dapat dibedakan, karena adanya aturan belajar marsurat-denggan atau menulis-indah, sehingga membuat huruf-huruf dan pola tulis mereka relatif sama.
.
.
Kontroleur tua yang matanya mungkin tak awas lagi, tak dapat menyadari adanya saling kedip segitiga antara ketiga orang muda, Nahum, jurutulis Tampubolon dan guru Albert dalam proses investigasi. Akhirnya kontroleur itu hanya bcrucap sinis kepada guru Albert: "Nah hati-hati ya; jangan campuri urusan pemerintahan." Dan guru Albert berlalu, sekali lagi dengan senyum mesem: Olo tuan (ya tuan), katanya.
.
.
Dalam memoirs-nya, pendeta Albert menorehkan komentarnya tentang insiden itu, begini;
Sebenarnya saya sadar bahwa apa yang saya lakukan dalam kasus Raja-II dan putranya, sahabatku, Nahum, adalah suatu dosa, karena merupakan saksi dusta, pelanggaran hukum taurat kesembilan. Tapi dalam Hal itu saya hanya bisa "marbeha binahen" (berucap apa boleh buat); agaknya terpaksa diperlukan demikian untuk melawan kontroleur si tinggi hati itu. Dan Albert melanjutkan pada bagian lain: Tentang mantri Nahum, sahabatku itu, selama hidupnya dia tidak pernah lupa "di panghophopon" (pada pengorbanan pembelaan) yang saya lakukan secara tulus baginya.
.
Kena batunya dengan sesama tuan kulit putih
.
Benturan lain masih menyusul. Guru Albert yang sangat kekurangan kayu bakar mengadukan kesulitannya kepada atasannya, zendelig Karl Lotz, (penggati Wagner) di Butar. Zendeling itu tahu betul bahwa para guru zending bawahannya tidak mungkin menyisihkan gaji mereka yang kecil untuk pembeli kayu bakar, yang seharusnya tersedia dengan melimpah di kampung-kampung pelayanan mereka, Tapi karena guru Albert ditugaskan di kota Siborong-borong, dia tidak mungkin melakukan kegiatan marsoban (mencari kayu bakar yang gratis) dalam kota. Namun Lotz tahu persis bahwa semua kompleks "godung" diperlengkapi dengan tanaman pohon-pohon keras, yang sebagian di antaranya dapat "ditebang-pilih." Atau setidak-tidaknya untuk memanfaatkan cabang-cabang besarnya. "Kenapa tidak kau potong pohon yang sudah layak tebang....," reaksi tuan Lotz kepada guru itu. "Saya orang kecil tuan; tak mungkin melanggar aturan kontroleur itu...," kata guru Albert.
.
Sebenarnya saya sadar bahwa apa yang saya lakukan dalam kasus Raja-II dan putranya, sahabatku, Nahum, adalah suatu dosa, karena merupakan saksi dusta, pelanggaran hukum taurat kesembilan. Tapi dalam Hal itu saya hanya bisa "marbeha binahen" (berucap apa boleh buat); agaknya terpaksa diperlukan demikian untuk melawan kontroleur si tinggi hati itu. Dan Albert melanjutkan pada bagian lain: Tentang mantri Nahum, sahabatku itu, selama hidupnya dia tidak pernah lupa "di panghophopon" (pada pengorbanan pembelaan) yang saya lakukan secara tulus baginya.
.
Kena batunya dengan sesama tuan kulit putih
.
Benturan lain masih menyusul. Guru Albert yang sangat kekurangan kayu bakar mengadukan kesulitannya kepada atasannya, zendelig Karl Lotz, (penggati Wagner) di Butar. Zendeling itu tahu betul bahwa para guru zending bawahannya tidak mungkin menyisihkan gaji mereka yang kecil untuk pembeli kayu bakar, yang seharusnya tersedia dengan melimpah di kampung-kampung pelayanan mereka, Tapi karena guru Albert ditugaskan di kota Siborong-borong, dia tidak mungkin melakukan kegiatan marsoban (mencari kayu bakar yang gratis) dalam kota. Namun Lotz tahu persis bahwa semua kompleks "godung" diperlengkapi dengan tanaman pohon-pohon keras, yang sebagian di antaranya dapat "ditebang-pilih." Atau setidak-tidaknya untuk memanfaatkan cabang-cabang besarnya. "Kenapa tidak kau potong pohon yang sudah layak tebang....," reaksi tuan Lotz kepada guru itu. "Saya orang kecil tuan; tak mungkin melanggar aturan kontroleur itu...," kata guru Albert.
.
Menjadi gemes mendengar undang-undang darurat kontroleur itu, tuan Lotz bergegas dengan dua orang tukang dari rumah-zendingnya di Butar ke Siborong-borong, yang jaraknya tidak sampai 4 kilometer. Dengan gergaji besar, mereka menebang kayu yang dipilih. Selesai penebangan dengan bunyi "booom" yang memang dahsyat, Lotz dan tukangnya segera kembali ke Butar. Si kontroleur terlambat sedikit, tak sempat menjumpainya lagi di sana. Tentu saja lagi-lagi guru Albert yang menjadi sasaran amukannya. Mengetahui bahwa yang menebang pohon adalah "tuan- zendeling berkulit putih" Lotz, kekesalannya naik sampai di ubun-ubun. Tak tahu harus menghukum siapa, kontroleur itu membuat sanksi lain. "Kau tidak boleh mengambil dan menggunakan pohon yang masih dalam perkara ini....," katanya. Guru Albert hanya diam saja. Tapi kelak, karena kayu itu akhirnya toh mengering, maka sedikit-demi sedikit akhirnya habis juga digunakan oleh keluarga guru itu.
.
Rupanya kedua tuan kulit putih, Lotz yang petinggi zending, dan sang konteler yang petinggi pemerintah kolonial, lalu saling mengadu kepada tuan asisten-residen di Tarutung. Dan konon, asisten residen mengatakan suatu kalimat apologi kepada tuan Lotz begini:
.
Rupanya kedua tuan kulit putih, Lotz yang petinggi zending, dan sang konteler yang petinggi pemerintah kolonial, lalu saling mengadu kepada tuan asisten-residen di Tarutung. Dan konon, asisten residen mengatakan suatu kalimat apologi kepada tuan Lotz begini:
.
Kasihan dia itu (maksudnya sang kontroleur); "sianjuon do ibana" (dia itu perlu dimaafkan), karena sudah sangat uzur; lagi pula dia adalah orang angkuh yang sering mengalami stress.
.
Begitulah beberapa insiden dan pengalaman guru Albert selama menjadi pelayan penanggung-jawab jemaat dan sekol ah-zending di Siborong-borong dari tahun 1915 sampai dengan 1918. Di antara beberapa murid guru itu selama di Siborong-borong, antara lain adalah adik mantri Nahum^ Israel Hutasoit (kelak menjadi kepala-negeri Siborong-borong) dan Willy Hutasoit, kelak menjadi guru-jemaat.
.
.
Begitulah beberapa insiden dan pengalaman guru Albert selama menjadi pelayan penanggung-jawab jemaat dan sekol ah-zending di Siborong-borong dari tahun 1915 sampai dengan 1918. Di antara beberapa murid guru itu selama di Siborong-borong, antara lain adalah adik mantri Nahum^ Israel Hutasoit (kelak menjadi kepala-negeri Siborong-borong) dan Willy Hutasoit, kelak menjadi guru-jemaat.
.
Dalam masa tuanya di Siborong-borong (antara tahun 1953-1969) pendeta Albert yang sudah berpensiun di sana dalam usia lebih 80 tahun, akan selalu sama-sama duduk sebangku dalam gereja dengan para bekas muridnya dan tetua warga jemaat lainnya yang masih hidup. Cukup asyik menyaksikan mereka saling bersenda-gurau. Uniknya, dalam menjalani masa tua seperti itu, tampilan fisik mereka, bekas murid dan mantan gurunya itu, kelihatan seperti hampir sama saja, lengkap dengan peci hitam mereka masing-masing. Namun mereka amat menghormati pendeta Albert, bekas gurunya itu, dengan selalu menggunakan sapaan amang, yang berarti bapak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar