Pada bulan Desember 1922, keluarga pendeta Albert berangkat ke Barus, melalui Sibolga. Mereka melakukan perjalanan darat, karena istri pendeta itu sangat alergi dan takut naik perahu. Dalam perjalanan, mereka mampir bennalam di huria pagaran (jemaat-cabang) Ribidang. Di situ melayani-guru Fridolin Hutasoit, rekannya warga Humbang yang berasal dari Butar. Guru Fridolin adalah ayahanda Prof. Dr. Jannes Hutasoit yang kelak menjadi menteri-muda pertanian di zaman Orde Baru. Jannes justru lahir di jemaat Ribidang.
.
Jemaat Sihorbo-Barus mempunyai status yang agak unik di lingkungan pelayanan zending. Seperti diKetahui melalui sejarah Batakmission, di sanalah zendeling Nommensen untuk pertama kali mencoba membuka pelayanannya, setelah tiba di Sibolga pada tahun 1861. Tapi karena menyadari kenyataan tidak mungkin berkembang, dia lalu menyusul rekan-rekannya ke Sipirok. Persis sama seperti 60 tahun sebeiumnya, pada akhir tahun 1922 itu, hampir seluruh penduduk berdarah Batak dan gcncrasi pendatang pendahulu sudah beragama Islam, terutama penduduk kota Barus dan sepanjang pesisir pantai barat. Sehubungan dengan kenyataan itu, pendeta Albert yang relatif masih muda-usia, harus pintar-pintar menyesuaikan diri di kalangan masyarakat yang majemuk di Barus.
.
Melayani Batak-Toba pendatang lanjutan
.
Karena situasi yang dihadapi pendeta Albert, sasaran warga yang akan dilayaninya bersama para guru pelayan-zending lam di kawasan itu, umumnya adalah orang Batak "pendatang kemudian." Mereka itu adalah yang meneruskan jalur panombangan (pencarian lahan baru pertanian) melalui jalur Samosir-Humbang Barat-Dolok Sanggul-Onanganjang-Parlilitan-Pakkat dan akhirnya Barus. Bahkan ada yang meneruskan garapannya sampai ke Singkil.
Jemaat Sihorbo-Barus mempunyai status yang agak unik di lingkungan pelayanan zending. Seperti diKetahui melalui sejarah Batakmission, di sanalah zendeling Nommensen untuk pertama kali mencoba membuka pelayanannya, setelah tiba di Sibolga pada tahun 1861. Tapi karena menyadari kenyataan tidak mungkin berkembang, dia lalu menyusul rekan-rekannya ke Sipirok. Persis sama seperti 60 tahun sebeiumnya, pada akhir tahun 1922 itu, hampir seluruh penduduk berdarah Batak dan gcncrasi pendatang pendahulu sudah beragama Islam, terutama penduduk kota Barus dan sepanjang pesisir pantai barat. Sehubungan dengan kenyataan itu, pendeta Albert yang relatif masih muda-usia, harus pintar-pintar menyesuaikan diri di kalangan masyarakat yang majemuk di Barus.
.
Melayani Batak-Toba pendatang lanjutan
.
Karena situasi yang dihadapi pendeta Albert, sasaran warga yang akan dilayaninya bersama para guru pelayan-zending lam di kawasan itu, umumnya adalah orang Batak "pendatang kemudian." Mereka itu adalah yang meneruskan jalur panombangan (pencarian lahan baru pertanian) melalui jalur Samosir-Humbang Barat-Dolok Sanggul-Onanganjang-Parlilitan-Pakkat dan akhirnya Barus. Bahkan ada yang meneruskan garapannya sampai ke Singkil.
.
Mereka itu mungkin ada yang sudah memeluk iman Kristen sebelumnya di Humbang Timur, Toba Holbung atau Samosir, sebelum "manombang" ke kawasan Barus. Namun cukup banyak juga di antara mereka yang masih pemeluk agama suku. Mereka itu adalah yang tidak bersedia mcmeluk Islam, yang hanya dianut oleh pendatang Batak sebelum mereka, dan umumnya lebih banyak bermukim di bilangan pesisir, bukan pedalaman.
.
Mereka itu mungkin ada yang sudah memeluk iman Kristen sebelumnya di Humbang Timur, Toba Holbung atau Samosir, sebelum "manombang" ke kawasan Barus. Namun cukup banyak juga di antara mereka yang masih pemeluk agama suku. Mereka itu adalah yang tidak bersedia mcmeluk Islam, yang hanya dianut oleh pendatang Batak sebelum mereka, dan umumnya lebih banyak bermukim di bilangan pesisir, bukan pedalaman.
.
Menurut catatan-pelayanan pendeta Albert, membentuk dan membina iman kristiani penduduk seperti itulah yang justru lebih sulit. Karena kebanyakan masih harus dimulai dari "evangelisasi" tahap pertama. Orem, istri pendeta itu sering menceritakan bahwa taraf hidup sosial penduduk, khususnya yang akan mereka layani, masih sangat rendah ketika mereka tiba di resort Sihorbo. Konon, anak-anak remaja yang berumur sekitar 10 sampai 15 tahun kala itu, masih lari-lari berkeliaran atau bermain dengan bertelanjang bulat. "Membudayakan" penduduk dan warga jemaat seperti itu bukanlah hal yang langsung mudah pada kurun waktu 1920-an itu. Di samping tingkat "intelektualitas" yang masih kurang, tentu harus diperhitungkan soal kemampuan ekonomi yang lemah dalam hal pengadaan pakaian yang sederhana sekalipun.
.
.
Jemaat-jemaat cabang resort Sihorbo kala itu cukup jauh, yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Salah satu jemaatnya yang terjauh adalah Singkil. Pendeta Albert yang biasanya ditemani oleh satu-dua orang sintua ke jemaat-jemaat cabang jauh, sering harus berpapasan dengan harimau. Tentang teknik menghadapi harimau di Barus, pendeta Albert punya resep yang diper-olehnya dari para sintua rekan seperjalanannya. Bila sudah kepergok langsung berhadapan dan bertemu muka dengan nagogo (harfiah: yang kuat; maksudnya harimau), disarankan untuk tidak bergerak; harus membuka mata lebar-lebar seraya menantang matanya. Syukur-syukur sang harimau akan mc-nyingkir sendiri, karena merasa kalah gertak.
.
.
Di malam hari, nyalakan rokok terus-menerus atau obor, karena harimau sangat takut pada api. Metode ini perlu dilakukan, termasuk ketika sama-sama menunggu jatuhnya durian dari pohon, dengan sang harimau yang juga me-nunggu dalam semak-semak. Dalam perjalanan pelayanan, sesekali rombongan pendeta itu bertemu langsung dengan rombongan gajah yang turun dari Aceh Barat dan Tenggara.
.
Terus selalu mendampingi "tuan pandita" Jerman
.
.
Terus selalu mendampingi "tuan pandita" Jerman
.
Barangkali dapat dikatakan merupakan suatu keistimewaan, bahwa sejak dari penempatan pertamanya di Barus, pendeta Albert sudah ditugaskan melayani dalam satu lingkungan jemaat, mendampingi seorang zendeling yang berfungsi scbagai pendeta resort. Atasannya yang pertama adalah zendeling William Heibach, yang kemudian diganti oleh zendeling Bersenschmidt. Umumnya, zendeling yang ditempatkan langsung daiam satu pos dengan pendeta-pribumi seperti itu, adalah yang relatif lebih muda atau yang baru tiba ke Tanah Batak dari Eropa.
.
.
Dalam pola penugasan seperti itu, biasanya pendeta pribumi yang ditempatkan mendampingi para zendeling dipilih di antara yang dianggap "terbaik'' oleh pimpinan zending. Kriteria terbaik itu antara lain adalah: karena paling penyabar, paling bersahaja, atau paling sedikit protes. Singkat kata, tidak suka neko-neko seperti kata orang Jawa. Bagi beberapa pendeta pribumi, penempatan dengan modus seperti itu mungkin ada hikmahnya. Namun mungkin lebih banyak beban mentalnya, karena sangat sering menimbulkan kejengkelan umum, sebagai akibat benturan yang sangat bersifat pribadi.
.
.
Dalam memoirs-nya, pendeta Albert menyesali "kebodohannya" sebagai seorang pendeta-pribumi muda-usia, karena langsung turut tergiur mengikuti arus ekonomi pada zaman itu, menanam hapea (karet) yang sangat laku di pasar dunia. Kepala-kampung Natan Matondang, seorang warganya di jemaat-cabang Pagaranlambung, menawarkan sebidang tanah seharga f.90 untuk ditanami karet. Rupanya sang zendeling, tetangga di sebelah rumah, yang secara organisatoris merupakan atasannya , langsung mengadukan hal itu kepada pimpinan zending. Padahal uang pembelian tanah kebunnya adalah scpenuhnya dari tabungan pribadi pendeta itu. Nafsu "berekonomi pasar" dalam usia sedini itu (sekitar 35 tahun) bagi seorang pendeta-pribumi agaknya sudah langsung dicap sebagai suatu "dosa," setidak-tidaknya pelanggaran kepada sikap-iman pietisme yang dituntut oleh zendeling atasannya.
.
Konon, kemudian diberitakan bahwa pendeta itu wajib disalahkan karena terlalu cepat tergoda oleh upaya mencari harta-duniavvi. Karena itu, pada tahun 1926, pendeta Albert sudah dimutasikan ke Toba Habinsaran. Dan kebun karet itu akhirnya hilang tak tentu rimbanya, tak pernah lagi dijenguk atau diurus olehnya. Kelak pendeta itu selalu menasehatkan dengan penekanan-penuh (punktuatif) kepada semua anak-anaknya, supaya tetap mengejar profesi sebagai pegawai pemakan gaji (while collar) seperti dirinya saja, dan tidak perlu mcnjadi wiraswastawan.
Konon, kemudian diberitakan bahwa pendeta itu wajib disalahkan karena terlalu cepat tergoda oleh upaya mencari harta-duniavvi. Karena itu, pada tahun 1926, pendeta Albert sudah dimutasikan ke Toba Habinsaran. Dan kebun karet itu akhirnya hilang tak tentu rimbanya, tak pernah lagi dijenguk atau diurus olehnya. Kelak pendeta itu selalu menasehatkan dengan penekanan-penuh (punktuatif) kepada semua anak-anaknya, supaya tetap mengejar profesi sebagai pegawai pemakan gaji (while collar) seperti dirinya saja, dan tidak perlu mcnjadi wiraswastawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar