Penulis telah menyajikan Bagian Pertama dan Bagian Kedua buku Bahkan juga penyajian Buku Kedua dan Buku Ketiga yang meru-pakan seri-trilogi dengan buku ini. Maka, untuk menjadi padanan Prologue yang disajikan di muka, akhirnya penulis merasa perlu menyajikan sebuah epilogue yang bersifat refleksi singkat berikut:
.
Mungkinkah suatu proyek pembanggaan diri?
.
Sejak dari rencana permulaan penulisan buku ini, penulis selalu merasa waswas, mungkinkah gerangan penyajian lengkap seluruh kisah dalam ketiga seri-trilogi ini akan dianggap orang sebagai suatu upaya yang terlalu bersifat pembanggaan diri? Walaupun sebenarnya bukan untuk tujuan kepentingan orang-seorang saja, melainkan untuk kalangan satu keluarga-besar, yang nyaris dapat disebut sudah merupakan satu kawula?.
.
Banyak kawan, di antaranya para sejarawan dan missiolog, sudah sejak dari kurun-waktu sepuluhan tahun yang lalu mendorong penulis menyajikan isi yang dikisahkan dalam buku ini, karena kerangkanya sudah pernah dituturkan secara lisan kepada mereka. Dan setelah membaca beberapa cuplikan konsepnya jauh hari kemudian, mereka masih tetap berpendapat bahwa buku ini layak disajikan kepada umum. Apalagi karena isinya menyangkut pelayanan pada puluhan, bahkan ratusan jemaat di lingkungan Batakmission yang kelak menjelma menjadi HKBP. Bahkan juga di' lingkungan jemaat Methodist, dan beberapa denominasi gereja lainnya, termasuk yang berakar dari Batakmission.
.
Alasan yang lebih khusus lagi, agaknya isi buku ini perlu dihayati oleh generasi muda Kristen. Tidak kurang dari Pdt, Dr. J.R. Hutauruk, Ephorus HKBP, menyatakan demikian dalam Kata Sambutan yang disajikan beliau untuk penerbitan ketiga buku ini pada bulan Juni 2003. Begitu juga banyak pengamat yang sudah sempat melihat manuskripnya. Pendeta Dr. Jan S. Aritonang misalnya berkomentar bahwa buku ini dapat dikatakan bersifat "hagiografi", yang artinya penyajian biografi orang-orang kudus
.
Karena itu, kalaupuri ada bagian-bagian dalam buku ini yang mungkin terkesan seperti upaya "peyombongan" diri, hal itu sebenarnya jauh sekali dari pikiran penulis dan seluruh kerabat-sepupu yang merupakan keturunan tokoh-tokoh yang diceritakan. Teolog dan sejarawan Gereja Methodist Indonesia, Pdt. Dr. Richard Daulay misalnya mengatakan, adalah terlalu mubazir bila sengaja mengabaikan sebuah kisah pelayanan-penginjilan yang dimulai pada zaman keperintisan Zending di Tanah Batak, oleh suatu keluarga-besar yang dikatakannya telah menjadi suatu "pohon keluarga besar" atau familiy tree.
.
Seorang evangelis dan isterinya, yang merupakan naposo haholongan pelayan kesayangan), dan yang seorang lagi putri-angkat zendeling (kemudian menjadi ephorus) Nommensen, bersama seorang ipar kandungnya, telah melakoni karya pengabdian mereka sebagai evangelis dan guru-zending paling pemula di Tanah Batak Selatan dan Utara, pada era 1860-1870-an. Dan bahwa mereka kemudian menurunkan lima orang putra dan empat orang putri yang semua menjadi keluarga-keluarga pendeta dan guru-zending perintis, bahkan sampai derajat ketiga dan keempat, atau para cucu dan cicit evangelis itu.
.
Bahkan hingga dewasa ini (awal abad 21), generasi kelima atau buyut keturunan evangelis itu tetap ada yang menekuni bidang pekabaran Injil di ladang Tuhan. Karena itu, dengan adanya sejumlah sekitar 3000-an orang sampai pada generasi keenam-ketujuh dewasa ini, keturuna'n evangelis itu dan isterinya yang lahir sekitar akhir masa invasi kaum Pidari (1840-an) di Tanah Batak, agaknya cukup layak bagi mereka untuk kembali mengenang dan mengetahui sepak-terjang dan bakti-pelayanan moyang mereka yang dimulai lebih dari masa 150 tahun yang silam.
.
Tidak bertujuan menyangkal jasa bakti-pelayanan RMG
.
Kalaupun dalam buku ini penulis menyajikan banyak sekali model benturan antara pelayan zending dengan para zendeling, terutama sesudah era pasca-Nommensen, sama sekali tidaklah dimaksudkan untuk menyangkal apalagi meniadakan hasil karya pelayanan para zendeling Eropa. Tidak dapat dhnungkiri, bahwa Tanah Batak sekarang, khususnya bagian Utara, tidak mungkin akan menggapai kcmajuan sepesat itu dalam segala aspek kehidupan warganya, terutama dalam bidang keimanan, tanpa kedatangan para zendeling Eropa, dengan misi yang ditunjang oleh Rheinische Missions-Gesellschatf (RMG) dari Barmen, Jerman.
.
Karena itu, beberapa benturan yang disajikan di dalam buku ini hanyalah merupakan sajian romantika sejarah, atau suatu upaya koreksi yang perlut dilakukan kemudian terhadap tindakan dan sikap beberapa zendeling RMG, seperti tersaji dalam ketiga buku seri-trilogi ini. Kritik atau pemberitaan serupa juga disajikan dengan cara yang "mengalir" oleh sejarawan GKPI, Pdt. Dr. Jan S. Aritonang dalan Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak. Model penulisan dan pemberitaan yang serupa juga disajikan oleh banyak pengulas asing, seperti Dr. Johan Hasselgren, Dr. Paul B. Pedersen dan Dr. Lance Castles misalnya, serta penulis lokal, Dr. Richard Daulay.
.
Satu hal yang kiranya perlu pula disadari oleh generasi muda pembaca, bahwa tidaklah semua buah manis penginjilan dan kemajuan dalam seluruh aspek kehidupan orang Batak Kristen yang dibawa oleh misi RMG pada dekade 1860-an ke Tanah Batak itu, hanya merupakan efek hasil karya para zendeling Eropa saja. Kedua-fihak, zendeling asing dan para evangelis-lokal, guru-zending dan para hulp-zendeling telah sama-sama menyumbangkan darma baktinya dalam seluruh aspek kehidupan beriman dan kemajuan duniawi yang akhirnya digapai oleh orang Batak-Kristen dewasa ini. Itu dinyatakan dengan komprehensif oleh Ephorus Hutauruk dalam Kata Sambutan yang disebut di muka.
.
Refleksi penutup
.
Sebuah refleksi singkat agaknya perlu penulis sajikan sebagai penutup bagian epilogue ini. Berdasarkan hasil penelitian intensif selama sepuluh tahun terakhir, dan sudah kira-kira 20 tahun sebelumnya, dalam persiapan sangat dini melalui dialog-dialog dengan para tetua keturunan orang-orang yang ditokohkan dalam ketiga buku seri-trilogi ini, penulis mengambil suatu kesimpulan dari pengakuan mereka, bawa Allah Bapa di sorga itu tetap maha adil. Dia tetap memberikan bimbingan dan anugerah-Nya kepada semua keturunan para pelayan-Nya yang ditokohkan dalam ketiga buku ini, dan kepada keturunan siapa saja, sepanjang mereka tetap setia berjalan di jalan-Nya.
.
Dan oleh karena itu, tanpa bermaksud menggurui pembaca, terutama generasi muda keturunan evangelis itu, sudah pada generasi keenam-ketujuh pada tahun 2004, nasehat nenek-buyut mereka, Maria Boru Siregar yang putri-angkat Ephorus Nommensen, tetap berlaku dan relevan. Orem, si putri bungsu Maria, semasa hidupnya senantiasa dengan tangkas dan hafal patokan nasehat ibunya itu, begini:
.
Kalian semua, keturunanku, yang tetap setia berjalan di jalan Tuhan, niscaya akan senantiasa mendapat berkat-Nya. Lain dari itu, yang bersangkutanlcth yang dengan sengaja mencemplungkan dirinya sendiri ke berbagai jurang kehidupan, kenistaan, neraka dunia dan akhirat. Tak lebih, tak kurang.
.
Amin.
.
TAMAT
.
Mungkinkah suatu proyek pembanggaan diri?
.
Sejak dari rencana permulaan penulisan buku ini, penulis selalu merasa waswas, mungkinkah gerangan penyajian lengkap seluruh kisah dalam ketiga seri-trilogi ini akan dianggap orang sebagai suatu upaya yang terlalu bersifat pembanggaan diri? Walaupun sebenarnya bukan untuk tujuan kepentingan orang-seorang saja, melainkan untuk kalangan satu keluarga-besar, yang nyaris dapat disebut sudah merupakan satu kawula?.
.
Banyak kawan, di antaranya para sejarawan dan missiolog, sudah sejak dari kurun-waktu sepuluhan tahun yang lalu mendorong penulis menyajikan isi yang dikisahkan dalam buku ini, karena kerangkanya sudah pernah dituturkan secara lisan kepada mereka. Dan setelah membaca beberapa cuplikan konsepnya jauh hari kemudian, mereka masih tetap berpendapat bahwa buku ini layak disajikan kepada umum. Apalagi karena isinya menyangkut pelayanan pada puluhan, bahkan ratusan jemaat di lingkungan Batakmission yang kelak menjelma menjadi HKBP. Bahkan juga di' lingkungan jemaat Methodist, dan beberapa denominasi gereja lainnya, termasuk yang berakar dari Batakmission.
.
Alasan yang lebih khusus lagi, agaknya isi buku ini perlu dihayati oleh generasi muda Kristen. Tidak kurang dari Pdt, Dr. J.R. Hutauruk, Ephorus HKBP, menyatakan demikian dalam Kata Sambutan yang disajikan beliau untuk penerbitan ketiga buku ini pada bulan Juni 2003. Begitu juga banyak pengamat yang sudah sempat melihat manuskripnya. Pendeta Dr. Jan S. Aritonang misalnya berkomentar bahwa buku ini dapat dikatakan bersifat "hagiografi", yang artinya penyajian biografi orang-orang kudus
.
Karena itu, kalaupuri ada bagian-bagian dalam buku ini yang mungkin terkesan seperti upaya "peyombongan" diri, hal itu sebenarnya jauh sekali dari pikiran penulis dan seluruh kerabat-sepupu yang merupakan keturunan tokoh-tokoh yang diceritakan. Teolog dan sejarawan Gereja Methodist Indonesia, Pdt. Dr. Richard Daulay misalnya mengatakan, adalah terlalu mubazir bila sengaja mengabaikan sebuah kisah pelayanan-penginjilan yang dimulai pada zaman keperintisan Zending di Tanah Batak, oleh suatu keluarga-besar yang dikatakannya telah menjadi suatu "pohon keluarga besar" atau familiy tree.
.
Seorang evangelis dan isterinya, yang merupakan naposo haholongan pelayan kesayangan), dan yang seorang lagi putri-angkat zendeling (kemudian menjadi ephorus) Nommensen, bersama seorang ipar kandungnya, telah melakoni karya pengabdian mereka sebagai evangelis dan guru-zending paling pemula di Tanah Batak Selatan dan Utara, pada era 1860-1870-an. Dan bahwa mereka kemudian menurunkan lima orang putra dan empat orang putri yang semua menjadi keluarga-keluarga pendeta dan guru-zending perintis, bahkan sampai derajat ketiga dan keempat, atau para cucu dan cicit evangelis itu.
.
Bahkan hingga dewasa ini (awal abad 21), generasi kelima atau buyut keturunan evangelis itu tetap ada yang menekuni bidang pekabaran Injil di ladang Tuhan. Karena itu, dengan adanya sejumlah sekitar 3000-an orang sampai pada generasi keenam-ketujuh dewasa ini, keturuna'n evangelis itu dan isterinya yang lahir sekitar akhir masa invasi kaum Pidari (1840-an) di Tanah Batak, agaknya cukup layak bagi mereka untuk kembali mengenang dan mengetahui sepak-terjang dan bakti-pelayanan moyang mereka yang dimulai lebih dari masa 150 tahun yang silam.
.
Tidak bertujuan menyangkal jasa bakti-pelayanan RMG
.
Kalaupun dalam buku ini penulis menyajikan banyak sekali model benturan antara pelayan zending dengan para zendeling, terutama sesudah era pasca-Nommensen, sama sekali tidaklah dimaksudkan untuk menyangkal apalagi meniadakan hasil karya pelayanan para zendeling Eropa. Tidak dapat dhnungkiri, bahwa Tanah Batak sekarang, khususnya bagian Utara, tidak mungkin akan menggapai kcmajuan sepesat itu dalam segala aspek kehidupan warganya, terutama dalam bidang keimanan, tanpa kedatangan para zendeling Eropa, dengan misi yang ditunjang oleh Rheinische Missions-Gesellschatf (RMG) dari Barmen, Jerman.
.
Karena itu, beberapa benturan yang disajikan di dalam buku ini hanyalah merupakan sajian romantika sejarah, atau suatu upaya koreksi yang perlut dilakukan kemudian terhadap tindakan dan sikap beberapa zendeling RMG, seperti tersaji dalam ketiga buku seri-trilogi ini. Kritik atau pemberitaan serupa juga disajikan dengan cara yang "mengalir" oleh sejarawan GKPI, Pdt. Dr. Jan S. Aritonang dalan Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak. Model penulisan dan pemberitaan yang serupa juga disajikan oleh banyak pengulas asing, seperti Dr. Johan Hasselgren, Dr. Paul B. Pedersen dan Dr. Lance Castles misalnya, serta penulis lokal, Dr. Richard Daulay.
.
Satu hal yang kiranya perlu pula disadari oleh generasi muda pembaca, bahwa tidaklah semua buah manis penginjilan dan kemajuan dalam seluruh aspek kehidupan orang Batak Kristen yang dibawa oleh misi RMG pada dekade 1860-an ke Tanah Batak itu, hanya merupakan efek hasil karya para zendeling Eropa saja. Kedua-fihak, zendeling asing dan para evangelis-lokal, guru-zending dan para hulp-zendeling telah sama-sama menyumbangkan darma baktinya dalam seluruh aspek kehidupan beriman dan kemajuan duniawi yang akhirnya digapai oleh orang Batak-Kristen dewasa ini. Itu dinyatakan dengan komprehensif oleh Ephorus Hutauruk dalam Kata Sambutan yang disebut di muka.
.
Refleksi penutup
.
Sebuah refleksi singkat agaknya perlu penulis sajikan sebagai penutup bagian epilogue ini. Berdasarkan hasil penelitian intensif selama sepuluh tahun terakhir, dan sudah kira-kira 20 tahun sebelumnya, dalam persiapan sangat dini melalui dialog-dialog dengan para tetua keturunan orang-orang yang ditokohkan dalam ketiga buku seri-trilogi ini, penulis mengambil suatu kesimpulan dari pengakuan mereka, bawa Allah Bapa di sorga itu tetap maha adil. Dia tetap memberikan bimbingan dan anugerah-Nya kepada semua keturunan para pelayan-Nya yang ditokohkan dalam ketiga buku ini, dan kepada keturunan siapa saja, sepanjang mereka tetap setia berjalan di jalan-Nya.
.
Dan oleh karena itu, tanpa bermaksud menggurui pembaca, terutama generasi muda keturunan evangelis itu, sudah pada generasi keenam-ketujuh pada tahun 2004, nasehat nenek-buyut mereka, Maria Boru Siregar yang putri-angkat Ephorus Nommensen, tetap berlaku dan relevan. Orem, si putri bungsu Maria, semasa hidupnya senantiasa dengan tangkas dan hafal patokan nasehat ibunya itu, begini:
.
Kalian semua, keturunanku, yang tetap setia berjalan di jalan Tuhan, niscaya akan senantiasa mendapat berkat-Nya. Lain dari itu, yang bersangkutanlcth yang dengan sengaja mencemplungkan dirinya sendiri ke berbagai jurang kehidupan, kenistaan, neraka dunia dan akhirat. Tak lebih, tak kurang.
.
Amin.
.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar