Pada bulan Januari 1939, pendeta Albertmenenma instruksi mutasi ke jemaat-induk Lintong Ninuta-bihomoing. Di jemaat ini pun dia juga harus "menemani" atasannya pendeta Jerman muda-usia lainnya, bernama de Graumann. Tidak terlalu banyak permasalahan yang dihadapi pendeta itu di jemaat-induk ini, termasuk dengan semua jemaat cabangnya. Bukankah kawasan ini dihuni oleh mayoritas warga jemaat bermarga Sihombing, terutama dari cabang Lumbantoruan, marga asal pendeta itu? Secara kebetulan dia berasal dari keturunan cabang yang paling-kakak dalam marga Lumbantoruan. Karena itu respek tua-tua dan warga jemaat seluruh Lintong Nihuta kepadanya cukup baik. Pelayanannya di jemaat ini adalah untuk meneruskan yang lebih lima-puluh tahun sebelumnya dirintis oleh zendeling Valentin Kessel dan para evangelis pendahulu.
.
Pada bulan Maret 1940, pendeta Albert sudah dimutasikan pula ke jemaat-induk Paranginan yang berbatasan langsung dengan resort Lintong Nihuta. Ketika melayani di jemaat inilah pendeta itu menerima kenyataan bahwa para tuan-pendeta Jerman atasannya, mulai dari Ephorus Dr. Verwiebe sampai kepada orang-orang sipil seperti dokter dan wiraswastawan dari toko-tokoHennemann, ditangkapi dan diinternir (ditahan) oleh pemerintah kolonial Belanda. Tindakan itu dilakukan sebagai tindak pembalasan atas penyerbuan dan invasi Jerman-Nazi kepada Negeri Belanda.
.
Pada tahun 1940 itu pulalah terjadi peristiwa besar bagi HKBP. Walaupun sudah resmi dinyatakan sebagai "badan hukum" pada tahun 1931, toh kendali pimpinannya masih tetap saja dipegang sepenuhnya oleh para pendeta Jerman. Namum, mulai saat zending "gulung tikar" itu, 90 orang pengerja pribumi HKBP (pendeta, guru zending dan penatua terpilih) melalui suatu sinode telah memilih voorzitter (ephorus)-nya yang pertama dari kalangan pendeta pribumi, yakni pendeta Kasianus Sirait. Ephorus Sirait adalah adik-kelas langsung pendeta Albert di Seminari Sipoholon yang tamat pada tahun 1925.
.
Pada bulan Maret 1940, pendeta Albert sudah dimutasikan pula ke jemaat-induk Paranginan yang berbatasan langsung dengan resort Lintong Nihuta. Ketika melayani di jemaat inilah pendeta itu menerima kenyataan bahwa para tuan-pendeta Jerman atasannya, mulai dari Ephorus Dr. Verwiebe sampai kepada orang-orang sipil seperti dokter dan wiraswastawan dari toko-tokoHennemann, ditangkapi dan diinternir (ditahan) oleh pemerintah kolonial Belanda. Tindakan itu dilakukan sebagai tindak pembalasan atas penyerbuan dan invasi Jerman-Nazi kepada Negeri Belanda.
.
Pada tahun 1940 itu pulalah terjadi peristiwa besar bagi HKBP. Walaupun sudah resmi dinyatakan sebagai "badan hukum" pada tahun 1931, toh kendali pimpinannya masih tetap saja dipegang sepenuhnya oleh para pendeta Jerman. Namum, mulai saat zending "gulung tikar" itu, 90 orang pengerja pribumi HKBP (pendeta, guru zending dan penatua terpilih) melalui suatu sinode telah memilih voorzitter (ephorus)-nya yang pertama dari kalangan pendeta pribumi, yakni pendeta Kasianus Sirait. Ephorus Sirait adalah adik-kelas langsung pendeta Albert di Seminari Sipoholon yang tamat pada tahun 1925.
.
Peristiwa pendaratan pasukan penyerbu Jepang juga cukup berkesan di hati keluarga pendeta itu. Ribuan pasukan "tentara-payung" Jepang yang menyerbu, antara lain didaratkan di dataran-luas Sibosa yang cukup dekat dengan godung Paranginan. Di jemaat induk Paranginan inilah kemudian keluarga pendeta itu berkesempatan bergaul cukup akrab dan mesra dengan keturunan evangelis-guru Sopar Lumbantobing, rekan seangkatan mertuanya, evangelis-guru Daniel Hutabarat, dari angkatan evangelis pemula di Tanah Batak yang sama-sama melayani Humbang. (lihat Bab III, Bagian Pertama buku ini). Gerbang perkampungan turunan evangelis
Sopar berhadapan dengan gerbang kompleks godung jemaat-induk Paranginan.
.
.
Bersamaan dengan kedatangan pasukan Jepang (atau sedikit waktu sebelumnya), di seluruh kawasan Humbang sedang marak aliran atau sekte Kristen baru, yang kala itu disebut saja Na tondi-tondion (yang kerasukan roh), seperti banyak tercatat dalam sejarah zending dan HKBP. Setiap mengadakan kumpulan kebaktian, umumnya mereka menyatakan diri telah dipenuhi oleh Roh Kudus. Umumnya sampai dalam keadaan seperti "kerasukan" (trance), kadang-kadang sampai tidak sadarkan diri. Cukup berat tugas pelayanan pendeta Albert dan jajaran guru-zending dan sintua bawahannya untuk membendung aliran yang selalu "dirasuki roh" tersebut. Sebagai titik puncaknya, di sekitar tahun 1944 pendeta itu dipanggil mcnghadap oleh penguasa Jepang di Siborong-borong. Apa pasal?
.
.
Rupanya di salah satu kampung kawasan Paranginan, berlangsung satu kebaktian sekte "na tondi-tondion" itu dengan mengunci diri dalam sebuah rumah anggotanya. Agaknya kebaktian mereka sudah berlangsung sampai tiga hari-tiga malam. Ketika orang mengintip dari Iobang dinding-papan rumah itu, rupanya sudah ada di antara pengikut kebaktian yang "disalib" di dinding-dalam rumah, benar-benar dengan paku. Tidak begitu jelas apakah si tersalib mati atau hanya pingsan. Tapi pendeta Albert-lah yang "kena getah"-nya, dipanggil oleh penguasa Jepang untuk mempertangung-jawabkan masalah praktek keagamaan itu di wilayah pelayanannya. Hanya dengan susah-payah pendeta Albert menjelaskan bahwa "aliran sesat" itu sama sekali bukan tanggung-jawabnya, baru dia diizinkan pulang oleh polisi "kempetai" Jepang di Siborong-borong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar