Sabtu, 03 Mei 2008

Pelayanan Kependetaan - Bahalbatu, Parmonangan, dan Pollung


Setelah berumur lebih dari enampuluh tahun dan melayani lebih dan 35 tahun di ladang Tunan, pendeta Albert merasa kondisi risiknya sudah s an gat menu run. Deraan pekerjaan cukup berat dalam pelayanannya sebagai pendeta yang kebanyakan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Lima resort besar sudah dilayaninya hanya dalam profesinya sebagai pendeta saja. Masing-masing resort itu mempunyai antara 10 sampai 20an jemaat-cabang. Dapat difahami kenapa kondisi fisik pendeta itu begitu melorot dalam usianya yang sudah 60 tahun. Secara pelan-pelan, mulai tahun 1946, dia sudah mengajukan permohonan pensiun. Tapi Ephorus Justin Sihombing membujuknya supaya tetap bertahan dulu, menunggu sampai tamatnya sekolah pendeta angkatan pertama yang bam dibuka sejak bubarnya zending di tahun 1940. Tahbisan pendeta baru itu diharapkan pada tahun 1948.
.
Ephorus Justin sangat menaruh respek kepada pendeta Albert, setidak-tidaknya karena tiga hal. Pertama, karena mereka sesama sepupu-jauh dari kawula marga Sihombing, yakni Hutasoit dan Lumbantoruan. Justin selalu menyapakan hahang (abang) kepada Albert dengan amat santun. Adalah Ephorus Justin yang di sekitar tahun 1944 menganjurkan supaya Albert bersedia menjadi praeses Humbang, mungkin sebuah usulan yang kini dapat dianggap berbau KKN. Tawaran itu justru ditampik pendeta Albert dengan santun karena merasa kurang mampu, dan sebaliknya menganjurkan seorang junior dan mantan muridnya, pendeta Fridolin Sihombing, seperti sudah diberitakan di muka.
.
Alasan kedua tentang respek Ephorus Justin kepada Albeit adalah, karena dia adalah kakak-angkatannya dalam sekolah pendeta, dan bahkan guru yang digantikannya di jemaat Siborong-borong pada tahun 1918. Seperti diketahui secara umum, semua pendeta HKBP kelak selalu merasa dan menyebut diri sebagai "adik" dari para kakak-kelasnya dalam keluarga besar para pendeta-pribumi. Dan alasan ketiga adalah, memang Ephorus Justin sangat menaruh respek terhadap kebersahajaan Albert sebagai seorang pendeta, sebagaimana dia sendiri juga.
.
"Semi-berpensiun"
.
Namun pada pelaksanaan Sinode Godang 1948, Ephorus Justin agaknya tak dapat lagi membendung bujukan Albert untuk pindah atau pensiun dari resort Muara yang jumlah jemaat-cabangnya hampir duapuluhan itu. Juga karena pendeta pribumi angkatan pertama zaman revolusi (pasca-zending) sudah tamat, meskipun jumlahnya sangat terbatas, hanya sekitar 16 orang. Namun ephorus bukan langsung menyetujuinya berpensiun penuh pada usia sekitar 62 tahun itu.
.
Ephorus justru mengajukan tantangan dan rangsangan yang bersifat sentimental kepada Albert, untuk "membuka kembali" resort Bahalbatu, yang sudah puluhan tahun melorot dari statusnya sebagai jemaat-resort menjadi jemaat-cabang. Seperti diketahui melalui sejarah HKBP dan zcnding, di kawasan Humbang, bahkan sampai ke Toba Holbung, jemaat yang paling pertama dibuka oleh Nommensen di luar Pearaja, Huta Dame dan Pansur Napitu adalah Bahalbatu, pada tahun 1872. Jemaat Bahalbatu itu bahkan hanya satu-satunya di luar Pearaja jang terus-menerus dibcritakan dalam Almanak HKBP, sebagai jemaat dengan rajanya yang menghibahkan tanah kepada zending setelah Raja Pontas di Pearaja. Hingga kini!
.
Dapat difahami kalau pendeta Albert tertantang dan terangsang dengan tawaran ephorus itu. Dia bersedia menjadi pendeta resort Bahalbatu yang akan dibuka kembali, dengan hanya tiga-empat jemaat-cabang yang tadinya masuk resort Siborong-borong, bahkan sebagian Silindung, menjadi jemaat-cabang resort "yang dibarukan" itu. Demikianlah pada tahun 1948 pendeta Albert pindah dari resort Muara ke resort Bahalbatu, kampung asal dan kelahirnya, melayani untuk yang ketiga kalinya. Dua kali sebelumnya adalah sebagai guru-zending.
.
Ternyata tugas berat, terutama karena harus banyak berjalan kaki pada usia tua, belum selesai. Apa pasal? Dengan amat lembut, ephorus membujuk-bujuk lagi "hahang"-nya itu supaya bersedia juga melayani resort Parmonangan. cukup hanya dengan melakukan kunjungan-kunjungan sesaat. Resort itu sudah lama tidak berpendeta, sejak kepindahan pendeta Gomar Sihombing dari sana pada masa masuknya Jepang.
.
Kekurangan tenaga pendeta pribumi sebagai akibat ditangkapinya para pendeta Jerman membuat HKBP sangat kekurangan tenaga pendeta. Konon pada masa itu ada guru atau bahkan sintua pada jemaat yang amat terpencil menggunakan mantel hitam yang panjang, memimpin suatu kabaktian khusus, misalnya pemberkatan nikah, dengan" harapan kesan-nya (image) dianggap atau dibayangkan warganya seolah-olah sebagai pelayanan seorang pendeta yang bertoga hitam. Ada pula pemberitaan bahwa dalam kebaktian minggu misalnya, seorang sintua yang berkhotbah di mimbar hanya bisa mengenakan jas tua yang sudah lusuh, sementara bagian bawah hanya menggunakan mandar (sarung), untuk menggantikan fungsi celana panjang yang sudah tidak dipunyai lagi.
.
Kekosongan pelayan di resort Parmonangan sangat menyulitkan dalam hal pelayanan sakramen, perjamuan kudus, dan terutama baptisan. Sebagian \varga jemaat HKBP juga sudah dicoba "garap" oleh sekte lain. Sebaliknya, persembahan jemaat-jemaat perlu dikumpulkan untuk dibawa ke Kantor Pusat Pearaja, justru karena kawasan Parmonangan kala itu sedikit mengalami "boom" (kemakmuran) sebagai akibat kembali membaiknya harga kemenyaan, komoditas utama kawasan itu. Tercatat, dalam tahun 1948 dan 1949 pendeta Albert melakukan dua kali kunjungan pelayanan berkeliling yang lamanya mas ing-mas ing satu setengah bulan, mencakup lima sampai tujuh jemaat Parmonangan kala itu.
.
Tiga pengalaman lucu
.
Setidak-tidaknya ada tiga hal yang lucu dicatat oleh keluarga pendeta Albert daiam kunjungan pelayanan itu. Pada kunjungan pertama, pendeta itu mengajak seorang doli-doli (pemuda) kampungnya untuk menjadi "ajudannya" di perjalana-nan. Dalam istirahat tidur pada suatu malam, pendeta itu mendengar "ocehan" pemuda itu tentang cara dia dan rekan-rekannya pemuda kampung mencuri dan memakan seekor anak babi. Ternyata anak babi itu justru ternak piaraan istri pendeta itu scndiri.
.
Dengan sedikit menggelikan, ketika pendeta Albert akan memberikan upah jerih-payah si pemuda karena telah menemaninya dalam pelayanan berkeliling jalan-kaki hampir selama dua bulan ke jemaat Parmonangan, pendeta itu mem-bisikkan bahwa melalui igauan dalam mimpinya, dia sendiri tclah memberitahukan bahwa pencuri anak babi itu adalah dia dan rekan-rekannya. Dengan amat malu, pemuda yang sebenarnya berkelakuan cukup baik itu mengatakan bahwa dia hanya terpaksa ikut-ikutan mencuri anak babi istri pendeta, daripada dia harus dicap sebagai "bersikap banci" oleh rekannya anak-anak kampung yang nakal. Ada-ada saja!
.
Pengalaman menggelikan kcdua adalah keheranan putra bungsu pendeta itu, yang pada kunjungan kedua diajak sebagai ajudannya, karena sekolah rakyat kala itu "diliburkan" saja satu tahun penuh sebagai akibat perang-gerilya. Di kawasan Hurlang, dilihatnya pemuda-pemuda dan kaum bapak menjajarkan empat sampai lima buah pulpen baru di saku bajunya. Sebagai anak yang duduk di kelas enam sekolah rakyat kala itu, putra pendeta itu amat tergiur dengan kepemilikan begitu banyak pulpen oleh setiap orang di kawasan Hurlang. Apa pasal? Rupanya mereka itu justru banyak yang buta huruf. Karena itu, sebenarnya mereka tak perlu menggunakan satu buah pulpenpun. Memborong pulpen itu justru mereka lakukan sebagai suatu "pemantas" atau gengsi-gengsian, karena dadakan kemakmuran yang dibawa oleh hasil penjualan kemenyan mereka yang sedang mengalami "bonanza" itu.
.
Konon, pendeta itu juga mendengar satu berita unik dari sana, bahwa di salah satu kampung kawasan itu pcrnah seorang ibu jatuh sakit keras, hanya karena begitu ingin melihat dengan mata-kepala sendiri apa yang disebut "motor" (maksudnya mobil). Barang unik itu sudah mulai muncul lagi, sesudah zaman paceklik pada masa pendudukan Jepang. Diberitakan pula, bahwa penyakit ibu itu katanya langsung sembuh, setelah menyaksikan kendaraan beroda empat itu di pekan Doloksanggul.
.
Malah kembali jadi pelayan purna-waktu
.
Pada tahun 1950, Ephorus Justin bahkan seperti ingin "mengingkari" janii dan izinnya untuk membuat pendeta. Albert dapat menjalani masa semi-pensiun di kampung halamannya, Bahalbatu. Dengan lebih lembut, dia bujuk lagi "hahang"-nya, pendeta-tua itu, agar bersedia lagi berjemaat "resort-penuh" ke Pollung, Marbun, sebuah ressort antara Dolok Sanggul dan Sidikalang. Jangka pelayanan yang diminta ephorus adalah menunggu sampai tamatnya para pendeta kelompok angkatan kedua yang dididik setelah zaman pendudukan Jepang. Kelas itu akan dibuka pada tahun 1951, dan diharapkan akan tamat pada pertengahan tahun 1953. Kala itu pendeta Albert sudah berusia 64 tahun.
.
Ephorus memesankan, ada satu misi khusus yang tak dapat ditolak oleh panggilan batin dan hati pendeta tua itu. Isi pesan itu: "Jemaat Pollung memerlukan layanan pendeta, dan harus yang sangat senior, untuk membendung semangat ekspansi oleh Katolik di Huta Paung, yakni salah satu jemaat-cabang Pollung, dan oleh HChB, yang kemudian berproses menjadi HKI, justru di lingkungan jemaat-induk Pollung sendiri. Lebih unik lagi, justru guru dan pimpinan jemaat HChB di kawasan jemaat-induk Pollung adalah seorang guru muda-usia, Ephraim Sihombing, sepupu yang lumayan dekat, berasal dari kampung Bahalbatu sendiri.
.
Kesetiaan model lama kepada "misi zending" mendorong batin pendeta Albert mcmenuhi bujukan ephorus. Dia bahkan masih dapat melayani di sana sampai pertengahan tahun 1953, pada usia sekitar 67 tahun. Jemaat cabangS/r/W/a, yang pcrnah menjadi terkenal dalam zaman Orde Baru karena soal kerakusan untuk menguasai tanah-ulayat masyarakat adat di sana oleh unsur oknum Orde itu, adalah salah satu jemaat cabang pendeta itu. Dalam perjalanan pulang pelayanan dari salah satu jemaat bernama Sipitu Huta dekat Siria-ria pada suatu hari Minggu, pendeta yang sudah berusia sekitar 67 tahun itu benar-benar "collapse," jatuh pingsan dari sepedanya di tengah jalan, karena daya tahan fisiknya yang sudah sangat melorot. Karena itu, pada bulan Agustus 1953, ephorus benar-benar memensiunkan pendeta itu secara penuh, pada usia sekitar 67 tahun.
.
Tapi pemensiunan penuh itu sebenarnya baru dapat terlaksana karena para siswa sekolah pendeta angkatan kedua (pasca-zending) telah berhasil ditamatkan pada pertengahan tahun itu. Jumlahnya memang cukup banyak, sekitar 40 orang. Angkatan itu bahkan adalah yang pertama kali terbanyak sepanjang sejarah zaman zending dan HKBP, sebelum tahbisan-tahbisan model angkatan lulusan STT. Di antara para tamatan angkatan itu antara lain adalah para pendeta Lofofl J. Napitupulu, Benoni Napitupulu, Sulaeman Bonaparte Siregar dan Gayus Lumbantoruan, yang kemudian hari semuanya cukup lama menjadi praeses HKBP.
.
Rahmat pengganti uang pensiun HKBP
.
Ada satu rahmat yang amat disyukuri oleh pendeta Albert ketika masih melayani di Pollung, yakni perkenan pemerintah mengangkatnya menjadi guru agama pada sekolah rakyat ncgcri setempat. Ketika dia pindah berpensiun dan menetapkan tempat domisilinya di Siborong-borong, dia mohon dipindahkan pula sebagai guru agama pada salah satu sekolah-rakyat negeri di kota itu. "Pucuk dicinta, ulam tiba." Ternyata sekolah yang diberikan Jawatan Agama Tapanuli untuk diajarnya adalah SMP Negeri Siborong-borong, dan bukan lagi tingkat sekolah rakyat (sekolah dasar) seperti di Pollung.
.

Pdt Albert dan istri, tahun 1960

.
Mungkin penganugerahan status guru agama Kristen untuk tingkat sekolah menengah ada sedikit berbau primordialisme. Guru Methusala adalah adik-angkatan jauh pendeta Albert di Seminari Sipoholon, Ketika Methusala mengikuti sekolah guru, pada saat itu Albert mengikuti sekolah-pendeta dalam kampus, yang sama. Tapi lebih dekat lagi, Methusala adalah sepupu-jauh ibu Albert, Boru Siahaan dari Lumban Gorat, Balige. Mungkin itulah yang metnbuat permohonan menjadi guru agama sebelumnya pada usia'sekitar 64 di Pollung menjadi klop.
.
Mungkin karena itu pulalah kemudian datang penjelasan lanjutan yang mengatakan, bahwa sesuai dengan senioritasnya, pendeta Albert layak mendapat kepangkatan guru agama untuk tingkat sekolah menengah. Uniknya, dalam usianya yang sudah mencapai 67 tahun, dia masih dapat membaktikan diri dalam pelayanan sebagai guru agama sampai dengan saat ditimpa "stroke" pada tahun 1959, kala usianya bahkan sudah mencapai 73 tahun. Di antara ratusan siswanya kemudian yang dapat dilacak oleh penulis adalah almarhum pendeta Dr. Bonar Situmorang, mantan rektor STT HKBP.
.


Pemberitaan Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) Medan tentang Orem Boru Hutabarat yang meninggal dunia pada bulan Desember ]983. Gambar di-copy dari berita terrsebut
.


Orem Br Hutabarat "Cucu" Rasul Batak Nommensen Meninggal Dunia


Medan,

Dalam usia yang cukup banyak, 89 tahun, Orem br Hutabarat, dijuluki sebagai "cucu" Dr Nommensen Rasul Batak, meninggal dunia di Jakarta Jumat 2 Desember kemaren.

Ayahnya, almarhum Evangelis dan guru Daniel Hutabarat dan ibunya almarhumah Maria br Siregar, membantu Nommensen pada awal penyebaran Injil di Tanah Batak (pernah dimuat di SIB beberapa tahun lalu).

Kedua orangtuanya itu termasuk murid-murid pertama Nommensen yang dididik di Huta Dame, Saitnihuta, Tarutung, Taput, yang langsung berasal dari pelbegu. Karenanya termasuk orang-orang Batak pertama yang mengecap pendidikan. Abangnya Maria sendiri, yang punya hubungan kekeluargaan dengan Raja Sisingamangaraja XI, sudah dikirim belajar ke Jerman, di zaman itu.

Maria br Siregar sendiri, yang kemudian disebut sebagai "puteri" Nommensen, diketemukan di hutan ketika dipersembahkan sebagai kurban kepada berhala, sewaktu masih gadis kecil.

Orem, lahir 19 Maret 1895, kawin dengan Pendeta Albert S Lumbantoruan dan mempunyai 12 anak terdiri dari 8 puteri dan 4 putera, yang semuanya sudah memberikan kepada almarhumah cucu, cicit, dan piut, hingga saat meninggalnya 182 orang.

Sejak 21 April 1969 almarhumah sudah menjanda.

Semasih hidupnya, oleh putera-puterinya kepada alamarhumah sudah dilangsungkan pesta adat Batak "saur matua" (adat "turun - mangolu") ketika masih segar bugar di Siborong-borong tahun 1979.

Orem meninggal dunia di rumah puteranya Drs Pirmian Sihombing MSc di Tanah Kusir Jakarta, pagi ini jenazahnya tiba di Polonia Medan, diterima puteranya Pitono Hombing, dan langsung dibawa ke Siborongborong untuk dimakamkan di samping almarhum suaminya hari Senin di Bahal Batu . (R6)

.
Putra-putra bermarga Sihombing-Siopat Ama (marga Sihombing yang menjadi empat cabang) dari seluruh Humbang yang menempuh pendidikan SMP Ncgeri di Siborong-borong pada kurun waktu 1953-1959 itu, amat banyak mengenang "ompung" dan "bapak-tua" mereka itu, yang sering juga mereka gelari "Pendeta Pendek." Kali ini dengan sapaan dan penggelaran mesra, karena mereka sebenarnya sangat menghormatinya. Bagaimana tidak? Justru putra-putra bermarga Sihombing inilah yang paling sering ditunjuk guru-agama Albert mengucapkan ayat-ayat (nats) dari Alkitab yang disuruh hapal luar-kepala dan diucapkan secara lengkap di depan kelas. Dan kalau tidak pas, kuping putra-putra marga Sihombing itu akan "dipilin" sampai merah. Kadang-kadang dengan menyebut-nyebut nama ayah mereka, yang memang semuanya sangat dikenal dan mengenal pendeta pensiunan yang guru agama itu.
.
Tapi pengajaran agama seperti itulah misalnya yang mengantarkan para pendeta Kondar Lumbantoran, Belsingk Sihombing, Aller Sihombing, Edison Lumbantoruan dan banyak pendeta HKBP sekurun-waktu (termasuk Dr. Situmorang tadi), yang dibina dengan amat keras tapi mesra oleh guru dan orangtua, yang bahkan mereka panggil ompung pendeta pendek itu. Ini amat mereka kenang jauh kemudian hari, terutama bila mereka bertemu dan bernostalgia dengan keturunan pendeta itu.
.
Demikianlah pendeta Albert akhirnya menjalani masa pensiun penuh setelah menjadi guru-jemaat dan guru sekolah-zcnding (kurun 1910-an), pendeta zending (kemudian menjadi HKBP) sampai tahun 1953, dan guru agama sekolah negeri sampai tahun 1959. Semua masa pelayanannya di ladang Tuhan berjumlah 49 tahun secara berkesinambungan.
.
Albert dan istrinya tidak pernah merisaukan uang pensiun dari "mantan zending" yang dulu merekrut dan diabdinya, dan HKBP sendiri. Meskipun dulu pernah membayar kontribusi bulanan untuk itu, masih dalam bentuk hard currency (uang bernilai "keras") pula, yakni gulden Belanda. Akumulasi kontribusi dana pensiun yang dibayarnya sampai dengan saat zending "gulung tikar," lenyap begitu saja di zaman ambil-alih zending oleh Batak-Nias Zending (BNZ), iembaga yang diciptakan sesaat oleh pemerintah kolonial Belanda. Lembaga itu kemudian menimbulkan kontroversi, dan langsung melahirkan HKBP yang ber-ephorus-kan pendeta pribumi pertama pada tahun 1940.
.
Kala Albert berpensiun penuh sebagai pendeta pada tahun 1953, sampai saat dipanggil Tuhan pada tahun 1969, tidak pernah ada pembayaran uang pensiun yang resmi dari HKBP untuk para pendetanya. Seingat anak-anaknya, hanya sekali setahun pendeta itu dikirimi oleh Kantor Pusat HKBP hepeng sipalas roha (harfiah: uang si pembikin hati senang) sebesar Rp.25.000, yang katanya untuk pembeli fagal (daging) Hari Natal dan Tahun Baru. Selebihnya, adalah dermawan dan pengusaha kondang T.D. Pardede yang selalu mengoleh-olehi para pendeta pensiun yang sudah amat uzur, masing-masing sebuah selimut setiap akhir tahun, dengan ucapan penghiburan masa-tua yang santun dan mesra. Konon, selimut itu diproduksi oleh pabrik tekstil milik Pak Pardede sendiri.
.
Pendeta Albert tidak pernah mengeluh tentang tidak adanya uang pensiun reguler dari HKBP di zaman itu. Bukankah kebetulan dia menerima uang pensiun dalam tingkat kepangkatan yang cukup lumayan sebagai guru agama di sekolah lanjutan menengah pemerintah? Para putra, putri bahkan cucu-cucu pendeta itu dianugerahi rezeki dan penghidupan yang cukup layak oleh Tuhan. ';Anak-anak kami itulah pensiun kami...," begitu selalu istri pendeta itu berucap atas pcrtanyaan orang lain tentang uang dan cara berpensiun mcreka di lingkungan HKBP.

Tidak ada komentar: