Sabtu, 03 Mei 2008

Pelayanan Kependetaan - Jemaat Muara

Pada bulan April 1943, pendeta Albert dimutasikan lagi. Sekali ini ke jemaat-induk Muara, yang juga berbatasan langsung dengan Paranginan dan Lintong Nihuta. Waktu itu jemaat induk Muara masih digabungkan dengan Bakkara. Karena itu, seluruh kawasan jemaat-layanan pendeta itu sangat luas. Mulai dari jemaat-cabang Bunturaja-Sitanggor yang berbatasan dengan Meat (Balige), sampai dengan jemaat Janjiraja yang berbatasan dengan Sabulan (Samosir). Mungkin hampir sepertiga panjang lilit pantai Danau Toba.
.
Jumlah seluruh jemaat layanannya kala itu sekitar 20 buah.Karena itu, pelayanan minggu kepada masing-masing jemaat cabang paling-paling hanya dapat dilakukan dua kali dalam setahun. Kecuali layanan yang dapat dilakukan pada hari kerja biasa, seperti pembtrkatan nikah misalnya. Meskipun pendeta itu sering dijemput dengan solu (perahu danau), dia lebih memilih berjalan kaki karena perasaan gamang naik perahu kecil. Namun pilihan itu tak bisa dilakukannya bila harus melayani jemaat Sibandang dan Papande yang memang terletak di dalam Pulo Pardopur (Sibandang).
.
Maraknya kembaii pemujaan berhala
.
Satu hal yang paling menyesakkan hati pendeta itu dalam pelayanannya di Muara persis pada zaman pendudukan Jepang, adalah kembaii maraknya praktek hasipelebe-guon (animisme). Menurut pengamatan, sebetulnya sampai dengan tahun 1940. banyak orang di kawasan Muara dan Bakkara yang masih terus mempraktekkan ritus-ritus "hasipelebeguon." Bahkan masih ada warga kawasan Muara yang hingga saat itu memang belum beragama Kristen. Keadaan kehidupan yang serba sulit dalam masa pendudukan Jepang semakin memancing banyaknya orang kembaii menyembah berhala di seluruh kawasan.
.
Beberapa kali dalam setiap bulan ada saja orang yang mengantarkanparsili ke sekitar godung. Baru di Muara ini pulalah keluarga pendeta itu mengenal dan menyaksikan apa sebenarnya "parsili", yang hanya pernah mereka dengar sebelumnya dari cerita orang lain, atau melalui bahan-bahan bacaan. "Parsili" adalah semacam orang-orangan yang digana (dibentuk atau diukir) dari bahan ubi besar atau hukkam (hati batang pisang) atau bahan sejenis lainnya yang lunak. Dengan tabas-tabas (mantra-mantra), yang dibacakan, panah kecil atau lidi ditusukkan ke bagian perut atau jantung gana-ganaan atau orang-orangan yang diukir. Menurut keyakman mereka, kalau parsili dimaksudkan untuk membunuh pendeta, guru atau anggota keluarganya, maka jantungnyalah yang akan pecah bila panah ditusukkan ke jantung patung orang-orangan itu.
.
Beberapa datu, terutama yang merupakan suhu para datu kecil setempat, sering datang menantang-nantang ke kompleks godung. Bila "kunjungan penghujatan" dilakukan pada pagi atau siang hari, para murid sekolah dan penduduk Lobutangga, kampung di sekitar gereja, akan berkelilmg menonton insiden yang terjadi. Penduduk sekitar amat suka ikut mainondur (menonton), bahkan sering pula ada di antara mereka yang justru "mengkipas-kipasi" sang datu agar hujatannya lebih seru.
.
Dengan iringan perangkat-kecil gendang oleh penginngnya, dalam suasana sangat magis, sang datu akan menari-nari atau bersikap seperti martnonsak (main pencak), sambil "memuntahkan" sumpah-serapah. Pakaiannya seram, serba hitam atau indigo. Sumpah-serapahnya konon ditumpahkan, karena "lahan pelayanannya" telah habis digarap oleh pendeta dan guru-guru jemaat bawahannya. Parsili lalu diletakkan. Biar pendeta dan guru-guru mampus, konon begitu kira-kira isi tonggo-tonggo atau doa sang datu.
Ternyata, ketika puluhan tahun kemudian penulis membaca bagian Berita tentang Muara dalam buku yang memberitakan pelayanan keperintisan para zendeling oleh penulis Jonathan T. Nommensen, sikap para datu dan penduduk Muara seperti itu sudah mulai dilakukan amat dini di zaman keperintisan. Diberitakan, bahwa kurun keperintisan di Muara sudah dimulai sekitar awal dasawarsa 1880-an. Berarti hampir enampupuh tahun kemudian, praktek dan sikap para datu di kawasan Muara kembali berulang. Ataukah memang masih terns berlangsung demikian setama enampuluh tahun itu, penulis kurang tahu.
.
Insiden pemanfaatan telor ayam yang sudah "dibuang"
.
Pada suatu siang, agaknya sumpah serapah seorang datu sudah begitu menggemuruh untuk dimuntahkan. Rupanya pagi itu sang pendeta dengan anak-anaknya yang terkecil pergi mandi ke Mual Sikkoru, sumber mata-atr yang amat jernih, jauh di kaki bukit. Dulu, para pendeta Jerman pernah membuat instalasi pipa saluran air-bersih dari sumber itu langsung ke godung, Lobutangga. Enaknya, dua-tiga kampung Lobutangga yang langsung berbatasan parik (dinding perkampungan) dengan godung, turut menikmati saluran "air PAM" yang gratis. Pendeta Jerman bahkan dapat membangun kolam ikan di samping rumah tinggalnya kala itu. Namun sejak para pendeta Jerman meninggalkan Muara, konon penduduk yang sebenarnya turut menikmati air itu sendirilah yang justru memotong-motong pipa itu supaya tidak bisa berfungsi. Contoh vandalisme dan elat (irihati) orang Batak yang terkenal!
.
Dalam peristiwa mandi pagi yang disebut di muka, pendeta dan anak-anaknya menemukan tiga butir telor ayam diletakkan orang persis di bagian hulu sumber kolam mata-air Mual Sikkoru. Anak-anak pendeta sedikit bergidik, karena tahu telor itu adalah persembahan kepada sombaon, yakni hantu penunggu mata air yang disembah. Tak urung, anak-anak pendeta terheran-heran ketika ayahnya memungut telor itu setelah mencek kesegarannya dengan "meneropongkannya" kepada sinar matahari. "Ini perbuatan orang bodoh...," kata pendeta itu.
.
Kebengalan sebagian penduduk Muara
.
Anak-anak Pendeta itu berkeberatan, bukan karena membawa Pulang telor ltu akan dianggap orang sebagai tindak pencurian, melainkan karena anggapan sifat magisnya saja. "ltu sudah dibuang orang; kita bukan mencurinya. Daripada terbuang percuma di situ, mari kita manfaatkan...," kata pendeta Albert kepada anak-anaknya. Ini kira-kira sama dengan persembahan ayam-putih, dengan ritus dilepas-bebaskan oleh seorang datu. Dan ayam seperti inilah yang kemudian kita kenal dengan ungkapan: "bebas burung"; artinya boleh ditangkap oleh siapa saja.
.
Mengetahui bahwa keluarga pendetalah yang mandi pagi itu di mata air, sang datu begitu murka menyumpah-nyumpah, biar segera mampus dimakan begu, karena berani "memungut" persembahan keramatnya kepada "sombaon" penunggu Mual Sikkoru. Dan ketika penulis semakin dewasa, sering mendengar bahwa para gembala sajapun sering bersukaria bila menemukan sesajen yang sudah "bebas burung" seperti itu dan memanfaatkannya, daripada terbuang percuma. Rupanya memang ada persamaan ketidak-percayaan kepada kuasa berhala antara sang pendeta dan para gembala itu.
.
Selain kendala paraktek "hasipelebeguon" yang masih marak. kala itu, masalah lain yang amat dikeluhkan keluarga pendeta Albert dalam pelayanannya selama di jemaat Muara adalah soal hajungkaton (harfiah: kenakalan) banyak warga jemaatnya, terutama yang bermukim di sekitar jemaat-induk, Lobutangga dan kampung Silalitoruan. Perihal "jungkat"-nya orang Muara, sebenarnya sudah banyak didengar dan diketahui oleh keluarga pendeta itu lebih dahulu melalui bacaan atas laporan-laporan zending masa lalu, sebelum mereka pindah ke sana.
.
Para zendeling pendahulu banyak memberitakan itu, sejak dari insiden pembakaran ruinah zendeling Bonn di godung Muara masih di sekitar tahun 1883. Nyawa tuan Bonn dan nyonya kala itu dapat diselamatfcan dari marabahaya ancaman penduduk setempat, hanya karena berhasil dijemput dan diselamatkan pada waktu yang sangat tepat oleh 0. Raja Huksa (Rajagukguk) dari Pulo Sibandang. Sejak itu, untuk waktu yang cukup lama, pos-penginjilan Muara hanya ditempati oleh para evangelis saja. Itupun lebih sering hanya merupakan kunjungan pelayanan sesaat-sesaat, bukan menetap.
.
Baru menjelang awal abad ke 20 pos Muara kembali diisi oleh pelayan tetap, terutama setelah zending menghasilkan pendeta-pendeta pribumi keiompok pemula. Cukup bijak, Ephorus Nommensen kemudian menempatkan seorang pelayan bermarga Siregar, yang sebenarnya bukan putra asli Muara, melainkan Angkola. Dia adalah pendeta Johannes Siregar. Johannes adalah pendeta pribumi dari angkatan pertama, tahun 1885, yang dipindahkan dari jemaat Banuarea menjadi pendeta pribumi pertama untuk Muara. Seperti diketahui, kawasan Muara ini dihuni oleh banyak sekali turunan marga Siregar. Namun tidaklah berarti "hajungkaton" kebanyakan orang Muara langsung berubah dengan pcnempatan pendeta Johannes, sepupu-jauh mereka, ke jemaat Muara pada masa dini itu. Bagi banyak warga Muara kala itu, eksistensi zending dan para pelayannya di sana harus terns diusik bahkan dimusuhi.
.
Sisa-sisa sikap seperti itulah yang masih dihadapi oleh keluarga pendeta Albert ketika bertugas pelayanan ke sana, sudah pada tahun 1943, enampuluh tahun setelah pengejaran dan pembakaran rumah tuan Bonn di tahun 1883. Sebagai suatu pembandingan tentang situasi resort Muara dan pengalaman pelayanan pendeta Albert persis 60 tahun kemudian, dengan rencana penangkapan dan pengejaran yang dilakukan penduduk itu kepada tuan dan nyonya Bonn di tahun 1883, inilah yang diberitakan Ephorus Justin Sihombing dalam buku5araf«.y Taon Huria Kristen Batak Protestan yang sudah banyak diacu di muka:
.
Pada bulan Februari 1883 tuan Bonn resmi dikukuhkan (Batak: diojakhon) di Muara. Namun tuan itu selalu di-"usili" oleh penduduk setempat. Mereka sesuka hati masuk ke rumah tuan itu, memegang-megangi semua barangnya, dan meludahkan air sirih mereka dalam rumah itu. Namun tuan dan nyonya itu tetap bersabar menahan diri menghadapi tingkah laku mereka. Pada suatu hari datang seorang datu berdiri di halaman runjah, lain tuan itu dan rumahnya dihujatnya (Batak: diburai) dan semua yang hadir bersorak-sorak gembira, lalu hendak merobohkan rumah itu ..,, dst. (diterjemahkan penulis dari aslinya dalam bahasa Batak).
.
Dalam satu-dua tahun pertama pelayanan pendeta Albert di Muara, hampir tidak ada perkunjungannya keluar dari kompleks godung yang tidak diusili oleh anak-anak dan remaja. Mereka selalu saja melempari pendeta itu dari tempat-tempat tersembunyi, meneriakkan kata-kata kotor yang tidak layak diucapkan oleh anak-anak remaja kepada orangtua. Pendeta itu sudah bercucu banyak kala itu, dan akan menjalani masa pensiun setelah menuntaskan pelayanan di sana.
.
Semua pelayan zending diberi nama rekayasa pelecehan
.
Pada mulanya keluara Pendeta Aibert Mengira semua insiden seperit yang disebutkan di atas hanyalah karena kenakalan kaum remaja saja. Tapi kemudian dapat diketahui, bahwa justru orang-orang dewasalah yang mem-provokasi para remaja melakukan kenakalan seperti itu. Pada suatu waktu, putra bungsu pendeta itu dicegat dengan sangat kasar di tengah jalan ketika akan pulang dari sekolahnya di pasar Muara. Anak kecil berumur tujuh tahun itu amat gugup dan ketakutan diperlakukan dengan kasar oleh orang-orang devvasa, yang kebanyakan sudah bapak-bapak. Dia diberondong dengan pertanyaan, pelecehan dan sindiran seperti: "Oh, jadi kau anak Pendeta 'Paodong' itu ya...," dst.
.
Anak bungsu pendeta Albert tidak tahu apa arti nama yang diberondongkan kepadanya. Menangis-nangis, anak kecil itu menjumpai ibunya di godung karena mendapat perlakuan kasar itu, dan bertanya kenapa orang-orang nakal di jalan menyebut ayahnya dengan nama lain yang "jelek"(?), yang tak pernah dia dcngar sebelumnya. Ibunya tak pernah memberi jawaban yang jelas. Kakak-kakaknya hanya menduga, mungkin itulah "nama sipelebegu" ayah mereka sebelum masuk Kristen dan menerima baptisan. Jadi orang Muara itu sengaja mencari-cari tahu "nama jelek" untuk "disapakan" kepada para pelayan zending di sana, hanya dengan tujuan pelecehan dan ejekan. Bahkan mungkin "nama lain" yang disindirkan kepada sipurra bungsu bukanlah nama-Batak asli pendeta itu, melainkan hanya nama rekayasa orang-orang bengal itu sendiri.
.
Belakangan, nama lain yang mereka berikan untuk pendeta Albert adalah "Pendeta Pendek," yang tujuannya juga suatu pelecehan. Barangkali ejekan itu masih lumayan kurang menyakitkan hati, ketimbang nama pendeta lain yang digantinya, yang mereka sebut "Pandita Sirepak," karena beliau itu pincang (repak = pincang). Seorang guru jemaat mendapat nama pelecehan "Guru Sibarung", karena leher beliau memang agak tinggi (panjang) seperti Cleopatra yang konon sangat cantik. (Sibarung adalah istilah Batak untuk burung bangau yang berparuh panjang). Puluhan gelar pelecehan juga diterima oleh para guru sekolah lainnya, termasuk yang bukan menjalankan tugas guru jemaat. Rupanya karakter bengal masyarakat seperti itu bukan hanya monopoli orang Butar saja di era 1880-an (lihat Bab III, Bagian Pertama buku ini).
.
Beberapa putra Muara di zaman modern ini
.
Jauh kemudian hari, bila putra-putn pendeta Albert bertemu dan bernostalgia dengan orang Muara dan mengungkit kembau nostalgia tentang hajungkaton orang Muara, eksponen generasi itu selalu malu-malu kucing berargumentasi. Mereka katakan bahwa tidak semua orang Muara mempunyai perangai yang "jungkat". Memang, dari warga jemaat-jemaat cabang, cukup banyak yang amat menaruh hormat kepada keluarga pendeta Albert dan para pelayan zending lainnya.
.
Sebenarnya yang paling "jungkat" itu terutama adalah yang dari kawasan jemaat induk (godung), dengan kampung-kampung intinya bernama Lobutangga, Silalitoruan dan Simatalo. Namun mereka tak menyangkal bahwa ada juga orang di jemaat-jemaat cabang yang berprilaku "jungkat", walaupun tak banyak. Putra-putri pendeta itu yang langsung turut mengikuti pelayanan ayahnya selama hampir lima tahun di Muara, agaknya dapat membenarkan argumentasi beberapa rekan generasi pelanjut Muara itu.
.
Tak urung, dengan pahit-getir dan suka-duka pengalaman keluarga pendeta Albert di jemaat Muara, tiga dari delapan orang putrinya ternyata dilamar dan menikah dengan putra-putra kawasan itu, masih ketika pendeta itu melayani di sana. Pelayanan dini zending dan yang dilanjutkan oleh pendetaAlbert pada kurun 1943 sampai 1948, akhirnya cukup berbuah. Antara lain yang mungkin dapat disebutkan adalah almarhum Letjen. (Purn.) Adolf Sahala Rajagukguk dari jemaat-cabang Huta Lontung. Menurut tahun kelahirannya dan tahun masa pelayanan pendeta itu, sangat boleh jadi baptisan Sahala dilayani oleh pendeta itu, bila orangtuanya masih bermukim di Huta Lontung kala itu. Kakek Sahala sendiri, raja-ihutanJohannes Partahan Batu dari kawasan Huta Lontung, besahabat cukup kental dengan keluarga pendeta itu. Seorang keturunannya yang lain ialah Humala Rajagukguk S.H., mantan pejabat tinggi pada Departemen Keuangan R.I.
.
Kelak di tahun 1970-an, seorang cucu perempuan raja itu mengatakan kepada salah seorang putra pendeta Albert, ketika "ompung" (maksudnya pendeta itu) akan pindah dari Muara, keluarga merekalah yang mendapat hibah lemari besar pendeta itu yang tidak akan dibawa pindah. Tentu saja maksud cucu raja itu, keluarga pendeta itu mendapat sekedar penggantian uang, tapi tidak disebut sebagai uang pembelian, melainkan "uang sangu" bagi keluarga sahabat yang akan pindah. Itulah antara lain sisi persahabatan yang tulus dengan warga Muara, yang antara lain dapat dikenang.
.
Seorang putra Muara yang lain dan dapat ditelusuri penulis dari masa pelayanan pendeta itu, adalah almruhum Sintua Martua Rajagukguk S.H., keturunan raja Ompu Sorta Uluan dari Pulau Sibandang. Kebetulan Martua adalah adik-sepupu salah seorang menantu pendeta itu. Kelak, Martua dikenal warga HKBP menjadi anggota Majelis Pusat untuk beberapa periode, yang turut aktif dalam penyelesaian berbagai kemelut yang sering terjadi dari kurun 1974 sampai 1990-an.
.
Di antara beberapa pendeta putra ressort Muara yang dapat dilacak oleh penulis, antara lain adalah Praeses Hendrik Rajagukguk, ayahanda Pdt. Dr. Robinson Rajagukguk, yang mantan Ketua STT HKBP Pematang Siantar. Praeses Jalongos Manullang MTh adalah juga putra seorang sintua dari jemaat-cabang Untemungkur. Dapat pula disebutkan nama salah satu putra jemaat-cabang Untemungkur lainnya, St. Rajani Simatupang S.H., seorang pensiunan jaksa tinggi, untuk menyebut hanya beberapa di antara para putra resort Muara dari zaman kepelayanan pendeta Albert di sana.

Tidak ada komentar: