Sabtu, 03 Mei 2008

Pelayanan Kependetaan - Jemaat Parsambilan - Toba Habinsaran

Dilihat dari segi pelayanan, resort yang baru ditempati pendeta Albert ini dapat dikatakan sangat luas. Sebagian besar medannya sangat sulit dijelajah kala itu. Di sinipun, pendeta Albert dapat dikatakan bertugas "mengawal" tuan Weissenbruch, zendeling muda yang berkedudukan sebagai pendeta resort di jemaat-induk Sitorang. Secara praktis, jemaat Sitorang dan Parsambilan, tempat kedudukannya yang dekat, disatukan dalam satu resort pelayanan yang dipimpin oleh sang zendeling, dengan pendampingan pendeta-pribumi, Albert.
.
Proses historis jemaat induk parsabilan
.
Sebenarnya, pada mulanya jemaat Parsambilan den£an kedudukan induk resort di godung Losung Batu, adalah tempat kedudukan seorang zendeling Jerman, sama seperti jemaat tetangganya, Sitorang. Pada dasawarsa 1890-an, untuk pertama kali Ephorus Nommensen sudah menempatkan seorang zendeling ke Parsambilan, yakni George Yung, yang lebih tersqhor dikenal warganya dengan sapaan tuan Jung. Zendeling inilah yang menerima tanah-hibah yang cukup luas dari raja-raja kawasan Parsambilan, yakni Raja Punsaha Langit dan kedua adiknya Raja Puniahi dan Raja Patugaram bermarga Sitorus. Ketiga mcreka adalah keturunan langsung dari Raja Sigodangtua, cucu Raja Matasopiak, melalui putranya Raja Manjunjung.
.
Konon, sebelum tanah pertapakan godung Parsambilan dihibahkan oleh kakak-beradik Raja Punsaha Langit kepada tuan Jung, terlebih dahulu dilakukan semacam dialog-tarung "adu ilmu" antara kcdua belah fihak. "Kasus" Parsambilan atau Losungbatu ini tidaklah perlu mengherankan bagi pembaca, karena hampir semua raja Batak zaman keperintisan melakukannya kepada Nommensen atau rekan-rekan zendelingnya.
.
Kasus seperti itu juga cukup dikenal misalnya dalam sejarah pengembangan pemberitaan Injil di kawasan Asahan Hulu (baca: Batak Pardembanan). Bahwa debat "adu ilmu" yang sama, bukan tak dilakukan oleh Tuan Nagori Manurung kepada para evangelis Batakmission yang mencoba menginjili kawasan itu sebelum kedatangan misi Methodist ke sana kemudian.
.
Konon, dalam "encounter" (persinggungan) pertamanya, Nagori menantang, apakah para evangelis dapat menyebutkan dengan tepat jumlah daun yang berguguran dari pohon-pohon sekitar tempat mereka sedang melakukan dialog. Dipimpin oleh hikmat-kebijakan dari Allah Bapa, para evangelis itu menjawab: "Akh itu bisa saja rajanami (bapak raja); tolonglah raja menyuruh berhenti angin yang sedang bcrtiup, supaya kami dapat memberitahukan dengan tepat jumlah semua daun yang sudah gugur itu."
.
Tidak diberitakan lebih lanjut bagaimana dialog-tarung itu berakhir. Tapi yang pasti, ketujuh kampung Batak Pardembanan kemudian menjadi warga protestan-Methodist generasi pertama di kawasan itu, sejak dari awal dasawarsa 1920-an. (Tentang lika-liku proses pcnginjilan oleh misi Methodist Episcopal Church kepada warga Batak Pardembanan, dapat pembaca simak lebih rinci pada kedua buku, Tahbssan Istimewa dan Arga Do Bona Ni Pinasa, yang merupakan seri-trilogi dengan buku ini).
.
Lahan pertaman gereja yang mencukupkan nafkah hidup
.
Tanah pertapakan godung yang dihibahkan oleh kakak-beradik Raja Punsaha Langit Sitorus di Losungbatu, ternyata cukup luas. Lahan itu terdiri dari tanah darat untuk bangunan-bangunan milik zending dan kebun, serta tanah sawah untuk digarap pendeta dan guru-guru zending yang kemudian ditugas-kan melayani di sana. Kelak sejarah zending mencatat bahwa pargodungan (komplek gereja yang juga mengandung tanah-sawah) Losungbatu adalah salah satu di antara milik zending yang paling luas di Tanah Batak.
.
Notasi dalam memoirs pendeta Albert menyebutkan bahwa begitu luasnya kebun dan tanah-sawah zending yang digarap oleh keluarganya, sampai-sampai mereka dapat memelihara 500 ekor itik. Ratusan itik itu cukup dilepas begitu saja seusai panen pada areal sawah zending dan sawah tetangga yang amat luas sekitar godung, dan sore hari akan kembali sendiri ke kandang untuk bertelur. Sekali ini, agaknya zendeling atasannya, Weissenbruch di Sitorang, tidak merasa perlu mela-porkan keluarga pendeta bawahannya itu sebagai "terlalu gesit melakukan usaha sampingan untuk mencari uang tambahan," sepcrti kasus Bams yang diberitakan di muka. Karena justru para zendeling itulah yang sangat mendorong pengerja-pribuminya bertani, tapi bukan berkebun komersial.
.
Karena itu, ratusan telor bebek dipasok istri pendeta itu setiap hari ke asrama-asrama polisi dan sekolah HIS di Narumonda dan pekan Porsea. Tak urung, penghasilan sampingan itu cukup berarti menambah jumlah gajinya yang tak seberapa (hanya f.40 per-bulan), untuk membiaya sekolah putra sulungnya, yang mulai tahun 1930-an sudah diutus ke HIK Kristen, Solo, dengan biaya bulanan tak kurang dari f.25.
.
Lahan bekas markas Pidari?
.
Kembali kepada soal penghibahan lahan yang luas kepada zending di Losung Batu. Tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada Raja Punsaha Langit dan adik-adiknya atas kemurahan hati mereka, perlu dicatat bahwa ternyata tradisi temurun keluarga-besarnya sendiri menyatakan bahwa sebelumnya lahan itu adalah kompleks parsombaonan. Maksudnya, lahan itu sangat angker, karena berupa tempat pemujaan dan bersemayam para roh nenek-moyang danbegu, yakni segala macam jin, hantu dan yang sejenisnya. Pendeta Albert sendiri juga menyinggung sedikit mcngenai hal ankernya "parsombaonan" itu dalam memoirs-nya, yang dikaitkan dengan caranya membimbing putra sulungnya dan warga setempat untuk tidak percaya, atau tidak takut lagi kepada segala macam hantu, seperti akan diberitakan pada bagian lanjutan.
.
Lebih jauh tentang tanah hibah "pargodungan" itu, penulis sendiri mempunyai satu analisa khusus perihal kemungkinan kaitan latar-belakangnya yang lain. Ada kemungkinan, lahan itu memang telah ditelantarkan oleh keluarga-besar pemiliknya, karena sudah menjadi angker sebagai akibat bekas lokasi "pembantaian" tawanan oleh pasukan kaum Pidari yang menginvasi dan menduduki Tanah Batak di sekitar dasawarsa 1820-an.
.
Status lokasi tanah hibah seperti ini di Bungabondar (Angkola), Pearaja ian Sigompulon (Silindung), serta Butar di Humbang, sudah menunjukkan fakta sebagai tempat "parsombaonan," seperti diberitakan pada Bagian Pertama. Telah Jisinggung pula pada Bagian Pertama, bahwa kawasan Toba Habinsaran, termasuk Parsambilan, adalah jalur lintasan serbuan pasukan Pidari yang dipimpin oleh para komandannya, Tuanku Asahan (Mansyur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang) dan Zulkarnain Aritonang, yang naik menyerang dari Bandar Pulau, dan tembus ke Porsea melalui Parsambilan. Telah diberitakan pula, bahwa tukang-bantai yang paling keji di antara semua komandan pasukan Pidari bergelar "tuanku" itu, adalah Tuanku Lelo (Nasution), yang memang bermarkas di Toba Holbung dan malang-melintang melakukan perampokan, perkosaan dan pembunuhan yang amat mengerikan.
.
Setelah menerima hibah tanah Parsambilan itu, zendeling Yung mulai membangun kompleks "godung" Losungbatu yang sangat luas dan asri. Keindahannya masih terlihat hingga sekarang. Apalagi karena di sampingnya kini berdiri dengan megah jabu parsantian (rumah gadang) milik pengusaha tenar R.D.L. Sitorus, Kemudian, para zendeling yang pernah melayani Parsambilan secara berturut-turut adalah tuan Gerike, yang dipindahkan dari Nainggolan, Samosir; Beisenherz (1910) yang melayani hanya sebentar saja, karena dipindahkan lagi ke Pansur Napitu. Pos Losungbatu kemudian kcmbali ditempati oleh tuan Jung; dan akhirnya, menjelang dihapuskan sebagai tempat kedudukan zendeling, ditempati oleh zendeling William Heibach yang kemudian dipindahkan ke Barus.
.
Status unik resort Parsambilanan akibat Program
.
Melalui sebuah peraturan reorganisasi zending atas prakarsa petinggi RMG di Barmen pada tahun 1910, beberapa jemaat pelayanan zendeling dalam jarak yang dianggap "terlalu berdekatan," cukup digabung-gabungkan menjadi satu. Sejalan dengan kebijakan itu pula, sistem "distrik" diperkenalkan dan diberlakukan. Sejak tahun 1911 Distrik Toba dibentuk, dan dipimpin oleh praeses Meerwaldt. Tempat kedudukan zendeling di kawasan Toba Habinsaran yang digabungkan itu, ditetapkan di Sitorang yang amat dekat dengan godung Losungbatu.
.
Karena itu, untuk pertama kali pada tahun 1911, jemaat Losungbatu itu ditetapkan bukan lagi berstatus resort, dalam pengertian yang dipimpin oleh seorang zendeling. Meskipun demikian, jemaat Losungbatu masih tetap membawahi atau mengkoordinasi banyak huria pagaran (jemaat cabang) lainnya, di luar yang masuk ke jemaat-induk Sitorang. Yang ditetapkan akan memimpin jemaat-induk Losungbatu sejak reorganisasi itu adalah seorang "hulp-zendeling" alias pembantu-zendeling atau pendeta-pribumi.
.
Pendeta pribumi pertama menduduki pos yang ditinggalkan oleh zendeling Yung itu adalah Josua Hutabarat, alumnus angkatan ke-III, tahun 1889-1891. Sehubungan dengan kepedihan hati keluarga pendeta itu karena pembakaran rumah-dinasnya pada tahun 1916 (lihat Bab I Bagian Kedua di muka), kemudian tugas-pelayanannya digantikan oleh pendeta Benoni Simanjuntak, dari tahbisan angkatan ke VII, 1915-1917. Dan pendeta Benoni inilah yang digantikan oleh pendeta Albert, yang lebih junior tiga angkatan, di godung Losungbatu mulai bulan Januari 1926.
.
Karena tidak diadakan pembagian garis wilayah yang resmi antara zendeling Weissenbruch di "godung" Sitorang dan pendeta Albert di "godung" Parsambilan, maka praktis pendeta-pribumi itu juga melakukan sebagian pelayanan dalam jurisdiksi tanggungjawab zendeling "atasannya." Berarti, jemaat-jemaat yang ikut dilayaninya adalah semua jemaat-cabang di kawasan Sitorang, Parsam¬bilan, Parsoburan. sampai ke Borbor. Kala itu, semua jemaat di Parsoburan sampai ke Borbor masih menyatu dalam satu jemaat-induk besar Losungbatu, tapi disupervisi oleh seorang hulp-zendeling saja. Menurut notasi-pelayanan pendeta itu, di antara jemaat-jemaat cabang yang pernah turut dilayani olehnya dalam resort maha-luas itu, antara lain adalah:
.
Sitorang, Silaen, Lumban Lintong, Batugaja, Natolutali, Sibide, Losungbatu, Pintubatu, Sitnanobak, Parsoburan, Lumban Pinasa, Lintong, Lumban Balik, Batu Manumpak, Dolok Nauli, Lobu Dapdap, Lumban Ran, Natumingka, Tor Ganjang, Lobu Hole, Pangururan (bukan Samosir), Pintubatu, Siringkiron, Hite Tano, Tangga, Borbor dan beberapa lainnya.
.
Jemaat Parsoburan yang kini sudah menjadi jemaat-induk, begitu juga jemaat Borbor, masih cukup lama, atau sekitar 5 tahun lagi terus dilayani oleh pendeta Albert dari godung Losungbatu. Barulah pada awal tahun 1930, Parsoburan mulai memperoleh pendeta-pelayannya sendiri, yakni Jason Simatupang, yang memperoleh tahbisan pada angkatan ke-XII, akhir tahun 1929. Nama semua jemaat-cabang yang disebutkan di muka, diberitakan dengan rinci oleh pendeta Albert dalam buku memoirs-nya.
.
Pengalaman pendahuluan
.
Cukup banyak pengalaman pelayanan-berkem-bang yang dicatat oleh pendeta Albert selama lebih dclapan tahun pelayanannya di Parsambilan, yakni dan tahun 1926-1934. Sebelum tiba di sana, eksistensi jemaat ini sudah pernah didengarnya melalui kakak-iparnya yang tertua, pendeta Josua Hutabarat, yang rumah dinasnya dibakar oleh orang yang membenci zending sepuluh tahun sebelumnya, yakni 1916. Menurut catatan harian kedua pendeta yang berkakak-ipar itu, pada masa pelayanan masing-masing, masih cukup banyak warga jemaat yang praktis hanya mengikuti "mode" tercacat sebagai orang Kristen, tapi sangat jarang berkebaktian ke gereja. Bahkan yang sudah menjadi sintua juga banyak yang malas ke gereja. Praktek hasipelebeguon (animisme) masih sangat kuat dan merata di setiap kampung.
.
Kebetulan agama-agama suku seperti Parbaringin, dan agama-khusus yang dikembangkan oleh Guru Somalaing Pardede (entah apa nama agama itu dia sebut), dan lain-Iain yang sejenis, masih sangat, kuat tumbuh di kawasan itu. Banyak sekali "datu" (dukun) "melayani" di setiap kampung. Di antara para dukun banyak yang memelihara "black magic" (ilmu hitam), ilmu tenung, pengadaan racun dan gadam, yakni ramuan pembuat sekujur tubuh orang yang digadam menjadi gatal-gatal bernanah, terkadang sampai meleleh.
.
Para datu itu bahkan sering datang "berkunjung" ke godung, untuk menantang-nantangkan ilmunya kepada pak kanjita penghuninya. Dalam memoirs-nya, pendeta Albert menerangkan dengan lucu, bahwa istilah "kanjita" itu digunakan oleh sebagian penduduk Toba Habinsaran setempat, yang maksudnya adalah pandita atau pendeta, agak berkonotasi pelecehan. Tentang segala sesuatu yang berbau mistik dan kekuatan supra-natural di zaman bahari, kawasan Toba Habinsaran inilah yang sering diberita-beritakan orang sebagai negeri^/1 pahabang losung (yang mampu menerbangkan lesung sebagai alat untuk menyerang musuh di kampungnya).
.
Buklet Pillit ma Hangoluan i, yang disajikan oleh panitianya dalam rangka Pesta Jubiluem 100 Tahun HKBP Losungbatu pada tahun 1992, menyajikan Bagian ke-III dengan judul Parheheon, Hahihinsat, Lam Magodang (1911-1939). Tahun 1911 yang dimaksud oleh tim-penulisnya adalah persis tahun penghapusan kedudukan zendeling di Losungbatu, dan menjadi dilayani oleh pendeta-pribumi pertama, Josua Hutabarat, yang kebetulan adalah abang-ipar tertua pendeta Albert. Dan tahun 1926 sampai dengan 1934 dalam periode yang menjadi sub-judul bagian tersebut di atas, adalah periode yang dilayani oleh pendeta Albert sendiri. Karena itu, kesaksian Panitia Sejarah dalam buklet tersebut, sudah cukup menunjukkan bakti pelayanan kedua pendeta yang beripar itu, terutama pendeta Albert yang melayani cukup lama, yakni 8 tahun 3 bulan di jemaat induk Losung Batu.
.
Metode yang sangat berani
.
Pendeta Albert mempunyai satu metode yang amat berani untuk menaklukkan para datu yang berkarya "negatif' (black magic). Dalam rapat majelis yang dipimpinnya, diambil sebuah keputuskan bersama dengan para guru-jemaat dan sintua, untuk menghancurkan uti-utian (segala perangkat milik datu) yang negatif di kampung-kampung sekitar, secara bertahap. Setiap selesai kebaktian minggu, pendeta Albert menanyakan kepada guru-jemaat, giliran ke kampung mana mcrcka pad a minggu-siang itu untuk membujuk datu setempat agar mau menghancurkan uti-utian hadatuon miliknya. Begitu sampai di kampung yang dituju, rombongan pendeta itu mengucapkan kata-kata kulo nuwun (Jawa: permisi dengan sopan santun), dan mengajak sang datu berdialog, yang berakhir dengan bujukan supaya bersedia membuang "uti-utian" penghancur bersifat negatif yang dipeliharanya.
.
Cukup banyak datu yang akhirnya mau "tunduk" kepada bujuk-rayu itu secara suka-rela. Sebagai imbalan, dua-tiga minggu kemudian rombongan pendeta itu menawarkan, kalau-kalau ada di antara putra atau kerabat dekat sang datu yang layak diajak untuk menjadi calon "sintua." Umumnya metode ini sangat efektif meredam pengulangan praktek "hadatuon" (kedatuan) oleh dukun yang bersangkutan. Salah satu guru jemaat-induk Parsambilan yang terkenal amat gesit dan berdedikasi pelayanan yang cukup tinggi dalam kurun waktu itu adalah Luther Simanjuntak. Seorang guru lainnya adalah Philemon Napitupulu. Seorang putra guru Philemon kelak tamat dari sekolah dokter hewan di Bogor di penghujung dasawarsa 1930-an.
.
Yang cukup dramatis adalah ajakan, atau lebih tepat instruksi, pendeta Albert kepada para "sintua" dan guru yang datang bersamanya, supaya memanjat para-para (bagian ruang atas-depan) sopo atau rumah sang datu yang tidak bersedia membuang aji-ajiannya. Para "sintua" yang muda-muda naik ke para-para, mencari dan menemukan perangkat milik datu, menjatuhkan ke bawah dan mengumpulkannya di tengah halaman kampung yang luas. Lalu mereka memba-karnya secara dramatis.
.
Sebenaraya mereka menyadari bahwa tindakan seperti itu adalah merusak, dan melanggar hak azazi orang lain menurut kriteria yang dikenal di zaman modem. Tapi dengan keyakinan bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh datu pemegang aji-aji penghancur mungkin lebih dahsyat, maka rombongan pendeta itu bcrani melakukannya. Lagi pula, kala itu pemerintah kolonial juga sudah melarang praktek "hadatuon yang bersifat penghancur" alias "black magic". Dengan kehadiran polisi yang dekat di Porsea dan Silaen, mereka cukup berani melakukan penghancuran perangkat datu yang punya daya penghancur, dan tetap "membangkang."
.
Kelak, St. Titnbul Sitorus, seorang putra jemaat-induk Losungbatu yang cukup terkemuka di rantau, pernah menjelaskan secara lisan kepada penulis, begini:
.
Sejak sekitar tahun 1936, yang bernama rasun (racun), dorma (pelet) dan homitan (jimat-jimat simpanan) boleh dikatakan sudah hapus dari kalangan warga Sitorus Parsambilan.
.
Bila catatan kurun-waktu dalam pernyataan itu cukup akurat, tidak dapat disangkal lagi bahwa tahun 1936 itu adalah kurang dari dua tahun setelah pendeta Albert meninggalkan jemat itu, setelah dilayaninya selama 8 tahun 3 bulan. Dengan kata lain, bagian terbesar dari upaya memerangi "praktek animisme" di kawasan
Parsambilan itu adalah karya pelayanan pendeta Albert bersama jajaran pelayan yang dipimpinnya.
.
Mendidik para sintua supaya menjalankan tugas pelayanan
.
Ada sebuah cacatan yang unik dan lucu dalam memoirs pendeta mi, yakni mengenai caranya membuat para sintua-nya jera atau malas datang mengikuti sermon mingguan. (Sermon adalah pembahasan Firman Tuhan yang akan dikhotbahkan pada hari Minggu yang berikut, dan sekaligus menjadi rapat-kecil rutin, membicarakan berbagai pelayanan pada Minggu yang akan berjalan). Pada mulanya, secara demoktratis pendeta itu, menanyakan pendapat para sintuanya, tcntang hukuman apa yang terbaik dijatuhkan oleh "devvan majelis jemaat" kepada sintua yang sering mangkir mengikuti sermon. Suatu cara cepat mereka temukan. Memberlakukan denda satu benggol (dua-setengah sen) untuk sekali mangkir. Akumulasi uang denda itu mereka sepakati akan digunakan untuk konsumsi dewan majelis sendiri.
.
Ternyata cara ini tidak efektif. Banyak sintua yang dengan senang hati dan enteng saja membayar dendanya, yang mungkin dirasakannya tidak terlalu berat. Mengenakan jumlah denda lebih besar, dirasakan oleh pendeta itu kurang etis, dan bukan jalan penyelesaian terbaik. Pendeta itu lalu menemukan satu cara baru, dan melemparkan gagasannya itu kepada dewan.
.
Aturan mainnya: Sermon minggu berikutnya akan dilakukan di kampung dan nun ah sintua pe-mangkir pada minggu sebelumnya. Setelah dilaksanakan beberapa kali, para sintua itu merasa jera menjadi tuan rumah sermon majelis yang harus dilakukan di rumahnya. Apalagi karena orang sekampungnya juga tahu bahwa itu merupakan hukuman baginya. Sintua lain, yang rajin, juga amat keberatan kalau harus mengikuti sermon di kampung sintua "terhukum," yang mungkin justru membuat perjalanannya lebih jauh dan sukar dicapai. Bukankah mereka harus menyusuri pematang sawah untuk sampai ke kampung beberapa rekan sintua? Dalam catatan hariannya Albert berkomentar lucu: Para sintua pemalas itu akhirnya jera dan minta ampun ke hadapan sermon majelis.
.
Metode pelayanan untuk jemaat cabang
.
Berbagai cara dilakukan oleh pendeta Albert untuk mengembangkan pelayanannya pada jemaat-induk yang sangat luas dan masih "tertidur" kala itu (istilah yang digunakan pendeta Albert: huria na tarpedem}. Bila pada suatu hari Minggu pelayanan akan diadakan di jemaat X yang amat jauh, dan harus melewati tiga atau empat jemaat dari "godung" Parsambilan, maka hari keberangkatan pendeta itu dimulai pada hari Selasan. Pada malam hari Selasa dia singgah di jemaat A, dan men gad akan evangelisasi pada malam harinya di salah satu kampung di sana (dilakukan secara bergiliran dalam proses bertahun-tahun). Demikian pula diteruskan pada hari Rabu, Kamis dan Jumat di jemaat B, C dan D. Tepat hari Sabtu malam, evange-lisasi diadakan di jemaat X yang dituju, karena besoknya, di jemaat itu, akan diadakan kebaktian sakramen, baptisan atau perjamuan kudus.
.
Mangara Santun (83 tahun pada 2000), putra sulung pendeta Albert, pernah menceritakan bahwa ayahnya itu bahkan sering langsung berminggu-minggu tinggal untuk melayani secara berkesinambungan dan berpindah-pindah pada jemaat-jemaat cabang yang cukup jauh dari godung Parsambilan. Begitulah pendeta zaman keperintisan dulu mengatur waktu pelayanannya secara seimbang untuk jemaat-induk dan jemaat-jemaat cabang yang jumlahnya bisa sampai puluhan.
.
Pendeta itu akan sengaja memilih sorang (bertamu untuk bermalam) di rumah salah satu keluarga di kampung jemaat cabang itu seusai kebaktian evangelisasi pada malam hari. Dengan amat santun biasanya nyonyzsoranganna (tuan rumah yang menjamunya) akan menyajikan ulos Batak (kain tenunan Batak) beberapa lembar untuk dilapis-lapiskan menyelimuti pendeta itu dalam tidurnya, pada dingin malam yang amat menggigit di kawasan Toba Habinsaran bagian hulu. Jadi itulah antara-lain fungsi "ulos" sejak zaman bahari, yang di zaman modern diributkan oleh segelintir orang Batak sendiri sebagai "benda yang diberhalakan." Suatu sikap iman yang amat keliru! Dia lupa bahwa kakek-moyangnya dulu bahkan sangat susah untuk memiliki satu-dua lembar ulospun.
.
Hampir dimangsa harimau
.
Tantangan kesulitan fisik bukan tak banyak dialami oleh pendeta Albert selama melayani di Toba Habinsaran ini. Pada suatu hari minggu sore, kuda tunggangannya lari terbirit-bint melalui kampung-kampung yang masih berjarak kurang-lebih 15 kilometer dari godung Parsambilan. Orang-orang di kedai pinggir jalan itu yakin bahwa pendeta mereka sudah dimangsa harimau. Pendeta itu kebetulan pulang dari pelayanannya di jemaat Tangga (kawasan Sampuran Siarimo) yang amat terjal dan terpencil. Di kawasan itu harimau masih amat banyak berkeliaran.
.
Rupanya sang harimau sebenarnya mengincar kuda pak pendeta. Tapi karena lompatan harimau dilakukan dari tempat yang lebih tinggi dan cukup curam, sementara kuda pendeta itu memang sudah punya firasat dan berancang-ancang untuk lari menghindar, terkamannya meleset. Konon, hampir semua hewan besar punya firasat dan penciuman tajam tentang datangnya bahaya terkaman harimau. Ternyata pak pendeta hanya terpelanting dan atas kudanya di jalan setapak itu. Sang kuda lari tunggang-langgang. Dan harimau yang terkamannya meleset malah tergelincir ke jurang di bawah jalan setapak. Dari tempat yang tinggi pak pendeta malah masih sempat mengamati sang harimau yang bernasib apes itu melenggang berlalu di bawah sana.
.
Ketika pendeta Albert kemudian berjalan kaki dengan tenang melalui kedai yang sudah dilewati oleh kudanya yang lari terbirit-birit, semua orang sangat bersyukur dan bersorak-sorak, karena pendeta mereka selamat dari terkaman harimau. Beberapa orang di antara mereka pada sore dan malam itu langsung mengawal pendeta itu berjalan kaki sampai ke godung Parsambilan. Di tengah jalan pendeta itu sudah disongsong oleh rombongan penatua dan tua-tua jemaat yang berobor dari godung. Tadinya rombongan itu bermaksud mencari tahu apa yang telah terjadi dengan pendeta mereka, karena kudanya sudah tiba di kandang dalam ketakutan yang amat-sangat. Yang amat dikenang oleh istri pendeta Albert mengenai peristiwa itu, adalah sikap tenang sang pendeta menegornya karena histeris merangkul suaminya di hadapan para sintua dan tua-tua jemaatnya. Suatu cara yang tak lazim dilakukan orang di zaman keperintisan.
.
Catalan penghargaan bagi rekan pelayan-informal
.
Cukup banyak pelayanan berkembang pendeta Albert di Toba Habmsaran yang luas selama delapan tahun dan tiga bulan, antara tahun 1926 dan 1934 itu. Dalam memoirs-nya pendeta itu mencatat bahwa pelayanannya itu tidak mungkin berhasil tanpa bantuan pelayanan Pak Galemo Sitorus, yang adalah perawat kuda dan sahabat setia seperjalanannya setiap berkunjung ke jemaat jauh. Setiap akan melayani ke jemaat-jemaat di atas bukit (cukup banyak jumlahnya), konon Pak Galemo-lah yang berjalan kaki menuntun kuda yang ditunggangi pak pendeta. Pada kawasan dataran yang sudah cukup rata, Galemo pulang berjalan-kaki ke godung Parsambilan, dan pendeta itu meneruskan perjalanannya, yang kadang-kadang sampai tiga-empat hari penuh.
.
Dalam catatan-pelayanan pada memoirs-nya, selain kepada Pak Galemo, pendeta itu juga menghaturkan rasa terimakasihnya yang tulus kepada seorang here (putra saudara perempuan)-nya, bernama Bonifacius Pasaribu. Sewaktu masih lajang, Bonifacius sengaja dibawanya beberapa tahun melayani di jemaat Parsambilan yang luas itu, khusus sebagai sais sadonya. Begitulah cara pelayan di masa keperintisan mengenang dan menghormati jasa-pelayanan dari rekan dan pembantunya dalam pelayanan-informal di jemaat Tuhan.
.
Contoh bimbingan menepis rasa takut pada hantu
.
Pendeta Alljert mempunyai satu cara untuk mengikis sikap ketakutan yang berlebihan dan kepercayaan masyarakat kepada begu dan sombaon, yakni segala jenis hantu, khususnya bagi keluarga para pelayan lain (guru-guru zending) di godung, maupun bagi penduduk di sekitar gereja Losungbatu. Beberapa puluh meter menjelang kompleks godung, bila datang dari arah Simpang-emat Silaen, ada satu kompleks pohon beringin yang "angker," agaknya masih merupakan bagian peninggalan dari hibah lahan "parsombaonan" yang disebutkan di muka. Hampir tidak ada orang yang berani mclintas di tempat itu pada malam hari, kalau hanya seorang diri.
.
Ketika masih berusia sekitar 10 tahun, Mangara, putra sulung pendeta itu yang sudah disebutkan di muka, pada suatu malam sengaja diajaknya melintas dari bona ni hariara (kelompok pohon beringin) yang angker itu. Tak ayal lagi, Mangara memeluk ayahnya amat erat. Namun dengan sangat tegas pendeta itu menyuruh putranya berjalan sekitar 20 meter di depan, dalam gelap gulita itu.
.
Persis menjelang godung, pendeta itu menegaskan kepada putra kesayangannya, bahwa berjalan seorang diri di manapun pada malam hari, hanya ada dua jenis mahluk yang perlu ditakuti oleh manusia. Yang pertama adalah ular berbisa, yang sering melintas begitu saja di malam hari. Dan yang kedua adalah orang tidak waras, yang juga sering berkeliaran di malam hari pada zaman itu. Selebihnya tak ada yang perlu ditakutkan, kata pendeta. Dan dalam waktu-waktu tertentu kemudian, pendeta Albert menyuruh anaknya itu menjemput atau mengantarkan sesuatu melintasi jalan itu, harus sendirian saja. Pengajaran seperti ini akhirnya "menginsyafkan" keluarga guru zending dan juga penduduk sekitar Losungbatu.
.
Motivasi merenovasi gereja
.
Satu hal yang paling menyenangkan hati pendeta Albert dalam pelayanannya, adalah karena dia dapat memotivasi. warga jemaat Parsambilan menyelesaikan bangunan gereja mereka, yang katanya bahkan sudah lebih sepuluh tahun sebelum kedatangannya terbengkalai begitu saja. Berarti ketertundaan pembangunan gereja itu sudah hampir dari masa sejak ditinggalkan oleh kakak-iparnya, pendeta Josua Hutabarat, yang dipindahkan oleh Ephorus Nommensen karena rumah dinasnya ludes terbakar pada tahun 1916; dan kemudian disambung masa pelayanan pendeta Benoni.
.
Dalam memoirs-nya, pendeta Albert mengatakan, bahkan banyak parhau (bagian kayu) bangunan lama yang sudah membusuk. Maka selain meneruskan bagian yang belum selesai, hams dilakukan pula reparasi pada bagian-bagian yang membusuk, suatu pekerjaan yang tidak mudah. Penyelesaian bangunan gereja Parsambilan yang cantik, tuntas sebelum pendeta Albert pindah dari sana pada tahun 1934. Tapi menurut beberapa putra keturunan kakak-beradik Raja Punsaha Langit, rehabilitasi gereja itu bam benar-benar tuntas pada tahun 1938. Mungkin ada rehabilitasi tambahan setelah ditinggalkan oleh pendeta Albert.
.
Sekarang gereja tua itu, yang bahkan sudah direnovasi pada tahun 1950, hanya dipakai untuk tujuan sermon-sermon dan kegiatan sejenis lainnya. Sebuah gereja baru dari bahan beton-konkrit sudah dibangun di kompleks godung itu pada tahun 1992. Pembangunan gereja baru itu adalah atas prakarsa pengusaha/?.£>.£. Sitorus dan anak-anak rantau lainnya serta tetua jemaat Losungbatu. Pengusaha sukses Sitorus adalah seorang keturunan dari sepupu Raja Punsaha Langit, penghibah tanah "pargodungan" Losungbatu. Di samping gereja baru itu berdiri jabu parsantian (wisma utama keluarga) yang indah milik pengusaha itu, seperti disinggung di muka.
.
Metode memotivasi warga yang terkena siasat gereja
.
Yang paling dinsaukan oleh pendeta Albert ketika baru tiba pada tahun 1926 di jemaat Losungbatu dan resort Parsambilan, pada umumnya ialah hanya ada beberapa gelintir warga jemaat yang mengikuti kebaktian minggu. Apa pasal? Selain karena malas (warga jemaat malah terbiasa bekerja di'sawah dan ladang pada hari Minggu), rupanya banyak sekali keluarga yang sedang dalam status honct uhum ni huria, atau kena hukum siasat gereja. Mula-mula amat sulit bagi pendeta itu memotivasi keluarga-keluarga yang terkena hukum siasat gereja supaya mau manopoti, yakni berguru lagi untuk dapat diterima kembali menjadi anggota-penuh jemaat. Baru setelah hampir satu tahun program persuasi itu diberlakukan, mulai ada dua keluarga yang bersedia "manopoti." Namun, dalam kurun waktu tiga-empat tahun kemudian, hampir tak ada lagi keluarga yang masih dalam status kena hukum siasat gereja itu.
.
Tentang hamaolon (pergumulan karena kesulitan) pada permulaan masa pelayanannya di seluruh jemaat Parsambilan, baik memoirs pendeta itu yang berpanjang-lebar, begitu pula buklet Pillit ma Hangoluan i yang disebut di muka, memberitakan rincian yang persis sama. Dalam salah satu bagian, penulis buklet itu misalnya mengatakan begini:
.
Selalu ada saja warga jemaat ini yang "dipabali" (dikenakan ekskomunikasi gereja) karena kembali ke "hasipelebeguon" (animisme), dan umumnya sangat sulit untuk diajak kembali ke jemaat; sampai-sampai pendeta Albert mengatakan: Tung na jogal do roha ni hurian on (jemaat ini berhati bebal).
.
Meskipun demikian, penulis buklet-sejarah itu juga membuat kesaksian tentang kerja keras pendeta Albert dan guru-jemaatnya, yang meneniskan uraiannya sebagai berikut:
.
Cukup lelah guru Luther Simanjuntak dan pendeta Albert Lumbantoruan melayani di jemaat ini, tetapi para sintua pada kurun waktu itu kurang hidup pelayanannya. Mereka itu masih harus terus diingatkan melakukan pelayanannya. Namun tetap berlangsung pembangunan rumah guru jemaat, meskipun amat sedikit guru yang datang (mungkin maksud penulisnya adalah murid; bukan guru], sampai-sampai kepala-negeri setempat hampir putus-asa.
.
Dan tentang pelayanan untuk mengupayakan anggota jemaat yang di-ekskomunikasi agar bersedia "manopoti", yang berikut adalah kesaksian lanjutan penulis buklet-sejarah itu:
.
Jumlah yang dibaptis pada tahun 1929 ialah 665 orang. Pada tahun 1930 amat banyak yang terpaksa di-ekskomunikasi lagi, sebagai akibat dari musibah dan penderitaan, hingga keanggotaan jemaa menjadi tambah kecil. Tapi pendeta Albert terus berusaha "manogu-nogtt" (membimbing) mereka untuk belajar supaya ditehma kembali dalam keanggotaan-penuh jemaat.
.
Kebutuhan mutasi demi pendidikan anak-anak
.
Setelah melayani hampir tujuh tahun lamanya di jemaat-induk Parsambilan, sebenarnya pendeta itu sudah mengajukan permohonan pmdah ke jemaat yang lebih dckat ke kota, agar anak-anaknya dapat mengikuti pendidikan yang lebih baik. Ternyata warga jemaat Toba Habinsaran yang mengetahui permohonan pendeta itu, mengajukan petisi mclalui tuan Weissenbruch, zendeling atasannya yang bcrdomisili di Sitorang. Tuan itu berkata:
.
Saya tidak diberitahu oleh pendeta Albert tentang permohonan pindahnya; dart sekarang, karena surat keputusan ephorus sudah keluar, sebaiknya kita hormati saja keputusan itu. Namun demikian, silahkan kalian langsung berdialog dengan pendeta itu... ,"kata Weissenbruch.
.
Dalam "memoirs" pendeta Albert, inilah dialog bujukan penundaan rencana kepindahannya dari Toba Habinsaran oleh utusan jemaat induk dan semua jemaat cabangnya:
.
Beha ma i panditanami; apala ipe dope martumbur songon hau partabaan, ulaonmuna di huria on; tinggalhononmuna ma i? Nda sega ma tumbur i, molo pintor laho hamu? (Bagaimana ini pak pendeta; baru saja bertunas hasil karya-pelayanan bapak di jemaat ini, seperti tunas kayu tebangan, kalau bapak langsung meninggalkannya? Bukankah tunas itu bisa rusak kalau bapak langsung berangkat?)
.
Menanggapi permohonan utusan jemaatnya, dalam memoirs-nya, pendeta Albert mengaku hatinya berdebar-debar mendengar argumentasi mereka. Akhirnya, sementara dia bersedia menunda kepindahannya dari Toba Habinsaran. Menyadari bahwa dia adalah "pelayan Tuhan," pendeta Albert menyetujui usul utusan untuk mengirim surat permohonan penangguhan kepada ephorus. Demikianlah rencana kepindahan pendeta itu ke jemaat Simorangkir pada tahun 1933, yang sebenarnya sudah mendapat surat-keputusan, ditangguhkan dulu oleh ephorus.
.
Namun secara pelan-pelan dalam tigabelas bulan berikutnya, pendeta Albert menerangkan kepada warga jemaat dan para penatuanya, bahwa anak-anaknya yang sudah besa perlu masuk sekolah HIS. Dan itu hanya bisa digapai di Tarutung atau paling-paling di Pahae, tanpa mengeluarkan banyak biaya ekstra. Di antara warga jemaatnya kala itu bahkan ada yang sangat baik hati, pernah meminjami pendeta itu uang sebesar f.25 (tanpa bunga) untuk kiriman biaya pendidikan putra sulungnya yang bersekolah di HIK Kristen, Solo. Peminjaman itu dilakukan secara darurat, karena putra pendeta itu diancam untuk dikeluarkan, karena sudah menunggak dua bulan.
.
Pinjaman dari warga jemaatnya yang baik hati itu sangat dikenang oleh pendeta Albert jauh hari kemudian, tanpa menyebut identitas orang yang bersang-kutan. Mungkin untuk alasan yang bersifat etis dan menghindarkan rasa ber-hutang-budi bagi keturunannya. Upaya meminjam uang kepada warga jemaatnya itu terpaksa dilakukan oleh pendeta itu, setelah tidak berhasil membujuk-bujuk zendeling atasannya untuk mendapat satu pinjaman dari Kas-zending, yang sebenarnya justru berfungsi "simpan-pinjam."
.
Mencatat respons zendeling atasannya tentang syarat angsuran yang diajukan dan janjinya untuk pembayaran pinjaman'itu bila diluluskan, pendeta Albert mencatatnya begini: Akh ..., manuk-manuk ni begu do amang janji sisongon i. (kira-kira artinya: Ah, janji untuk cara pembayaran pinjaman seperti itu pak, hanya hantu saja yang dapat mempercayainya). Dalam catatan banyak pengerja-pribumi zending, kekecewaan karena tidak berhasil meminjam uang dalam keadan darurat seperti itu kepada organisasi zending yang diabdinya, melalui zendeling atasannya, amat sering diberitakan orang. (Lihat banyak kasus sejcnis itu dalam buku Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, dan banyak dokumen keluarga para pengerja-zending lainnya).
.
“Celaka” karena upaya mengejar kemajuan
.
Mengenai soal beban dan bahkan pergumulan batin dalam upaya menyekolahkan anak-anak, pendeta Albert bahkan sering mengeluhkan kepada para tetua warga jemaatnya begini: On ma jea bolon hinorhon ni hamajuon (Inilah "celaka besar," sebagai akibat dorongan motivasi mengejar kemajuan). Dimaksudkannya dengan "celaka besar" itu ialah soal keharusan menyekolahkan anak-anaknya, besarnya biaya yang dibutuhkan, dan tidak selalu tersedianya uang kas yang diperlukan anak-anak yang bersekolah.
.
Itulah sebabnya kenapa pendeta Albert mutlak memerlukan pos pelayanan yang iebih dekat dengan sekolah yang diinginkan agar biayanya bisa lebih ringan. Warga jemaatnya akhirnya memang dapat memahami kerisauan hati pendeta itu dalam soal kelanjutan pendidikan putra-putranya. Karena itu, dengan tulus mereka bersedia "melepaskan" pendeta yang sangat mereka cintai itu pada awal tahun 1934, setelah genap 8 tahun dan 3 bulan melayani jemaat-besar Parsambilan.
.
Para sintuanya sendiri, ada yang sudah berhasil dengan susah-payah menyekolahkan putranya ke sekolah HIS kala itu. Di antara mereka misalnya ialah St. Herman Panjaitan dari jemaat Natolutali. Sintua Herman adalah ayahanda almarhum Mayjen. Donald Izaak Panjaitan, Pahlawan Revolusi kita. Izaak adalah rekan sebaya dan sekelas Obrien Daulat Paul, putra kedua pendeta Albert, dan sama-sama bersekolah dan masuk "internaat" (asrama) pada HIS Narumonda yang milik zending. Cukup lama kelak, Obrien menjadi seorang pegawai tinggi pada Departemen Penerangan R.I., dan terakhir menjadi seorang diplomat, Atase Penerangan dan Kebudayaan, pada KBRI-Manila.
.
Dengan kerisauan pendeta Albert tentang "celaka-besar" karena harus mengikuti semangat marhamajuon (menggapai kemajuan) melalui persekolahan anak-anaknya itu, pernyataan berikut adalah yang pernah diungkapkan dengan tulus kepada penulis oleh St. Drs. Timbul Sitorus, yang identitasnya sudah disebutkan di muka :
.
Di samping berbagai manfaat yang diberikan oleh Bapak Pendeta Albert Lumbantoruan selama melayani di Sitorang dan Parsambilan, adalah keberhasilan beliau memotivasi tetua penduduk setempat untuk mengikuti kemajuan zaman, dengan menyekolahkan putra-putra mereka menggapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Demikianlah misalnya ayah saya, R. Songing Pumbunan, anak kedua R. Patugaram yang adik kandung R. Punsaha Langit, yang biarpun butahuruf, tidak terlena oleh kekayaan banyaknya kerbau, sapi, padi dan sawah yang luas. Dengan dengar-dengaran pada khotbah-khotbah pendeta Albert, ayah saya mengutus abangku yang tertua ke sekolah HIS Narumonda, dan kemudian saya sendiri ke Batavia (Jakarta). Kemudian menyusul pula Dahanus Sitorus, salah seorang keturunan R. Sigodangtua ke HIS Narumonda
.
Kemajuan dini para putra Parsambilan itu
.
Kelak, sekitar dasawarsa 1950-an dan 1960-an di pulau Jawa, Orem, istri pendeta Albert, dalam usia menjelang tujuhpuluhan, sering bertemu dengan pemuda-pemuda yang berasal dari kawasan Toba Habinsaran, yang kebetulan adalah keturunan atau kerabat para datu yang pernah "ditaklukkan" oleh pendeta Albert dan "geng" anggota majelis jemaatnya. Dalam keadaan scperti inilah kita menjadi yakin dan sadar tentang kebenaran pernyataan Yesus Kristus yang mengatakan: Yang belakangan bisa jadi duluan; dan yang duluan bisa jadi belakangan.
.
Siapa nyana dan bisa menduga sebelumnya, bahwa keturunan dan kerabat para datu yang sangat "sakti" dan ganas pada era 1920-an, akan menjadi para wiraswastawan yang berhasil, pegawai negeri dan swasta pada tingkat menengah dan tinggi, yang sudah dapat diidentifikasi mulai era 1970-an itu. Sementara para turunan guru dan pcndcta-zending dari kurun 1920-an yang sama, mungkin saja tidak sampai "ke manapun" pada era 1970-an, bahkan mungkin sampai sekarang, terutama karena sebagian mereka telah menyimpang dan meninggalkan "garis-iman" yang ditapaki dan dipeluk kokoh oleh para kakek-moyangnya di masa keperintisan silam.
.
Jauh kemudian hari, putra-putra keturunan warga Parsambilan dan Toba Habinsaran pada umumnya banyak yang "menjadi orang" berkat pelayanan umum zending, di antaranya termasuk sebagai hasil pelayanan-berkembang pendeta Albert di sana selama detapan tahun lebih beberapa bulan. Kelak, pada tahun 1970-an di Jakarta, ibunda pengusaha R.D.L. Sitorus yang bertemu dalam suatu kesempatan dengan salah satu putra pendeta itu bercerita, bawa dia masih gadis remaja dan adalah rekan sebaya dengan putri kedua pendeta itu ketika melayani di godung Losungbatu yang amat dekat dengan rumahnya.
.
Untuk hanya menyebut beberapa orang saja di antara putra-putra kawasan Parsambilan di zaman modern yang dapat dilacak oleh penulis, yakni keturunan dari orang-orangtua mereka hasil binaan masa keperintisan, dari buklet-sejarah Pesta Jubiluem HKBP Losungbatu itu misalnya dicatat antara lain Kolonel M. Sitorus, Mangatas Sitorus, St. Drs. Timbul Sitorus, Dr. Bistok Sitorus, dan tentu saja banyak lainnya. Dari sumber luar buklet itu yang dapat dilacak oleh penulis, antara lain adalah Drs. Rudolf Sitorus, Pdt. O.P. Sitorus dan Pdt. Armada Sitorus.
.
Beberapa guru-jemaat yang pernah melayani di kawasan Parsambilan dan kemudian menjadi pendeta dan menjadi menantu tua-tua marga Sitorus di sana, antara lain adalah para praeses Hendrik Rajagukguk dan Benoni Napitupulu. Kolonel M. Sitorus yang disebutkan di atas adalah seorang perwira Angkatan Darat dari kurun Perang Kemerdekaan, yang kemudian cukup dikenal sebagai komandan Resort Militer yang berprestasi di Yogyakarta, sewaktu terjadi pergolakan para mahasiswa di era 1970-an. Sementara Dr. Bistok Sitorus adalah seorang pensiunan pejabat-tinggi Bank Indonesia dan Asian Development Bank (ADB). Sementara dari kawasan Parsoburan, antara lain penulis dapat mcnyebutkan John Bidel Pasaribu, yang sebagai warga awam HKBP banyak memberikan sumbangsih dan pikirannya mulai pada pertengahan dasawarsa 1990-an, antara lain dalam melanjutkan penerbitan berkala HKBP, Immanuel, di Jakarta.
.
Akhirnya mendapat restu mutasi
.
Demikianlah pendeta Albert akhirnya mendapat mutasi pada bulan Maret 1934 dari jemaat_induk Parsambilan sumuasi yang sangat luas, yang dewasa ini telah berkembang menjadi 4 resort. Kepindahannya ialah ke jemaat induk Pangaloan, Pahae. Di Sarulla, salah satu jemaat-cabang Pangaloan kala itu, ada sebuah HIS partikelir milik Pahae Fonds. Kelak (1938), Mangara, putra tertua pendeta Albert yang sudah disinggung di muka, bahkan menjadi kepala HIS Pahae Fonds itu. Dalam memoirs-nya pendeta Albert mencatat bahwa dengan amat senang hati dia raeninggalkan pembukuan kas jemaat-induk Parsambilan yang "cukup bersih," dengan saldo uang pembangunan gereja masih tersisa sebesar f.225, yang diren-canakan untuk meneruskan penggantian pintu-pintu, jendela dan kunci-kuncinya yang lebih bagus.
.
Ketika dilangsungkan kebaktian syukuran peresmian wisma milik pengusaha R.D.L. Sitorus yang disebutkan di muka pada awal dasawarsa 1990-an, St. Rosulla Gugun Boru Sihombing, putri ke-7 dan anak ke-12 pendeta itu, turut dalam rombongan paduan-suara Anugerah dari Jakarta, yang khusus diundang untuk melayani pada acara syukuran. Beberapa warga jemaat pada usia 80-tahunan yang masih hidup kala itu menceritakan kepada putri pendeta Albert tentang "sepak- terjang" pelayanan keluarga ayahnya, pendeta Albert, selama di Toba Habinsaran.
.
Para saksi-mata itu kebanyakan yang sudah sempat menerima "lepas sidi," bahkan ada beberapa yang masih sempat menerima pelayanan pemberkatan pernikahan dari pendeta Albert. Mereka memberitahukan, bahwa di belakang kompleks gereja mereka ada kuburan para pengerja zending dari zaman lampau, yang meninggal selama melayani di Losungbatu. Dan salah satu putra pendeta itu terkubur di sana. Kuburan itu masih bertanda, kata mereka. Memoirs pendeta itu memang ada memberitakan bahwa putra keempatnya yang bernamaReinhard Tumpal Namulak, lahir, meninggal dan terkubur di godung Losungbatu pada awal tahun 1930-an.

Tidak ada komentar: