Sabtu, 03 Mei 2008

Kekeluargaan dan Akhir Pelayanannya

Tuhan menganugerahkan hagabeon (berketurunan banyak) kepada keluarga pendeta Albert dan istrinya Orem Boru Hutabarat. Seperti ibunya, Maria Boru Siregar yang putri-angkat Ephorus Nommensen itu, Orem juga melahirkan sebanyak 14 orang anak, yakni enam orang laki-laki dan delapan orang perempuan. Justru berbeda dcngan ibunya yang hanya melihat sembilan orang putria-putrinya yang sempat berkeluarga, Orem menyaksikan empat orang putra dan kedclapan orang putrinya sempat berkeluarga. Nazar zendeling Nommensen bagi putri-angkatnya, Maria, agar kiranya dikaruniai "hagabeon" dan kemajuan bagi semua turunannya oleh Tuhan kelak, rupanya memang menjadi kenyataan. Antara lain melalui keturunan putra dan putrinya, termasuk Orem, istri pendeta Albert.
.
Keempat-belas putra-putri pendeta itu, mulai dari yang tertua, menurut urutan kelahiran mereka, adalah sebagai berikut:
.
1. Tola Emmas (perempuan, lahir di jemaat Gotting pada tahun 1912) menikah dengan Jansihar Simanungkalit, putra seorang guru-zending dari Pinangsori. Kelak Tuhan memberkati mereka dua orang putra dan dua orang putri. Mereka berdua tutup usia di Pinangsori dan Sibolga.
.
2. Dorthia (perempuan, lahir di jemaat Gotting pada tahun 1914), menikah dengan guru Bonifacius Sianturi, seorang here (kemenakan) pendeta itu. Mereka dikarunia Tuhan 5 orang putra dan 3 orang putri yang sempat berkeluarga. Mereka berdua tutup usia di Wingfoot (Aek Nabara), Labuhan Batu.
.
3. Mangara Santun (laki-laki, lahir di jemaat Siborong-borong pada tahun 1917), menikah dengan Maruli Laut Boru Simanjuntak, putri mantri-polisi Philemon Simanjuntak dari Hutagurgur. Dia adalah seorang doseri pada Universitas Diponegoro, dan terakhir berpensiun sebagai kepala Sekolah Indonesia di KBRI Cekoslovakia (1972). Keluarga ini dikarunia Tuhan 2 orang putra dan 3 orang putri yang semuanya sudah berkeluarga. Mangara tutup umur dalam usia 84 tahun, dengan mendapat penghormatan kebaktian perkabungan-pelepasan di gereja HKBP Kebayoran Baru, karena dia adalah guru koor kaum "Lansia" (lanjut usia) di jemaat itu, dan pernah menjadi sintua dan sinodist HKBP dari jemaat Semarang.
.
4. Bonar (laki-laki, lahir pada tahun 1919 di jemaat Huta Namora), meninggal dunia dalam usia 3 tahun di Seminar! Sipoholon, ketika pendeta itu mengikuti pendidikan kependetaan di sana.
.
5. St. Obrien Daulat Paul (laki-laki, lahir di Seminari Sipoholon pada tahun 1921), menikah dengan Alfonsina Abethsina Sipasulta, putri guru jemaat Melkhias Sipasulta yang berasal dari Saparua, Ambon, tapi sepanjang hidupnya mclayani jemaat dan sekolah Kristen di Toraja, Sulawesi Selatan. Semasa hidupnya Obrien adalah seorang pegawai tinggi Departemen Penerangan RI, terakhir dan berpensiun sebagai Atase Penerangan dan Kebudayaan KBRI Manila (1972). Dia tutup umur di tengah jemaatnya HKBP Menteng, Jakarta pada tahun 1982. Keluarganya dikarunia Tuhan dua orang putra dan dua orang putri yang semuanya telah berkeluarga.
.
6. Tiar Sanna (perempuan, lahir di jemaat Sihorbo-Barus tahun 1923), menikah dengan guru-zending Saidi Radjagukguk dari Pulo Sibandang. Saidi berpensiun sebagai Kepala SMP Negeri Ambarita, dan merupakan eksponen pendiri GKPI kawasan Samosir. Keluarganya dikarunia Tuhan 5 orang putra dan 8 orang putri. Salah satu putranya adalah St. Prof. Dr Bostang Radjagukguk dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Guru Saidi tutup usia pada tahun 1988 di Siborong-borong dan dimakamkan di kampimg halaman ncnck-moyangnya di Pulo ni Pardopur, atau Sibandang, Muara.
.
7. Dori Alam (perempuan, lahir di jemaat Bams pada tahun 1925), menikah dengan guru Marudin Siregar dari Muara. Marudin terakhir menjadi kepala Inspeksi Pendidikan Jasmani di kawasan Langkat. Keluarga ini dikaruniai Tuhan 6 orang putra dan 6 orang putri yang semuanya telah berkeluarga. Dori Alam meninggal dunia pada tahun 1999 di Binjai dalam usia 74 tahun; dan guru Marudin juga meninggal dunia di Binjai pada tahun 2003, dalam usia 78 tahun.
.
8. Sinta Uli (perempuan, lahir di jemaat Parsambilan pada tahun 1927), menikah dengan Si. Walter Lumbantobing dari Pematang Siantar. Walter adalah seorang cucu guru Abel Lumbantobing, satu di antara tujuh orang siswa angkatan pertama yang diutus oleh zending belajar di Seminari Depok pada tahun 1879. Keluarga St, Tobing dikaruniakan Tuhan 2 orang putra dan 3 orang putri, semuanya telah menikah. Pada tahun 1982, St. Tobing meninggal dunia di tengah jemaatnya, HKBP Kebayoran Baru, Jakarta dalam usia 52 tahun.
.
9. Siti Odor (perempuan, lahir pada tahun 1929 di jemaat Parsambilan), menikah dengan St. Mesman Aritonang-Oppusunggu dari Muara. Dikaruniai Tuhan 1 orang putra dan 4 orang putri, semuanya telah berkeluarga. Siti Odor telah meninggal dunia pada bulan Februari 2004 di Jakarta dalam usia 76 tahun. Putri tertua keluarga ini, Ria Rumata Aritonang, adalah anggota DPR-RI dari Fraksi GOLKAR pada zaman Orde Baru. Konon merupakan perempuan Batak Toba yang pertama menjadi anggota DPR-RI, yang terpilih melalui Pemilihan Umum. Keluarga Aritonang bermukim di Jakarta.
.
10. Reinhardt Tumpal Namulak (laki-laki, lahir pada tahun 1930 di jemaat Parsambilan), meninggal dunia di jemaat itu pada tahun 1933.
.
11. Jan Pieter (laki-laki, lahir tahun 1932 di jemaat Parsambilan), lebih akrab dikenal komunitasnya dengan nama Pitono Hombing. Dia menikah dengan Mariomas Boru Gultom, putri dari St. Domitian Pangaga Guitom dari Grogol, Jakarta. Mariomas meninggal dunia di Medan pada tahun 1986 dalam usia 46 tahun. Pitono turut aktif sebagai warga-awam yang mendirikan GKPI Sriwijaya, Medan, sejak dari masa pembentukannya. Keluarga ini dikarunia Tuhan 3 orang putra dan satu orang putri; tiga orang di antara mereka telah berkeluarga.
.
12. St. Rosulla Gugun (perempuan, lahir di jemaat Pangaloan-Pahae pada bulan Juni 1934), menikah dengan Arsenius Siahaan dari Balimbingan, Tanah Jawa. Keluarganya dikaruniai Tuhan 3 orang putra dan 2 orang putri. Tiga orang di antara anak-anaknya sudah berkeluarga. Mereka berdua telah tutup usia di tengah jemaatnya, HKBP Menteng-Jalan Jambu, Jakarta.
.
13. St. Pirmian Tua Dalan (laki-laki, lahir di jemaat Pangaloan pada tahun 1936), dan menikah dengan Mintha Uluhon Parotua Boru Hutabarat, putri ipar- kandungnya Victor Sahalaraja Hutabarat, dan cucu tulang-nya, pendeta Josua Hutabarat. Mereka dikarunia Tuhan 1 orang putra dan empat orang putri, tiga orang di antaranya sudah berkeluarga. Oleh ayahnya, Pirmian mendapat nama baptis tambahan Tua Dalan (tuah di jalan) karena memang terlahir di tengah jalan pada tahun 1936, yang diberitakan dalam Prologue buku ini. Ketika itu ayahnya melayani jadi pendeta di jemaat Pahae, dan ibunya sedang dalam perjalanan menuju rumah-sakit bersalin di Tarutung. Duapuluh-dua tahun hidupnya dibaktikannya sebagai sintua, 15 tahun di antaranya menjadi guru-jemaat pada HKBP Kebayoran Lama. Dia terpilih menjadi anggota Majelis Pusat, dan menjadi Ketua Dewan Kcuangan Umum HKBP pada periode-pelayanan 1992-1998. pia adalah penulis buku seri-trilogi ini.
.
14. Anak terakhir pendeta Albert ada\ahBasaria (perempuan, lahir di jemaat Pangaloan pada tahun 1938), dan menikah dengan Jasmen Siahaan, dan dikaruniai Tuhan 2 orang putra dan 1 orang putri. Setclah menjanda, Basaria menikah lagi dengan Marthinus Wolo, seorang perwira polisi berasal dari Flores, dan dikarunia Tuhan seorang anak perempuan. Martinus meninggal dunia di Jakarta.
.
Tutup usia
.
Pada tanggal 21 April 1969, dalam usia diperkirakan sekitar 83 atau 84 tahun (karena lahir masih pada zaman sipelebegu tidak diketahui tanggal lahirnya), pendeta Albert tutup usia di rumahnya yang asri di Siborong-borong. Jenazahnya dimakamkan di kampung halainannya, Lumban-holbung, Bahalbatu. Acara pemakamannya dipimpin langsung oleh ephorus dan sekretaris jenderal HKBP (seperti dapat dibaca dalam "berita obituari" pada berkala Immanuel edisi bulan Juni 1969 dalam lampiran buku ini). Berkat "tumpangan tangan" penutupan peti Jenazahnya dilakukan oleh ephorus, sekjen dan puluhan pendeta Distrik Humbang dan pendeta simpatisan lainnya di gereja HKBP Siborong-borong, tempat dia melayani sebagai guru-zending muda-usia pada tahun 1914-1918.
.
Sedang istrinya, Orem, tutup usia di rumah putra bungsunya pada bulan November 1983 di Jakarta, dalam usia menjelang 90 tahun, mengikuti pola usia panjang ibunya, Maria Boru Sircgar. Jenazahnya "diusung" pulang ke Bahalbatu oleh seluruh keturunannya, untuk disatukan dalam makam suaminya tercinta, pendeta Albert Sihombing-Lumbantoruan. Ketika Orem meninggal dunia, jumlah keturunannya adalah 321 orang, yang kala itu sudah sampai ke tingkat ondok-ondok (buyut). (Catalan penulis: Orang dan adat Batak selalu mencatat jumlah keturunan dengan memasukkan jumlah semua menantu, suami dan istri semua cucu kandung, cicit dan buyut).
.

Foto makam Pdt. Albert Sihombing di kampungnya Lumban Hoibung, Bahalbalu,

dibangun oleh para putranya pada tahun 1986

Tidak ada komentar: