Sabtu, 03 Mei 2008

Pelayanan Guru Sekolah dan Guru Jemaat - Gotting, Bahalbatu

Pada tanggal 17 November 1910 Albert menemui tuan Wagner, "beheerder" Humbang di Huta Namora. Dia harus lebih dahulu menjalani tugas praktek mcngajar singkat di sekolah zending jemaat-induk itu. Huta Namora adalah pargodungan (kompleks gereja) yang kurang-lebih 30 tahun sebelumnya didirikan oleh zending, dengan evangelisnya yang pertama, keluarga Daniel Hutabarat, yang hanya sekitar satu tahun kemudian akan menjadi mertua guru Albert. Beheerder Wagner itupun adalah yang melanjutkan kepemimpinan pelayanan evangelis Daniel dan rekan-rekan pelayan pribumi-pendahulu lainnya, yang datang menyusul pada tahun 1898, di mana mereka hanya tinggal bersama-sama selama dua tahun lagi.
.
Seperti disinggung pada Bagian Pertama, evangelis Daniel sudah resmi menjalani masa pensiun penuh pada tahun 1900 dari Huta Namora. Pada tanggal 2 Januari 1911, Albert sudah memperoleh bisolot, yakni surat-keputusan pengangkatan yang dalam bahasa Belanda disebut "besluit", untuk menjadi kepala sekolah zending dan guru-jemaat di Getting, yang masuk resort Bahalbatu. Dan pada tanggal 14 Juni 1911, Albert menikah dengan Orem Boru Hutabarat, putri bungsu evangelis Daniel di Pagar Sinondi. Eporus Nommensen masih saja berperan menjodohkan "cucu bungsunya" itu dengan guru-zending muda-usia terpintar dalam angkatannya, seperti sudah dilakukan kepada ketiga orang kakaknya.
.
Salah satu peristiwa yang sangat menyenangkan hati guru Albert selama masa pelayanannya di Getting, adalah ketika akan menerima gajinya dari zendcling atasannya, tuan Wagner, di Huta Namora, dia menerima hadiah sebesar f 10. Tuan itu mengatakan, uang itu bukan tambahan gajinya, melainkan bonus karena prestasi Albert membangkitkan semangat zending warga jemaatnya, sehingga jumlah persembahan dan "guguan taon" (kontribusi tahunan) yang dikumpulkan untuk zending menjadi beberapa kali lipat dari masa pengelolaan guru-zending yang digantinya.
.
Tidak populer melayani di kampung sendiri
.
Namun tidak seberapa lama kemudian, Albert sudah merasa (tidak betah dan resah mengajar dan memimpin di kampung sendiri jemaatnya lebih lama di Getting. Dia sadar, menjadi "penghotbah di kampung halaman sendiri" ( daerah Bahalbatu), selalu dapat mengundang kemungkinan dilecehkan atau bahkan dibenci orang. Betul saja. Hanya selang 2 tahun dia melayani di Getting, berbagai cobaan sudah muncui. Sebenarnya, gangguan utama bukan datang dari warga jemaat atau para orangtua murid-muridnya. Tapi justru dari raja yang membawahi wilayah Getting. Karena jemaat-cabang Getting berada dalam jurisdiksi jemaat-induk dan raja di Bahalbatu.
.
Di masa lampau, ayah raja itu kebetulan mempunyai hubungan yang amat tidak mesra dengan raja-ihutan Lumban Holbung yang bertetangga, yang tidak lain adalah ompung (kakek) guru Albert sendiri. "Kedudukan guru Albert hams digoyang, supaya tidak betah dan minta pindah...," demikian berita santer yang didengar dari warga jemaat yang bersimpati kepadanya di Getting. Menurut mereka, bahkan hulubalang raja katanya sudah pernah diperintahkan untuk "memberi sedikit pelajaran" kepada guru Albert.
.
Ternyata tuan "beheerder" di Huta Namora sudah mengetahui insiden itu, juga karena telah lebih dahulu menerima pengaduan yang bersifat fitnah. Dan Albert memang sudah mengajukan permohonan pindah. Karena itu, pada bulan Mei 1915, dia dipanggil oleh tuan Wagner untuk mcmberitahu mutasi kepindahan-nya ke kota Siborong-borong, yang semakin berkembang kala itu. Pada mulanya amat berat hati guru Albert menerima kepindahan ke kota Siborong-borong itu. Saya tidak pintar bergaul dengan para "atnbtenaar" (pejabat pemerintah), katanya. Tapi beheerder Wagner berkomentar begini:
.
Yang mencemburui dan membenci kau, hams tahu bahwa aku justru menempatkanmu ke pos yang lebih baik dan lebih besar. Sebaiknya kau menempati pos itu, jangan tolak. Saya yakln kau pasti mampu bergaul dengan para pejabat pemerintah itu. Dan kalau mereka sudah mengenal kepribadianmu, pastilah mereka akan punya rasa sungkan untuk melakukan hal-hal yang tidak adil kepada rakyat...,
.
kata tuan Wagner menutup pembicaraan tentang instruksi mutasi itu.
.
Sesudah warga jemaatnya tahu bahwa guru Albert akan pindah kc kota Siborong-borong, banyak di antara mereka yang bersimpati kepadanya, mensyukuri dan berkata:
.

Memang lebih baiklah bapak guru pindah dari jemaat ini, supaya tidak sampai mengundang celaka fisik yang tak diharapkan.
.
Tak urung, serentak dengan kepindahan guru Albert dari jemaat Gotting, seorang sahabatnya, bernama raja Salomo (Ompu ni Halisung), kepala-kampung yang sangat dihonnati di kalangan warga jemaatnya, malah melakukan boyong jauh ke kawasan Panambean di Simalungun, dengan mengajak serta scluruh kawulanya. Raja Salomo adalah tetua yang bersimpati kepada guru Albert, yang sebenarnya masih merupakan kerabat atau sepupu dekat raja Bahalbatu yang membawahkan kawasan Gotting. Dalam sebuah "perkara perdata" yang sengaja dimunculkan raja itu kepada pihak keluarga-besar (kakek-sepupu) guru Albert, raja Salomo memberikan kesaksian yang membenarkan "ompung" guru itu, bukan memihak keluarga raja, yang sebenarnya sepupu dekatnya.
.
Hijrahnya raja Salomo dengan seluruh kawulanya ke Simalungun itu berkaitan dengan perasaan penghinaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kolonial Belanda setempat kepadanya, dalam hal soal pengangkatan raja. Pelecehan seperti itu sering diterima oleh raja-raja atau keluarga terkemuka pribumi, meru-pakan akibat pahit dari politik divide et impera (pecah-belah) sang kolonialis. Pelecehan itu ditujukan bagi orang yang tidak menunjukkan sikap mau dijajah.
.
Pengalihan jabatan atau status "raja" sekawasan atau sekampung oleh pemerintah kolonial kepada keluarga yang bersedia dan bahkan mau "mcnjilat" kepada Belanda, amat banyak menimbulkan keputusan melakukan "hijrah" di Tanah Batak kala itu, seperti yang dilakukan oleh raja Salomo dengan kawulanya. Annals pemerintah kolonial dan zending, banyak mencatat bahwa migrasi sekawula yang dilakukan oleh orang Batak Toba ke Simalungun, Dairi, Kutacane, dan kemudian Asahan, antara lain adalah karena akibat pahit dari permainan politik "adu-domba" itu. Kelak keturunan raja Salomo itu akan berkembang di Sumatra Tinrnr, dan banyak yang menjadi warga teras Gereja Methodist Indonesia di sana.
.
Murid buah-sulung
.
Sebelum guru Albert melayani di Getting, pada tahun 1907 jemaat itu sudah memberangkatkan putra sulungnya, Enos Sihombing, ke Seminari Sipoholon. Dan sebelum pindah dari jemaat itu, Albert sempat memberangkatkan setidak-tidaknya dua orang lagi murid seniornya, yakni Jakob Pasaribu dan Fridolin Sihombing. Kemudian kelak, disusul pula oleh bekas murid-muridnya yang lebih junior, seperti Liberty Sihombing dan sepupunya Wilmar Sihombing. Guru Fridolin kelak bahkan menjadi pendeta pribumi, masih dalam masa keperintisan, angkatan ke-XII pada tahun 1927-1929, yang hanya terpaut dua angkatan di belakang gurunya, Albert.
.
Tentang hubungan pendeta Albert dengan mantan muridnya, pendeta Fridolin ini, kelak akan menghasilkan kontak-kontak pribadi yang lucu, amat menyenangkan hati dan rnesra bagi keluarga mereka masing-masing. Kebetulan, kedua mereka kelak sama-sar>ia beristri perempuan yang bermarga boru Hutabarat, yang cukup dekat hubungan kekcrabatannya. Mereka bcrdua juga sama-sama suka margait (berkelakar) dalam batas-batas yang wajar sebagai sesama pendeta.
.
Guru muda-usia Albert berpose dengan para siswa dan seorang guru-bantunya di jemaat Gotting pada tahun 19! 1. Salah satu di antara siswa lertua di baris belakang adalah Fridolin Sihombing, kelak menjadi pendeta, hanya dua angkatan di belakang Albert; dan sejak tahun I940-an menjadi praeses Humbang, atasan Albert.
.
Dalam dasawarsa 1940-an, Ephorus Justin Sihombing membujuk Albert supaya mau menjadi praeses Humbang, karena kebetulan dialah pendeta paling senior kala itu di kalangan pendeta yang masih aktif dari marga Sihombing Lumbantoruan, bahkan di kalangan ketiga cabang marga Sihombing lainnya. Albert menolak, dan mengatakan: 'Siseanku' (muridku) Fridolin-lah yang cocok untuk itu. Dia orang yang cakap.
.
Fridolin adalah adik-angkatan Ephorus Dr. Justin Sihombing di sekolah pendeta, dan tentu amat mengenal kepribadiannya. Maka itulah yang terjadi. Kelak, ketika pendeta Albert tutup-usia pada tahun 1969 dalam umur sekitar 83 tahun, pendeta Kenan Lumbantoruan, memberitakan penolakan Albert yang santun untuk diangkat menjadi praeses itu dalam berita obituari-nya pada lmmanuel, berkala periodik HKBP. (Lihat lampiran).
.
Di antara kontak-kontak pribadi pendeta Albert dengan eks-muridnya itu yang sempat penulis saksikan, adalah kelakar Fridolin kepada Albert, begini:
Nah, sekarang hormatilah saya sedikit selaku tuan praesesmu. Dulu 'among' (harfiah: bapak) sudah selalu menempelengi aku ketika di sekolah dasar zending. (Sampai dengan saat itu, para praeses HKBP memang masih tetap disapa dengan kata "tuan").
.
Lalu ketawa kedua pendeta perintis dalam status bekas guru-murid ketika masih di sekolah'zending itu, pecah berderai. Terkadang mereka terlihat seperti hendak marsiranggut (bergulat). Namun respek dan rasa hormat Fridolin kepada Albert tidak pernah lekang, sepanjang hidup mereka mas ing-mas ing. Albert selalu disapa Fridolin dengan kata amang (bapak), padahal menurut hubungan kekerabatan, dia (Fridolin) itu adalah adik sepupu-jauhnya. Kelak, anak kesepuluh pendeta Fridolin yang bernama Puluner, juga menjadi pendeta, cukup lama menjadi Direktor Departemen Ama di Kantor Pusat HKBP.

Tidak ada komentar: